10 December, 2004

Lebih Efisien dengan Berunding

Hidup adalah kompromi !. Tak kurang dari urusan sepele menawar cabe hingga penyelesaian PHK ribuan karyawan „perlente“, di perusahaan dirgantara dan lembaga keuangan, melewati fase kompromi, berunding dan perundingan. Dalam konteks dunia kerja dan permasalahan hubungan industrial, kata ini, nampaknya belum dianggap sebagai prioritas utama untuk dilaksanakan oleh para pihak. Hal ini terbukti dengan masih tingginya angka dispute yang diperjuangkan melalui aksi demonstrasi dan pemogokan. Contoh mutakhir adalah proses penyelesaian PHK di PT Dirgantara Indonesia, Hotel Indonesia dan Inna Wisata Jakarta dan masih banyak fakta lain yang tidak terekspos media sesungguhnya. Untuk mencapai kesepakatan, banyak sekali biaya yang terpaksa harus dikeluarkan oleh kedua belah pihak. Mari kita kalkulasi, berapa puluh juta yang harus dikeluarkan oleh Pengurus FKSPPTDI dan karyawannya untuk menjalankan proses perjuangannya beberapa waktu lalu? Konvoi kendaraan sampai bermalam di Jakarta dengan peserta yang sebanyak itu? Begitu juga dengan manajemennya, belum lagi sejumlah social cost yang tidak ternilai harganya ? Sebagai pembanding, berdasar data tahun 2002, telah terjadi 220 kasus yang melibatkan 97,325 pekerja dan menyebabkan hilangnya 769,142 jam kerja sementara tahun 2003, terjadi 146 kasus pemogokan yang melibatkan 61,790 pekerja dan berakibat kepada hilangnya 579, 710 jam kerja (Depnakertrans, Ditjen Binawas, Data Tahun 2003 s.d. Nopember 2003).

Kenapa Berunding ?

Menurut kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (2002) berunding berarti berbicara; berembuk. Sementara kata merundingkan, bermakna 1 melakukan perhitungan secara cermat; memperkirakan. 2 menyampaikan pendapat kepada orang –orang untuk disetujui. Menilik kepada definisi ini, nampak ada persyaratan bahwa berunding atau perundingan harus dilakukan dengan cermat dan hasilnya berupa persetujuan. Landasan legal formal Hak Berunding telah diatur dalam Konvensi ILO No. 98/1948 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI dan tercantum dalam UU No. 21/2000 tentang Serikat Buruh/Pekerja. Oleh karena itu, agar tercapai hasil yang menguntungkan, para pihak perlu mempersiapkan diri dengan sebaik – baiknya, jangan memudahkan masalah dan jangan terlalu menganggap rumit. Persiapan yang perlu dilakukan oleh pihak serikat pekerja diantaranya, data dan informasi yang sahih dan up to date yang mendukung dan menjadi alasan atau pertimbangan mengajukan sejumlah tuntutan. Sementara persiapan dari manajemen adalah keikhlasan secara profesional untuk menerima eksistensi dan menghargai kompetensi serikat pekerja yang mewakili anggotanya. Tanpa adanya keihklasan ini, akan sulit dicapai kondisi yang setara antara serikat pekerja dan manajemen dalam sebuah meja perundingan. Sangat mungkin, terobosan yang dibuat oleh Pengurus APINDO dibawah kepemimpinan Pak Sofyan Wanandi, berupa gagasan pembentukan FKKBN Forum Komunikasi Kerjasama Bipartit Nasional) yang diamini oleh sejumlah pengurus serikat pekerja di Indonesia ini , merupakan pertanda baik akan terakomodirnya kebutuhan dan solusi ini. Menariknya kalo dilihat dari penyelesaian kasus pemogokan yang terjadi, 2002, 156 kasus diselesaikan secara bipartit sementara 2003 dari 146 kasus, 108 buah diselesaikan secara bipartit. (Sumber : Depankertans, Ditjen Binawas) data ini sesungguhnya menegaskan dan memberi pelajaran bahwa apapun bentuk perjuangan yang dilakukan para pihak untuk mempertahankan kepentingannya masing-masing toh pada akhirnya, penyelesaian secara perundingan antara para pihak tetap merupakan solusi terbaik yang bisa ditempuh dan tidak terhindarkan.

Persepsi Positif

Yang menjadi kendala selama ini, pada sejumlah permasalahan hubungan industrial yang terjadi, masih terbangunnya persepsi yang tidak benar dari para pihak, antara serikat pekerja dan manajemen. Stigmatisasi bahwa manajemen tidak memikirkan pekerja dan hanya mengedepankan keuntungan vis a vis dengan serikat pekerja yang dianggap tidak memikirkan nasib perusahaan dan tidak memiliki kemampuan untuk memahami permasalahan yang dihadapi perusahaan. Stigmatisasi seperti ini sering kali menjadi kendala bagi terlaksananya proses perundingan yang setara. Masing – masing pihak, seakan menutup diri terhadap sejumah potensi terbaik yang bisa dilakukan jika perundingan bisa dilakukan dengan baik dan elegan. Tak bisa dipungkiri, ada kontribusi dari para pihak sehingga kesetaraan dan kualitas perundingan yang dilakukan antara pekerja dan manajemen belum optimal bahkan seringkali gagal. Berikut beberapa catatan penulis, pertama, underestimate manajemen terhadap kapabilitas pengurus serikat pekerja memahami permasalahan, berdampak kepada tumbuhnya sikap „management syndrome“, manajemen memiliki rasa percaya diri yang terlalu tinggi sehingga merasa tidak perlu melibatkan serikat pekerja karena menganggap dirinya mengetahui secara pasti seluruh aspirasi pekerja. Padahal, tidak sepenuhnya benar, dilapangan, terlepas dari prosentase tingkat kebenarannya, sudah pada tempatnya jika pengurus serikat pekerja melakukan upaya untuk meredusir ini, menjadi tantangan bagi pengurus serikat pekerja untuk meningkatkan kapabilitasnya, sehingga mampu meyakinkan dan membuktikan manajemen bahwa pengurus serikat pekerja adalah sparing partner bermutu yang layak untuk dijadikan mitra dialog pada sejumlah permasalahan yang terjadi di lapangan. Pengetahuan tentang kondisi makro ekonomi, ekonomi mikro perusahaan, kebijakan sektor industri perusahaan, teknik bernegosiasi merupakan pengetahuan dan kompetensi mutlak yang harus dimiliki oleh serikat pekerja. Kedua, endurance yang dimiliki oleh pekerja terkadang tidak cukup kuat mengimbangi buying time manajemen, hal ini berakibat kepada eskalasi strategi, dari berunding menjadi aksi demonstrasi bahkan sampai kepada mogok kerja. Disinilah permasalahan menjadi kompleks. Oleh karena itu, adalah menjadi bijaksana bagi manajemen untuk tidak menggunakan strategi buying time yang pada akhirnya akan merugikan pengusaha itu sendiri. Segeralah buka ruang dialog dan tunjukkan goodwill yang terang dan jelas, sehingga serikat pekerja dapat menangkap signal yang diberikan.



Lebih Efisien dengan Berunding

Sejatinya, jauh lebih efisien, jika setiap permasalahan hubungan industrial , yang berhubungan dengan hak maupun kepentingan jika diselesaikan dengan cara berunding. Mengapa ?

Pertama, karena hanya ada dua pihak yang berselisih dan sudah pasti memiliki irisan kepentingan yang tebal dan kuat. Karena kedua belah pihak berada pada lingkungan dan industri yang sama, sense of belonging yang lebih tinggi dan know how yang telah terbangun lama, setua usia perusahaan. Kedua, waktu yang lebih pendek. Karena perundingan yang dilakukan oleh dua pihak hanya mempertimbangkan kesediaan waktu dari dua pihak saja, relatif lebih terkontrol dan mudah. Kenapa juga harus dibuat lama jika bisa diselesaikan dengan cepat dan segera? Dalam kehidupan dengan tingkat kompetisi yang sangat ketat sekarang ini, bekerja dengan cepat dan tepat merupakan hal biasa bukan prestasi. Artinya, kalau kita terbiasa bekerja lambat, habislah sudah. Ketiga, biaya yang lebih murah. Karena tidak melibatkan pihak lain yang perlu dihargai profesionalitasnya. Dalam konteks ini, tidak bisa dimungkiri bahwa keberadaan pihak ketiga, terkadang justru memperlambat penyelesaian masalah. Pemahaman masalah perburuhan yang relatif spesifik, jenjang dan rentang birokrasi, menjadi dua alasan yang layak dipertimbangkan bahwa kehadiran atau keterlibatan pihak ketiga terkadang memiliki “harga” tersendiri. Dengan pemaparan demikian, jelas bahwa berunding jauh lebih menguntungkan kedua belah pihak, serikat pekerja maupun manajemen.

Hal lain yang juga harus ditumbuh kembangkan dari para pihak agar kondisi ideal ini bisa dicapai adalah keharusan untuk menumbuhkan mutual trust, mutual respect, dan mutual understandingl yang akhirnya, dipastikan akan menumbuhkan mutual benefit bagi kedua belah pihak. vPengusaha, pekerja dan pemerintah tidak ingin kondisi perburuhan di Indonesia terus diwarnai dengan aksi demonstrasi, tetapi serikat pekerja tetap harus ada untuk memperjuangkan kepentingan anggotanya.

Tidak ada kata terlambat, introspeksi diri dari kedua belah pihak tentu jauh lebih produktif jika dibandingkan dengan mencari kambing hitam permasalahan ini. Optimalisasi fungsi lembaga bipartit di tingkat perusahaan, keinginan dan goodwill kongkrit dari pekerja untuk meningkatkan kapabilitas dan kompetensi diri untuk meningkatkan kualitas perjuangan di meja perundingan, mungkin menjadi varian perjuangan serikat buruh atau serikat pekerja di era pasca kabinet gotong royong yang umurnya sebentar lagi ini.
Tidak ada yang tidak mungkin dan tidak ada yang mudah, demikian Napoleon Bonaparte berujar sekian abad lalu, ucapannya ini, layak untuk diresapi dan didengar ulang agar kita memiliki optimisme untuk mencari warna baru dalam memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja bersamaan dengan komitmen bersama untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik guna menyelamatkan saudara - saudara sebangsa yang masih belum berkesempatan bekerja atau kembali bekerja bagi yang terpaksa menganggur karena krisis ekonomi

No comments:

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...