04 August, 2005

Ketika Dinamika Menjadi Dilema : Catatan Pelaksanaan Kongres III ASPEK Indonesia

Pengalaman menjadi peserta sekaligus panitia pelaksana Kongres III ASPEK Indonesia (selanjutnya disebut Kongres), cukup miris dan menyedihkan rasanya, memperhatikan dinamika yang terjadi dan berkembang selama Kongres ternyata berbuah menjadi dilema, bahkan sejak persidangan pertama baru digelar. Terlampau kasat mata, bagaimana polarisasi terjadi antara status quo dengan reformasi, jika boleh penulis mendefinisikannya demikian. Karena polarisasi yang kaku, akhirnya, dinamika Kongres terjebak kepada bagaimana setiap materi diskusi dan usulan pendapat, senantiasa dan semata-mata dihitung, apa pengaruhnya terhadap kubu saya? Melupakan substansi dari pelaksanaan Kongres itu sendiri. Bagi saya, Kongres adalah sebuah perhelatan untuk mendiskusikan secara bersama, hal – hal strategis yang diperlukan organisasi untuk mengantisipasi perubahan yang akan datang. Diskusi dan perdebatan, sekali lagi hanya berkutat kepada apa pengaruhnya terhadap proses pemenangan kandidat para kubu yang bertarung memperebutkan posisi Sekretaris Jendral dan Presiden. Sehingga, platform terlebih dahulu baru bicara person. Sayangnya hal ini tidak terjadi dalam pelaksanaan Kongres yang digelar pada tanggal 23 - 24 Juli lalu. Akhirnya, nilai dasar serikat pekerja yang selama ini dihembuskan melalui training – training yang dilaksanakan, seakan-akan sembunyi tanpa pernah berani memunculkan diri, “solidaritas” seakan diistirahatkan dan tidak muncul dalam Kongres. ASPEK Indonesia seakan menjelma menjadi partai politik yang hanya concern kepada kekuasaan.

Menurut hemat penulis, kesiapan pengurus SP afiliasi yang menghadiri Kongres, nampaknya perlu ditingkatkan. Agar perdebatan yang terjadi bisa merata dan disadari konsekuensi -konsekuensinya. Ada beberapa kondisi yang menurut kami perlu dijadikan catatan. Pertama, mekanisme atau alur pencalonan KEN. Hal ini menjadi salah satu penyebab biang kericuhan, karena ada interpretasi, yang harus diakui, merupakan kelalaian bersama terkait dengan adanya dua matra waktu untuk menyerahkan kandidat KEN, 15 hari menurut Bab VI Tentang Kongres pasal 5 dan 14 hari menurut Bab IX tentang Komite Eksekutif Nasional pasal 5, kondisi ini diperumit dengan surat dari SC dan KEN yang menyatakan batas waktu pengembalian kandidat dan usulan perubahan pada tanggal 10 Juli 2005. SC harus lebih jujur dan arif memberi kesempatan kepada floor untuk memahami, terutama konsekuensinya terhadap rendahnya partisipasi politik publik. Mengapa demikian? Karena salah satu parameter keberhasilan sebuah proses pemilihan adalah tinggi rendahnya partisipasi publik, dalam hal ini afiliasi makin tinggi afiliasi yang terlibat makin legitimate, begitu sebaliknya. Jangan sampai proses pemilihan KEN tidak memperhatikan quorom. Permasalahan ini, seharusnya bisa dipecahkan dengan memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya kepada delegasi, dimana plus minusnya bagi tujuan utama Kongres. Bukan dijadikan senjata dari masing-masing kubu untuk mengambil keuntungan. Kedua, konsistensi, tidak ditemukan selama Kongres, justifikasi dan proses pengambilan sanad hukum, terlihat dipilah dan dipilih hanya dan semata untuk kepentingan kelompok. Kadang menuntut implementasi dari konstitusi secara konsisten sementara pada kesempatan lain meminta ajdustment. Ketiga, konsiderans dan hasil Kongres II seharusnya menjadi salah satu dokumen resmi bagi pelaksanaan Kongres III. Sehingga, terhadap hal – hal yang menyentuh masa lalu dapat diantisipasi dengan menghadirkan bukti-bukti yang autentik, sehingga tidak perlu muncul fitnah dan kebingungan massal. Karena ketiga penyebab diatas, dengan sangat terpaksa Kongres berakhir dengan realitas yang tidak mengenakan bagi semua pihak, yang status quo maupun pihak reformasi. Bagi pihak reformis yang kebetulan memenangkan seharusnya menjadi kegalauan ketika eksistensinya tidak didukung oleh mayoritas. Sementara bagi status quo, bisa saja akan menimbulkan pertanyaan, sejauh mana legitimasi KEN hasil kongres, legitimasi dalam arti jumlah afiliasi yang melakukan pemilihan, jika dibahasakan secara populer, “lha emang siapa yang milih?”. Ketidakenakan atas kondisi ini, harus segera dipecahkan dicarikan solusinya. Rekonsiliasi, rasanya bisa menjadi pilihan untuk dikedepankan, dibandingkan jika harus membuat organisasi tandingan. Hal ini bisa terjadi jika para pihak mau dan mampu mendengarkan sekaligus mengakomodir kepentingan masing-masing, sesuai dengan tujuan akhir dari rekonsiliasi, yaitu terbangun ASPEK Indonesia yang akomodatif terhadap kepentingan seluruh afiliasinya, akomodatif terhadap kepentingan para pihak yang mewakili atau dipercaya oleh afiliasi. Mari jadikan ASPEK Indonesia berbeda!. Dinamika dan perbedaan terpelihara dengan ketaatan dan kesungguhan untuk mempertahankan nama besarnya. Biarkan ASPEK Indonesia menjadi nama dan organisasi tunggal di negeri ini.

Namun demikian, diatas itu semua, terhadap pekerjaan rumah terkait dengan dualisme afiliasi ke federasi atau asosiasi harus terus ditindaklanjuti dengan bukti dan tahapan legal formal, yaitu pengunduran diri secara tertulis kepada Federasi atau Asosiasi yang bukan ASPEK Indonesia. Sehingga, kredibilitas dan wibawa ASPEK dapat terjaga lebih baik lagi. Dengan demikian, publik percaya, bahwa bergabungnya salah satu atau beberapa afiliasi ke ASPEK Indonesia, tidak akan diduakan atau mendua. Selain bertentangan dengan peraturan perundangan, rasanya kondisi inipun telah menyentuh ruang-ruang etika berorganisasi. Saran penulis, KEN harus lebih proaktif melakukan screening terhadap status keanggotaan afiliasinya.

Kedepan, jika boleh beropini dan memberi saran, kita harus sama-sama mengoreksi diri, tidak perlu lagi terjebak kepada romantisme dan kekecewaan – kekecewaan. Mari bangkit dan hadapi realitas! Terlalu mahal harganya jika kita harus menjadi pecundang, jadilah pemenang sejati yang mampu menekan egoisme kalah dan menang. Masa depan ASPEK Indonesia adalah masa depan kita bersama, yang harus dibangun lagi dengan semangat solidaritas yang sesungguhnya. Bukan solidaritas semu dan sempit kepada aktifitas memenangkan kandidat semata.

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...