01 September, 2010

Malaysia Tetangga Kita

Catatan ini saya buat sebagai bagian dari rasa gemas saya terhadap kondisi hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia yang kembali menghangat belakangan ini. Sebagai dua Negara yang berdekatan, tentu memiliki banyak kesamaan: mulai dari budaya, sumber daya alam, iklim dan keberagaman warga negaranya yang sama – sama multi ras.

Usia kemerdekaan kedua bangsa ini juga relative sama sebenarnya, bahkan pada bulan yang sama, yaitu Agustus. Kita pernah menjadi Negara terjajah, bedanya Malaysia di jajah oleh Inggris dan Indonesia dijajah oleh Belanda plus Jepang.

Bedanya sedikit saja, Malaysia mengalami masa pertumbuhan ekonomi lebih cepat dan stabil dibandingkan dengan Indonesia. Sehingga Negara tersebut memiliki kesempatan untuk memberikan pelayanan dan mampu melakukan perubahan – perubahan mendasar dalam berbagai lini yang diperlukan untuk membangun kualitas manusianya menjadi lebih baik dibandingkan dengan pemerintah Indonesia. Sarana transportasi massal untuk umum, kualitas pendidikan dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) telah dibangun dengan tepat dan tidak mengenal kompromi. Sehingga hasilnya mulai dapat dirasakan dengan indikator pertumbuhan ekonomi yang membuat warga negaranya menjadi orang kaya baru – orang kaya baru, yang merasa dapat membeli apa saja yang ada di negara tetangganya.


Penyebab [Utama] Konflik

Menurut saya, trigger utama dari konflik yang acap muncul adalah Malaysia tidak memiliki respect yang cukup terhadap eksistensi dan keberadaan Indonesia sebagai bangsa. Karena, dimata kebanyakan warga Malaysia, warga negara Indonesia adalah warga negara kelas Tenaga Kerja Wanita (TKW/TKI). Referensi dan akses informasi atas keunggulan yang dmiliki Indonesia oleh mereka juga terbatas. Identifikasi atau yang mereka tahu akan kualitas sebuah Negara dan Bangsa semata berdasarkan kepada apa yang mereka rasa, lihat dan sentuh sehari – hari. Kita tidak bisa menafikan fakta dan kondisi nyata seperti ini. Merupakan bentuk dan level pemahaman yang paling dasar atas bagaimana kualitas seseorang - akhirnya menjadi kualitas bangsa- yang masih silau dengan simbol – simbol duniawi untuk membangun hubungan dengan orang lain. Respectness hanya diperlukan jika kita berhubungan dengan pribadi – pribadi yang kita anggap mapan secara ekonomi dan tidak perlu diberikan kepada mereka yang tidak berpendidikan dan miskin. Itulah kualitas kebanyakan masyarakat Malaysia kini.

Disisi yang lain, pemerintah Republik Indonesia dan kita sendiri, sebagai warga negara, tidak berhasil menunjukkan diri sebagai sebuah komunitas dan bangsa yang layak untuk membuat mereka berkenan memberikan respectnya kepada kita. Dignity, somehow adalah bentuk dari kehormatan sebuah bangsa, yang seharusnya dibangun dari pribadi –pribadi atau sebaliknya. Kehormatan, dalam percaturan global adalah prestasi saat ini! Semakin banyak prestasi yang mampu kita ukir, semakin cepat dignity point yang kita kumpulkan. Jika pendapatan per kapita penduduk Indonesia diatas penduduk Malaysia dan lebih banyak dignity yang berhasil kita bangun dan kumpulkan, menurut hemat saya, dengan sendirinya mereka akan respect sama kita. Itulah mentalitas positive banged yang saya anggap akan menyelesaikan masalah ini.

Dimana Peran Negara?

Nanti dulu, ketika kita belum berhasil membangun mentalitas positive di tingkat akar rumput (grass root), sudah pada tempatnya dan kewajiban Negaralah untuk membangun dignity itu secara top down. Harus ada inisiatif untuk membangun sikap resitensi dan perlawanan yang proporsional dengan menunjukkan jati diri yang lugas atas perlakuan dan tindakan pemerintah Malaysia tehadap warga negara yang tidak bisa kita terima. Soft diplomacy, hanya akan bekerja ketika tingkat respect negara lain berada pada level yang tinggi. Ketika level of repectness tidak berada di tingkat yang memadai, soft diplomacy adalah kelemahan. Akhirnya saya bisa memahami, ajaran Shorinji Kempo yang menyatakan ” Kekuatan Tanpa Kasih Sayang adalah Kedzaliman, Kasih Sayang Tanpa Kekuatan adalah Kelemahan”

Kita dibenarkan dalam hubungan internasional untuk menyampaikan nota protes dan melakukan tindakan untuk menarik Duta Besar kita untuk singgah sebentar ke markasnya di Jl. Pejambon. Ini untuk menunjukkan bahwa kita tidak suka dengan perlakukan Malaysia. Kita bisa saja untuk menghimbau kepada warga negara Indonesia untuk melakukan pengurangan konsumsi barang dan jasa dari perusahaan yang assetnya dimiliki oleh Malaysia. Tentu saja, tindakan ini akan berdampak kepada resiko kepada perlakuan yang tidak menyenangkan para majikan kepada saudara – saudara kita yang menjadi pekerja di rumah tangganya. Saya kira, resiko ini akan dipahami oleh mereka, saudara – saudara kita yang bekerja dan mencari nafkah disana. Sebagai bagian dari perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Tetapi kita harus mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal. Kasus – kasus kekerasan rumah tangga yang mungkin terjadi selama masa protes dan tidak harmonis ini, jika kadarnya kelewatan, dapat diajukan di Pengadilan di kemudian hari.

Karena saya percaya, secara ekonomi, Indonesia temasuk para TKInya masih sangat diperlukan oleh Malaysia untuk meneruskan pembangunan, pengembangan pasar dan mengumpulkan pundi – pundi yang bukan remah – remah dari Indonesia. Momentum inilah yang seharusnya digunakan untuk memikirkan ulang bentuk kerjasama yang lebih equal dan hubungan bilateral yang dibangun oleh tingkat kebutuhan dan respectness yang sama dan setara, antara Malaysia dan Indonesia. Selamat Ulang Tahun Malaysia dan Dirgahayu Indonesia. Jadilah mitra kerja Negara dan Tetangga yang sejajar dan beradab.

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...