23 December, 2005

Ketika ISO Menyoal Corporate Social Responsibility (CSR)

Ada anekdot menarik di kalangan engineer terkait dengan sebuah lembaga yang bernama resmi International Organization for Standardization (ISO) ini. Anekdotnya begini : “iso ora iso yo.. kudu iso”, dalam bahasa jawa ini kurang lebih artinya adalah “bisa ga bisa ya harus bisa”, dalam bahasa Inggris, frasa yang tepat mungkin it’s a must atau should be. ISO selama ini telah diakui sebagai lembaga yang memiliki reputasi untuk melakukan sejumlah standardisasi yang harus dipenuhi oleh industri maupun jasa di seluruh dunia. Sebut saja ISO 14000 mengenai environtmental managemen dan ISO 9001 tentang quality management system, untuk mewakili sejumlah ISO yang telah diterapkan dan berlaku saat ini. Legitimasi lembaga ini, dapat disetarakan dengan lembaga pemeringkat hutang seperti Standard and Poors untuk isu yang berbeda.

Dalam sebuah kesempatan, Noke Kiroyan, saat presentasi pada kegiatan 4th Annual Gathering Indonesia Business Links, dihadapan sejumlah pemimpin bisnis menyatakan bahwa Corporate Social Responsibility (CSR) akan menjadi isu dan komoditas berikutnya yang akan digulirkan oleh ISO untuk dipenuhi sertifikasinya. Dalam kesempatan tersebut, praktisi manajemen industri tambang ini, mengingatkan koleganya untuk lebih serius dan proporsional menyikapi hal ini. Serius dalam arti tidak menganggap enteng tuntutan dunia internasional terhadap komitmen perusahaan terhadap komunitas disekitar lokasi mereka berusaha. Sehingga sudah tidak pada jamannya lagi, praktek bisnis hanya mengedepankan profit sebagai indikator kesuksesan dan keberhasilan pemimpinnya.

Dalam kasus Indonesia, ditengah proses pembangunan definisi yang tepat mengenai CSR, pelaku bisnis yang selama ini relasi bisnisnya harus dilengkapi dengan sederetan ISO, rasanya tidak berlebihan jika harus mempersiapkan diri sedini mungkin. Karena jika ISO bernomer 26000 mengenai CSR ini diperkenalkan kepada publik, ya… kembali anekdot jawa tadi menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar. Meskipun, dalam rilis yang diambil dari website resmi ISO, standarisasi mengenai Social Responsibility, memang dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak wajib, tetap saja ini akan menjadi trend yang akan naik daun di tahun 2008 dan harus dihadapi dengan sungguh –sungguh, jika ingin tetap eksis dalam dunia usaha.

Bagaimana Bersikap ?

Ada beberapa sudut pandang yang akan mengemuka terkait masalah ini. Pertama, bagi para penggiat CSR dan komunitas yang selama ini memang telah bermukim di kawasan island of integrity, tentu akan menyambutnya dengan suka cita. Karena kerja – kerja yang selama ini telah dilakukan lebih awal akhirnya mendapat pengakuan secara internasional.
Kondisi ini, seharusnya menjadi penambah semangat bahwa doing good by doing well , seperti tema sentral yang di usung oleh IBL dalam kegiatan Annual Gathering, 06 Desember lalu, tidak selamanya menjadi aktivitas yang hanya dilakukan oleh segelintir orang saja . Hal ini akan menjadi aktivitas massal yang dilakukan oleh banyak orang diberbagai bidang dan dibelahan dunia yang berbeda. Diatas itu semua hal yang jauh lebih penting , dengan diberlakukannya CSR sebagai bagian dari ISO, akselerasi dan end result dari yang selama ini dilakukan, diyakini akan semakin mudah tercapai. Hasil akhir yang dimaksud adalah “… the commitment of business to contribute to sustainable economic development , working with employees and their representatives, their families, the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development.” ( Definition of CSR The World Bank Group version )

Kedua, bagi mereka yang berfikir dan bertindak short run, hal ini tentu saja akan dilihat sebagai komponen biaya baru yang terpaksa harus dicadangkan. Karena jika tidak akan mengganggu rantai proses produksi. Entah kecaman dari sejumlah aktivis atau bahwa ancaman boikot dari buyer atau end user. Terhadap pilihan – pilihan diatas, tentu akan dipengaruhi oleh referensi dan kematangan kita melihat fenomena yang sedang terjadi saat ini.

Yang menarik bagi Indonesia adalah, masih sangat sedikit pelaku bisnis yang aware terhadap isu ini. Dari yang sedikit aware pun masih terjadi perbedaan sudut pandang dan pemahaman apa dan bagaimana sesungguhnya CSR di perusahaannya masing-masing. Ada sejumlah kalangan yang menjadikan CSR sebagai bagian yang ditempelkan kepada social marketing dan tidak sedikit yang masih menerapkannya sebagai charity acitivity yang dilakukan bersamaan dengan peringatan ulang tahun perusahaan bahkan ketika terjadi bencana alam misalnya. Kondisi ini, jika tidak segera disiasati untuk segera dipecahkan sendiri formulasinya, dapat dipastikan akan dipaksa untuk mengikuti standard yang akan diterapkan oleh lembaga ISO tadi, tanpa pandang bulu. Jika sudah begini kondisinya, yang akan kita terima tentu saja pemaksaan – pemaksaan kehendak yang belum tentu sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia. Meskipun demikian, harapan kita penerapan ISO 26000 ini menjadi stimulir bagi tumbuhnya mentalitas pelaku bisnis yang lebih peduli dan memberi manfaat yang lebih banyak kepada masyarakat sekitar perusahaan berada.

Penutup

Untuk menghadapi diberlakukannya ISO 26000 di tahun 2008, mutlak dan penting rasanya bagi individu, komunitas bisnis, maupun lembaga – lembaga non pemerintah yang telah memiliki kompetensi untuk menyumbangkan pemikirannya mengenai CSR untuk bersedia secara sukarela melibatkan diri secara aktif dalam proses penyusunan standarisasi ini. Komitmen ini, sebagai bagian dari proses pembangunan karakter nasional (national character building) yang memiliki hak untuk terlibat dalam proses penyusunan kebijakan – kebijakan global yang akan diberlakukan (juga) di Negara ini. Ide konsorsium nasional yang mewakili kepentingan Indonesia, layak untuk segera dibuat dan bekerja bersama mengajukan sejumlah gagasan bagaimana seharusnya ISO 26000 diterapkan di Indonesia. Bukan saatnya lagi kita hanya menjadi objek dari sebuah kebijakan global, saatnya untuk bangkit berdiri dengan penuh percaya diri untuk melibatkan diri, karena Indonesia adalah bagian dari komunitas global yang penuh dengan kepentingan dan kesempatan. ISO 26000 seharusnya menjadi kepentingan dan kesempatan bangsa Indonesia untuk mendapatkan manfaat lebih banyak dari keberadaan sejumlah Multi National Coorporations dan perusahaan lokal yang melakukan aktivitasnya disini. Selamat Datang ISO 26000.


Disclaimer :
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat organisasi dimana penulis beraktivitas.

03 December, 2005

Mangga Dua : Percaya Ga Percaya

Sabtu, 3 Desember 2005. Ketika sebagian besar orang tua sedang bercengkrama dengan keluarga dan anak-anaknya. Saya masih di Lantai 4 Mangga Dua Orion. Gila!
Pasalnya adalah sudah tidak ada toko yang buka, tidak ada lagi transaksi para pedagang DVD bajakan dan juga para mbak- mbak tukang jualan juice. Norak apa Sakti?

Ga keduanya, karena dari kejadian yang saya alami hari ini, semakin nyata bahwa kita tidak bisa mengelola masalah. Karena masalah tidak bisa kita prediksi apalagi kita atur. Masalah dan permasalahan memang cuma dan seharusnya digenggam. Karena dia memiliki logika dan kehendaknya sendiri. Rencana yang diharapkan cepat bisa menjadi lama. Keuntungan dan kemudahan, terkadang harus berbalas dengan kerugian dan banyak kesulitan. Kemakmuran acapkali berganti dengan kesengsaraan. Popularitas bahkan berubah wujud menjadi kehinaan. Disanalah seni menjalani hidup dan mematangkan kepasrahan kepada Sang Khalik.

Begini ceritanya, siang tadi selepas kondangan ke tetangga, saya ditemani Tasya dan Lia, niat ke Orion cuma mau mindahin data dari Outlook di Tecra 8100 ke VAIO yang baru dibeli-in kantor. Ketika pekerjaan tersebut berjalan, koq dengan santainya sejumlah virus menyerang. Sejumlah program dan data yang ada di VAIO, terpaksa harus di perbaiki. Gila ! Jadilah malam mingguan di salah satu toko di Orion...

Kenapa harus ngotot? Tinggalin aja kan bisa?
Hmm... ga bisa! I need time for my Mbay. Besok enakan nonton kuda di ArthaYasa Stable dan saya harus berangkat pagi di hari berikutnya, Senin 5 Desember. NAD, menanti untuk kesempatan ketiga. Jadi harus... harus selesai malam ini. Begitu yang saya katakan ke A Hong, taknisi di Orion ini. We make deal!

Kembali, apakah masalah ini saya inginkan, TIDAK SAMA SEKALI!
Tapi, sekali lagi pembaca, saya belajar sesuatu dari A Hong. Dia lulusan SMEA dari Bangka Belitung dan sangat piawai menguasai bahasa komputer. Apa rahasianya? Kerja keras, ulaet dan mau belajar. A Hong... mulai pegang komputer 1999 dan dia tidak pernah mengenyam pendidikan formal untuk ini.
Kerja keras, Ulet dan dan Mau Belajar, pelajaran yang saya dapat dari Mangga Dua, malam ini. Percaya Ga Percaya

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...