09 December, 2004

Hati Serikat Pekerja Sebuah Ungkapan (menjelang ) Akhir Tahun

Fenomena mutakhir yang sedang in di negeri ini adalah hati. Tak kurang dari agamawan, pelaku usaha dan para politisi menawarkan solusi dan cara pandang baru terhadap masalah melalui mata hati. Saat ini, kita sangat akrab dengan terminologi Manajemen Qolbu ala Aa Gym, Gde Prama dengan Pengembaraan Batinnya dan Emotional Spiritual Quotientnya Ginandjar. Hal ini cukup menggembirakan karena pada akhirnya, kita sebagai manusia menemukan kesamaan, bahwa setiap kita memiliki hati. Hati yang diharapkan akan jernih melihat setiap pokok permasalahan. Ada situasi dan kondisi yang lebih baik dan untuk menerima perbedaan dan yang diiringi dengan keihklasan untuk mendengarkan.

Serikat Pekerja, menurut hemat penulis, masih menjadi kosa kata yang berkonotasi kepada hal – hal yang masih miring, sepatutnya dihindari bahkan menakutkan, bagi sebagian orang, terutama pekerja di tingkat menengah dan sejumlah besar pengusaha. Hal ini jelas tidak pada tempatnya lagi untuk dipertahankan. Perlu dilakukan pemaknaan ulang, yang harus dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan. Komunitas pekerja dan pengurus Serikat Pekerja, tentu harus memposisikan dirinya dengan kualitas negosiasi dan cara memandang permasalahan dengan argumentasi dan tawaran solusi yang semakin baik, sementara pihak yang selama ini mencibir, perlu menempatkan diri secara benar untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan jernih akan impian dan cita – cita yang ingin diraih komunitas ini.

Memanfaatkan fenomena yang sedang in tadi, dalam kesempatan ini, penulis ingin mengutarakan, apa yang sesungguhnya yang mendasari hati dan ide dasar aktivitas dan perjuangan serikat pekerja?

Keadilan dan Hak untuk Hidup Lebih baik, sebagai bagian dari komunitas bangsa, adalah wajar untuk memiliki kualitas hidup yang layak dan wajar. Tidak pada kondisi sebagai warga negara kelas dua apalagi menjadi „budak di era globalisasi“. Bentuk – bentuk dan kondisi kerja layak (decent work) merupakan batasan ideal yang harus dimiliki para pekerja atau buruh. Jangan sampai terjadi penindasan dan eksploitasi terhadap tenaga kerja sebagai bagian dari proses produksi semata. Jika demikian, apa bedanya dengan agamawan yang berkhotbah untuk hidup penuh amal jika dibandingkan dengan perjuangan pengurus serikat [ekerja untuk memperbaiki kondisi upah melalui UMP? Persoalannya kemudian kenapa agamawan tidak diintimidasi sementara pengurus serikat pekerja mendapat perlakukan yang diskriminatif? Penuh ancaman dan keterbatasan untuk meningkatkan karir?

Partisipasi Civil Society terhadap proses pembangunan, ketika peran negara demikian dominan, tentu harus diimbangi dengan peran lain yang mampu memberikan pemikiran alternatif sekaligus menempatkan posisinya sebagai pemantau atau pengamat. Sehingga, prestasi dan agenda pembangunan yang dilaksanakan benar – benar teruji memberikan manfaat bagi masyarakat. Dalam koteks pembangunan dunia kerja atau ketenagakerjaan, pemerintah diwakili oleh Depnakertrans, tentu saja memerlukan partner strategis. Disinilah peran pengurus serikat pekerja/serikat buruh muncul.

Media untuk meningkatkan kualitas SDM, tidak dapat dimungkiri bahwa rendahnya anggaran negara untuk pendidikan turut memberi kontribusi kepada rendahnya kualitas penduduk usia produktif di negara ini. Sehingga berpengaruh kepada rendahnya nilai jual dari angkatan kerja kita, ujung –ujungnya adalah rendahnya gaji yang dapat dinikmati oleh pekerja. Kemudian, berangkat dari rendahnya gaji atau pendapatan pekerja, akhirnya akan diikuti oleh sejumlah permasalahan turunan lainnya. Ketidakmampuan mengkonsumsi asupan dengan gizi tinggi, kesulitan untuk mendapatkan kualitas pendidikan dan seterusnya hingga secara sistematis akan melahirkan generasi baru yang rendah pula kualitasnya. Serikat Pekerja, mampu menghadirkan bentuk bentuk pelatihan dan pendidikan alternative bagi para anggotanya. Dalam skala nasional atau dalam tingkat asosiasi atau federasi, setidaknya bagi para pengurus SPnya masing –masing. Pengetahuan yang dikembangkan dalam serikat pekerja, sejauh ini mulai memasuki kawasan yang berhubungan dengan soft skill, kemampuan bernegosiasi, menciptakan suasana yang baik untuk berkomunikasi dan seterusnya. Disamping tentu saja pengetahun dasar tentang bagaimana melakukan pengorganisasian, pengetahuan tentang PKB dan ilmu-ilmu dasar lainnya bagi seorang pengurus dan anggota SP.

Semoga tiga pandangan tadi mampu membukakan hati kita masing – masing, bahwa berserikat merupakan keniscayaan yang memberi manfaat banyak bagi penguatan partisipasi publik kepada negara dan negara kecil berupa perusahaan dimana kita bekerja. Sehingga apresiasi terhadap para pengurus serikat pekerja atau pekerja yang menjadi anggota serikat pekerja menjadi semakin baik. Impiannya, kita akan bangga menjadi anggota SP seperti bangganya kita menjadi member dari Fitness Center atau Club – Club Social lainnya. Karena berserikat seharusnya menjadi style of life bagi pekerja.

No comments:

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...