15 January, 2009

Ngapain Juga Kita Mikirin Palestina?


Oleh Shofwan Al-Banna Choiruzzad

Surabaya, 1945...

Langit gelap. Bukan oleh awan yang hendak menurunkan hujan. Angkasa
dipenuhi pesawat sekutu yang bergemuruh. Di dalamnya, para serdadu
masih menyisakan keangkuhan. Mereka baru saja menghancurkan pasukan
Jepang di Front Pasifik. Dari langit, mereka menebar ancaman:
"menyerah, atau hancur".

Beberapa pekan sebelumnya, pengibaran bendera Belanda memicu amarah
para perindu kemerdekaan. Seorang pejuang mencabik warna biru dari
bendera Belanda di Tunjungan, menggemakan pesan bahwa negeri ini tak
rela kembali dijajah. Tentara sekutu menjawab dengan salakan senapan,
bersembunyi di balik alasan "memulihkan perdamaian dan ketertiban".
Jiwa-jiwa merdeka itu berontak. Brigadier Jenderal Mallaby, pimpinan
tentara Inggris di Surabaya, terbunuh. Sekutu murka.

Rakyat gelisah. Surabaya telah lama dikenal sebagai salah satu pusat
perlawanan. Laskar-laskar dari berbagai pesantren dan daerah banyak
yang menjadikan kota ini sebagai markas. Di kota ini pulalah,
Cokroaminoto dan Soekarno muda mendiskusikan cita-cita kemerdekaan.

Suara dari lelaki kurus itu menghapus semua keraguan.

"Saudara-saudara rakyat Surabaya.
Bersiaplah! Keadaan genting.
Tetapi saya peringatkan sekali lagi.
Jangan mulai menembak.
Baru kalau kita ditembak.
Maka kita akan ganti menyerang mereka itu.
Kita tunjukkan bahwa kita itu adalah orang yang benar-benar ingin merdeka.
Dan untuk kita saudara-saudara.
Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.
Semboyan kita tetap.
Merdeka atau mati.
Dan kita yakin, Saudara-saudara.
Akhirnya, pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita.
Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.
Percayalah Saudara-saudara!
Tuhan akan melindungi kita sekalian.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Merdeka!"

Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya itu akan terus dikenang sebagai
tonggak kemerdekaan Indonesia. Semua yang mengaku mencintai negeri ini
tidak layak untuk menjadikan peristiwa itu berdebu di pojokan sejarah.

***

Gaza, peralihan tahun 2008-2009...

Kota padat berpenduduk sekitar 1,5 juta orang ?mayoritas pengungsi
akibat pengusiran biadab Israel sejak tahun 1948, 1967, dan ekspansi
ilegal pemukiman yahudi yang tak pernah menghormati perjanjian yang
dibuatnya sendiri- itu mencekam. Sejak 27 Desember 2008,
pesawat-pesawat Israel yang dilengkapi dengan bom-bom terbaru kiriman
Washington membombardir kota ini. Ehud Barak, Menteri Pertahanan
Israel, menyatakan bahwa operasi berjudul "Cast Lead" ini akan
memakan waktu lama. Hingga hari ini, 510 orang telah meninggal dunia dan
ribuan luka-luka. Tidak ada jurnalis diizinkan masuk. Bantuan medis
pun kesulitan.

Demonstrasi bergolak dari Jakarta sampai Eropa. Dari Jordania hingga
Amerika. Posko bantuan dibuka di mana-mana, meskipun masih sangat
kurang dibandingkan kebutuhan penduduk Gaza.

***

Hati saya sakit saat ada yang berkata: "Ngapain kita ngurusin
Palestina, wong negeri kita saja masih amburadul".

Semoga kita tidak melupakan sejarah bahwa Al-Hajj Amin Al Husaini,
Mufti Palestina, adalah orang pertama yang menyiarkan kemerdekaan
Indonesiadi radio internasional.

Alasan yang sepintas terlihat nasionalis ini adalah pengkhianatan
kejam pada nasionalisme Indonesia itu sendiri. Preambule Undang-undang
Dasar 1945 mendeklarasikan dengan jelas perlawanan pada segala bentuk
penjajahan. Soekarno dan Hatta berkali-kali menandaskan bahwa
nasionalisme Indonesia tumbuh di taman kemanusiaan. "Jangan pikirkan
hal lain kecuali Indonesia" adalah logika yang menghina keindonesiaan.

Hati saya lebih sakit lagi saat ada yang mengatakan "Itu kan salah
HAMAS sendiri yang tidak mau damai dan menembakkan roket! Media di
Indonesia terlalu berpihak pada Palestina, nih? gak berimbang!"

Lalu, yang berimbang itu seperti apa? Seperti media massa Barat yang
lebih menyalahkan HAMAS, menyiarkan propaganda Israel bahwa serangan
ini adalah respon dari tindakan HAMAS menyerang Israel, menyalahkan
sikap HAMAS yang memutus gencatan senjata? Sepertinya kita harus
menelaah peringatan Finkelstein, seorang ilmuwan Yahudi, dalam bukunya
Beyond Chutzpah: On the Misuse of Anti-Semitism and Abuse of History
dan Image and Reality of Israel-Palestinian Conflict. Sejarah telah
dibajak untuk tidak pernah mengkritisi Israel dan media massa pun
tidak bebas dari pembajakan ini. Untuk melihat bias media barat dalam
isu Palestina, silakan buka www.ifamericansknew .org .

Bahkan, menurut saya, media di Indonesia masih terlalu berpihak pada
Israel. Tidak ada yang menyebutkan fakta bahwa pemutusan gencatan
bersenjata oleh HAMAS itu didahului oleh suratprotes gerakan
perlawanan itu atas terbunuhnya 4 orang petani di Gaza oleh tentara
Israel. Tidak ada yang mengingatkan bahwa Israel terus melanggar
perjanjian damai yang disepakatinya sendiri dengan membiarkan
pemukiman ilegal terus tumbuh. Kita juga tak boleh lupa dengan tembok
pemisah apartheid Israel yang memutus akses rakyat Palestina pada
kebutuhan vital kehidupan. Belum lagi blokade Gaza yang lebih kejam
dari Blokade Berlin pada masa Perang Dingin.

"Itu kan salah HAMAS sendiri yang tidak mau damai"

Sampaikan pernyataan itu pada Bung Tomo dan para pendiri negeri ini.
Alhamdulillah, para pendiri negeri ini menolak iming-iming perdamaian
palsu di bawah ketiak Ratu Belanda. Soekarno bahkan menantang: "Ini
dadaku, mana dadamu!"

Kalau kita menggunakan logika yang sama, berarti kita mendukung Agresi
Militer Belanda pada tahun 1948. "Itu kan salah para pejuang
kemerdekaan Indonesia yang tidak mau damai!"

Tidak banyak yang mengingatkan bahwa Israel berdiri dengan berkubang
darah pembersihan etnis yang menghalalkan pembantaian dan pengusiran
terhadap penduduk asli Palestina (Ilan Pappe: The Ethnic Cleansing of
Palestine ). Komunitas Yahudi yang hidup dalam perdamaian di bawah
Khilafah Utsmaniyah tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan
saudara-saudara mereka yang mengungsi dari kebiadaban Eropa dan
membawa ide rasis radikal untuk mendirikan Israel (Amy Dockser Marcus,
Jerusalem 1913). Bayangkan, komunitas yahudi saat itu yang sekecil
komunitas muslim di Swedia saat ini tiba-tiba menuntut Negara sendiri
dengan luas wilayah yang melebihi luas wilayah penduduk aslinya. Kalau
muslim di Swedia tiba-tiba menuntut mendirikan Negara Islam, mereka
pasti segera dicokok dan dilabeli teroris.

Memori pembantaian ini dihapus dari sejarah dunia dan dari kesadaran
rakyat Israel. Pada saat yang bersamaan, kenangan pahit ini terus
hidup di antara rakyat Palestina. Maka, sangat sulit bagi orang
Palestina untuk menerima perdamaian yang tidak pernah berpihak pada
mereka, lha wong keberadaan Israel saja tidak legal! Wajar jika
popularitas HAMAS semakin lama justru semakin meningkat.

Indonesia saat itu tegas tidak mengakui Israel karena melihat fakta
ini. Sayang, kini banyak yang sudah lupa. Banyak yang terjebak dalam
narasi fiktif "Israel yang cinta damai terancam keberadaannya oleh
HAMAS yang ekstrimis yang tidak mau damai".

Kalaupun kita harus menerima fakta bahwa berdasarkan hukum rimba
Israel itu eksis, tidak berarti bahwa kita berhak menyalahkan mereka
yang menghendaki perdamaian sejati yang lahir dari kemerdekaan. Saya
mendukung proses perdamaian, tapi harus dengan dialog yang adil dan
terbuka yang melibatkan HAMAS sebagai kekuatan riil di Timur Tengah.
Tidak sekedar perjanjian sepihak yang dibuat AS dan Israel lalu
dipaksakan pada Palestina.

Kemanusiaan. Keindonesiaan. Islam.
Ketiganya memaksa saya berpihak pada yang lemah dan tertindas.

09 January, 2009

A Letter for Mr. President


Open Letter to Barack Hussein Obama, President-elect of the United States of America
By Dr. Mahathir Mohamad and Former Prime Minister of Malaysia

Global Research, January 2, 2009

January 1, 2009

Dear Mr. President,

I did not vote for you in the Presidential Election because I am Malaysian.

But I consider myself one of your constituents because what you do or say will affect me and my country as well.

I welcome your promise for change. Certainly your country, the United States of America needs a lot of changes.

That is because America and Americans have become the most hated people in the world. Even Europeans dislike your arrogance. Yet you were once admired and liked because you freed a lot of countries from conquest and subjugation.

It is the custom on New Year's day for people to make resolutions. You must have listed your good resolutions already. But may I politely suggest that you also resolve to do the following in pursuit of Change.

1) Stop killing people. The United States is too fond of killing people in order to achieve its objectives. You call it war, but today's wars are not about professional soldiers fighting and killing each other. It is about killing people, ordinary innocent people by the hundreds of thousands. Whole countries will be devastated.

War is primitive, the cavemen's way of dealing with a problem. Stop your arms build up and your planning for future wars.

2) Stop indiscriminate support of Israeli killers with your money and your weapons. The planes and the bombs killing the people of Gaza are from you.

3) Stop applying sanctions against countries which cannot do the same against you.

In Iraq your sanctions killed 500,000 children through depriving them of medicine and food. Others were born deformed.

What have you achieved with this cruelty? Nothing except the hatred of the victims and right-thinking people.

4) Stop your scientists and researchers from inventing new and more diabolical weapons to kill more people more efficiently.

5) Stop your arms manufacturers from producing them. Stop your sales of arms to the world. It is blood money that you earn. It is un-Christian.

6) Stop trying to democratize all the countries of the world. Democracy may work for the United States but it does not always work for other countries.

Don't kill people because they are not democratic. Your crusade to democratize countries has killed more people than the authoritarian Governments which you overthrew. And you have not succeeded anyway.

7) Stop the casinos which you call financial institutions. Stop hedge funds, derivatives and currency trading. Stop banks from lending non-existent money by the billions.

Regulate and supervise your banks. Jail the miscreants who made profits from abusing the system.

8) Sign the Kyoto Protocol and other international agreements.

9) Show respect for the United Nations.

I have many other resolutions for change which I think you should consider and undertake.

But I think you have enough on your plate for this 2009th year of the Christian Era.

If you can do only a few of what I suggest, you will be remembered by the world as a great leader. Then the United States will again be the most admired nation. Your embassies will be able to take down the high fences and razor-wire coils that surround them.

May I wish you a Happy New Year and a great Presidency.

Yours Sincerely,

Dr. Mahathir bin Mohamad

(Former Prime Minister of Malaysia )

Mahathir Mohamad is a frequent contributor to Global Research. Global Research Articles by Mahathir Mohamad

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...