11 June, 2005

Tuhan, Ampuni Hamba ..

Berita ini saya ambil dari milist, yang sumber aslinya sepertinya dari Harian Warta Kota. Apapun kondisinya, berita ini sungguh memilukan hati, membuat marah sekaligus sampai menitikkan air mata.
Ya Allah, ampuni Hamba, karena sebagai warga negara yang sehari-hari bekerja di Jakarta, kejadian ini sungguh memilukan.


Salemba, Warta Kota

PEJABAT Jakarta seperti ditampar. Seorang warganya harus menggendong
mayat anaknya karena tak mampu sewa mobil jenazah.

Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta-Bogor pun geger
Minggu (5/6). Sebab, mereka tahu bahwa seoran pemulung bernama Supriono (38thn) tengah menggendong mayat anak, Khaerunisa (3 thn). Supriono akan
memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa
KRL. Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta, lantas
dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan.

Di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi. Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi.

"Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang
untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya Rp 4.000,- saya
hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,-per hari". Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu.

Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya.
Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski
Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.

Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa
menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00. Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau.

Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan Muriski hanya dapat termangu. Uang di saku tinggal Rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans.

Khaerunisa masih terbaring di gerobak. Supriono mengajak Musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari Manggarai hingga ke Stasiun Tebet, Supriono berniat menguburkan anaknya di kampong pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.

Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di Stasiun Tebet.
Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus
jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka,
biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap Sang Khalik.
Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono menggendong
Khaerunisa menuju stasiun. Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba seorang
pedagang menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan
oleh Supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor spontan
penumpang KRL yang mendengar penjelasan Supriono langsung berkerumun
dan Supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet.

Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang
ambulans hitam. Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera
dimakamkan. Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan
surat permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat Khaerunisa
yang terbujur kaku.

Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya
telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh adiknya.
Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi karena tidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono harus berjalankaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng
tangan Muriski. Beberapa warga yang iba memberikan uang sekadarnya
untuk ongkos perjalanan ke Bogor. Para pedagang di RSCM juga memberikan air
minum kemasan untuk bekal Supriono dan Muriski di perjalanan.

Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku
benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut
karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli
terhadap sesama.

"Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung
jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga
Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap.
Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia",ujarnya.

Koordinator Urban Poor Consortium, Wardah Hafidz mengatakan peristiwa
itu seharusnya tidak terjadi jika pemerintah memberikan pelayanan kesehatan
bagi orang yang tidak mampu. Yang terjadi selama ini, pemerintah hanya
memerangi kemiskinan, tidak mengurusi orang miskin kata Wardah.

Innalillahi Wainnaillaihi Rodjiuun..
Semoga Adik Khaerunisa dapat tenang dan diterima disisiNYA dan Keluarga
yang ditinggalkan mendapat kemuliaan dan ketabahan. Amiin..

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...