23 May, 2008

Indonesia, Bisa?

Zaim Uchrowi pernah menulis Resonansi di Republika dengan nada sinis tentang slogan atau deklarasi yang coba ditawarkan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam perhelatan kolosal peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional yang digelar 20 Mei 2008 di Istora Bung Karno.

Sinisme yang beralasan, sehingga harus tetap dihargai sebagai upaya yang bersangkutan untuk konsisten mengkritisi hal - hal yang menurut pengetahuan dan logikanya: kebangkitan yang yang terjadi pada dekade ini, tidak cukup layak untuk dirayakan. Atau bahkan dapat dikatakan tidak ada kebangkitan apa-apa! Berbeda dengan parameter yang digunakan tentang sejumlah langkah dan tindakan besar yang berhasil diukir oleh pada pahlawan nasional bangsa ini pada zamannya. Adalah berdirinya Sarekat Dagang Islam, yang dijadikan pembanding. Apa yang "berhasil" diraih oleh kita pada abad ini, sama sekali tidak sebanding dengan apa yang ditorehkan oleh para pendiri Sarekat. Tidak ada ruh kebangkitan yang terasa, ketika semangat nasionalisme surut menuju titik nol. Dimana asset bangsa makin banyak jumlahnya yang di kuasai asing, langsung maupun tidak langsung. Tidak ada lagi kebanggaan sebagai bangsa yang besar, ketika tidak ada satupun cabang olahraga di tingkat Olympiade yang mengantarkan bendera Merah Putih diperdengarkan kepada penduduk dunia. Ketika Indonesia diidentikkan dengan TKI dan TKW sebagai anak-anak bangsa yang mengemis pekerjaan, karena Negaranya sendiri tidak mampu memberikannya. Dan, masih banyak hal-hal yang kurang sedap untuk diceritakan diisi untuk menunjukkan bahwa kita belum layak meryakan atau memperingati kebangkitan sebuah bangsa. Mungkin itu yang menjadi pemikiran Zaim dalam tulisan tersebut.
Saya, tidak menampik apa yang menjadi kegalauan hati Zaim, karena benar adanya. Namun izinkan saya, berbagi perasaan dan pengalaman, karena hadir mengikuti perayaan tersebut. Pergerakan manusia dalam jumlah besar dari berbagai profesi, usia dan kalangan, disertai dengan kerja keras panitia yang menghelat acara tersebut, tetap meninggalkan kesan dan rasa, bahwa ada yang masih bisa kita kerjakan dan banggakan sebagai bangsa. Setidaknya, rasa nasionalisme yang tertidur, coba dibangkitkan sesaat, dengan mengingatkan kembali sejumlah keunggulan dan keragaman budaya yang dimiliki. Dinamika gerak para penari cilik dari berbagai kota di Indonesia, kesigapan tentara dan polisi melakukan demonstrasi bela diri tanpa senjata, sedikit banyak menggugah saya bahwa kita masih memiliki sesuatu. Setidaknya, TNI kita masih solid, budayawan dan para seniman kita masih kreatif dan istiqomah menjalani profesinya sebagai penjaga budaya bangsa. Para penggagas acara ini, rekan -rekan Trans TV dan Pak CT masih mau dan rela bekerja keras untuk membuat sebuah karya. Sekali lagi, bisa jadi ini hanya bersifat sesaat dimana acara berlangsung. Ya.. bisa jadi.
Sehingga, ketika kembali kepada realitas yang dihadapi dan bukan pada "dunia pertunjukan" yang dihadirkan di Gelora Bung Karno serta menggunakan indikator-indikator ekonomi makro kemudian dibandingkan dengan kondisi yang telah dicapai negara-negara tetangga. Tentu saja, "kebanggaan sesaat" itu, akan lenyap seketika!. Tinggal bagaimana, orang-orang seperti saya yang menikmati kebangkitan sesaat dapat terus memelihara perasaan tersebut dalam menjalani kehidupan yang benar nyata. Bagaimana saya, sebagai pribadi secara konsisten mampu mensugesti diri untuk terus berkarya bagi kepentingan bangsa dan negara, konsistensi saya sebagai warga negara saya yakini akan lebih terpelihara dan mencapai hasil yang maksimal jika mendapat dukungan dan arahan yang lebih komprehensif dari para pemimpin dan pejabat negara. Untuk mendukung kebutuhan ini, saya jadi teringat ucapan, Mas Erie Sudewo "ngurus satu orang miskin cukup dengan zakat fitrah, ngurus seratus orang miskin perlu lembaga amil zakat, kalo ngurus sejuta orang miskin perlu politik!". Politik dalam konteks ini adalah kebijakan negara. Sehingga, kebangkitan yang mungkin yang timbul pada individu-individu yang hadir dalam pertunjukkan tersebut, harus difasilitasi oleh negara sehingga benar -benar menjadi national movement yang dahsyat.
Kita memiliki KPK sebagai institusi yang kredibilitasnya makin terpelihara dan diakui, anak-anak kita sudah menjuarai sejumlah olympiade sains, para pekerja seni kita sudah 'mengganggu' popularitas seniman negara tetangga, kita punya Garin Nugroho, terakhir kita memiliki Sri Mulyani Indrawati, yang mampu mengalahkan level pengaruh Hillary Clinton menurut Forbes di jagat ini. Tak ketinggalan, keluarga Panigoro menunjukkan kelasnya sebagai world wide company di industri minyak dan pertambangan dan saya percaya masih banyak lagi yang dapat ditulis dialinea ini untuk menunjukkan bahwa Indonesia Bisa!

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...