27 October, 2010

Kita dan Banjir (Plus Kemacetan) Jakarta


"Menurut hitungan kami, untuk 5-7 hari, kerugian antara Rp 2 - 3 triliun," kata Farabi seperti ditulis dalam pesan elektronik yang diterima VIVAnews, Selasa 26 Oktober 2010.


Berbicara dampak banjir dan bencana alam, senantiasa mampu memunculkan angka –angka fantastis. Karena kita kebanyakan baru sadar kerugian ekonomis dari kondisi yang nyaman, ketika musibah datang. Seperti, keterhenyakan kita melihat tagihan dari Rumah Sakit, ketika kita atau salah seorang keluarga kita memerlukan perawatan. Namun demikian, keterhenyakan ini kembali redup sampai akhirnya lenyap, ketika kondisi sudah kembali dan berjalan normal.

Khusus mengenai dampak banjir  dan kemacetan di Jakarta, rasanya kita sering membicarakannya dari berbagai aspek dan kedalaman analisa, sayangnya, tidak pernah ada perubahan yang berarti hingga hari ini. Kejadian tanggal  25 Oktober lalu, sekali lagi menggugah kemarahan dan kekesalan kita akan lemahnya daya dukung infrastruktur kota ini.

Menurut hemat saya, seharusnya, kejadian kemarin menjadi momentum terakhir  untuk membangkitkan kesadaran dan komitmen kita bersama: Pemda DKI, Pemerintah Kota Bogor, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Pusat, Pengusaha Nasional, Pengusaha Multi Nasional dan semua orang yang hidup di Jakarta untuk melakukan hal – hal berikut:

  1. Menerima fakta, masalah ini TIDAK MUNGKIN akan selesai jika dikerjakan oleh Pemerintah DKI saja. Karena masalah ini, sejatinya memang Kompleks dan Fauzi Bowo, sudah cukup menunjukkan ketidakmampuannya menyelesaikan masalah ini. Jadi, jangan paksa dia, lebih baik libatkan dia untuk memahami bahwa dia tidak mungkin sanggup.
  2. Lakukan perbaikan secara radikal, saluran – saluran air yang sekarang ada:  jika terjadi penyempitan di lebarkan, yang dangkal di perdalam, bangun lebih banyak daerah –daerah resapan air  dengan melakukan ”pembangunan baru”  berupa penciptaan hutan kota – hutan kota dengan prosentase yang terukur, proporsional dan tersebar, terutama didaeah – daerah yang selama ini rentan banjir.  Swasta Nasional dan Multinasional, termasuk masyarakat luas: pengusaha perumahan (developer), komunitas, organisasi masyarakat, dipacu untuk masing – masing memiliki hutan kota, kebun dan kawasan terbuka hijau lainnya. Biarkan diberi nama Hutan Astra, Taman Danamon, Kebun Yamaha dan seterusnya.
  3. Pemerintah Daerah (DKI, Bogor, Banten dan Bekasi) seharusnya serius dan sungguh – sungguh untuk melakukan langkah – langkah yang terkait dengan:
    1. Menghentikan mengeluarkan IMB untuk kawasan dan pusat perbelanjaan di Jakarta, dimanapun lokasinya. Termasuk harus super selektif untuk mengeluarkan izin yang sama bagi pemerintah daerah yang berada di kota Banten, Bekasi dan Bogor. Biarkan lahan dan tanah yang tersisa saat ini, untuk menjadi resapan air. Kalaupun merasa ”kegenitan” hendak melakukan pembangunan buatlah lebih banyak lapangan – lapangan sepakbola yang dikelilingi oleh pertokoan yang tidak perlu terlalu tinggi, katakanlah cukup dua lantai saja.
    2. Keluarkan pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi dan secara bersamaan serius menggunakan dana pembangunan yang ada untuk membangun jalan, membangun jalan dan membangun jalan. Ajak pengusaha yang hendak membangun Apartemen dan Pertokoan untuk memilih membangun jalan. Karena yang diperlukan oleh Jakarta saat ini adalah jalan, sekali lagi jalan. Berikan insentive dan kalkulasikan pembagian keuntungannya, mungkin dengan pembayaran cicilan dari APBD selama rentang waktu tertentu.
    3. Atur mekanisme pengeluaran izin trayek di daerah penyangga ibukota, sehingga tidak terlalu banyak izin trayek bagi lahirnya rute – rute baru dengan menggunakan moda transportasi ukuran kecil. Ciptakan alternative angkutan massal dengan melibatkan para pemilik angkot, kalo perlu dirikan perusahaan bersama, sehingga kepemilikan trayek dapat dikontrol secara lebih mudah dan bukan kepemilikan pribadi yang susah untuk mengendalikannya.
  4. Libatkan atau  wajibkan, para Pengusaha Nasional dan Multi Nasional untuk membebaskan, daerah aliran sungai dari pemukiman penduduk, yang kumuh dan menggagggu proses pemeliharaan daerah aliran sungai. Bebankan mereka untuk menjadi ”indung semang” atau ”bapak angkat” dari proses  pengalihan kawasan ini, dengan membuat rumah susun sederhana dan kawasan baru untuk aktivitas ekonomi didalam kompleks rumah susun yang baru. Kisah sukses proses normalisasi Kali Angke oleh Yayasan Tzu Chi, seharusnya menjadi role model yang jelas dan mudah untuk diduplikasi.
  5. Pada level diri sendiri, masing –masing individu yang bisa diperluas ke tingkat keluraga, membangun komitmen dan secara sungguh – sungguh untuk:
    1. menahan diri, mengekang libido untuk memiliki kendaraan roda empat yang lebih dari kebutuhan, belajar mengelola waktu dan diri memanfaatkan angkutan massal yang dimiliki dan disediakan oleh pemerintah
    2. berdisiplin untuk mengelola sampah dilingkungan masing – masing dan tidak membuang sampah sembarangan, apalagi membuang sampah ke daerah aliran sungai

Pemikiran dan gagasan terserak diatas, sejatinya adalah  tidak ada yang baru, sehingga yang diperlukan sekarang adalah kesungguhan dan komitmen bersama untuk melaksanakannya. Harus ada tokoh sentral yang tangguh dan mbalelo dan berani menggunakan kepemimpinan tangan besi, dan menggunakan kacamata kuda, fokus hanya memikirkan dan bekerja untuk kepentingan bersama.

Karena, kalo sampai kejadian tanggal 25 Oktober lalu, terjadi lagi, kita semua yang rugi. Sehingga, selayaknya manusia yang berakal sehat dan bukan bangsa keledai, tentu tidak ingin terperosok kedalam jurang yang sama. Mari kita sungguh – sungguh berkomitmen dan merasa dendam kepada kejadian tanggal 25 Oktober 2010 serta mengazamkan diri akan menjadi kejadian terakhir yang kita rasakan bersama.

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...