27 December, 2007

Personal Outlook di Warung Tegal

Hari ini, saya makan siang bersama dengan salah seorang rekan, Pahrian G. Siregar namanya, di salah satu "warung tegal" yang ada di sekitar kantor. Biasanya, kami makan siang dalam jumlah banyak di kantin SCTV. Sekalian cuci mata karena banyak presenter dan sejumlah "esmud"yang bekerja sekitar kawasan Gatot Soebroto, yang menghabiskan saat istirahatnya dikantin yang dikelola oleh koperasi karyawan salah satu stasiun televisi dengan tagline -ngetop - nya itu.
Sebuah catatan menarik, untuk dapat izin naik dalam blog ini, adalah sejumlah saran dan pandangan yang bernas, tentang bagaimana agar bisa bertahan dan berkembang dalam meniti karir di sebuah entitas yang berjubah Non Goverment Organization (NGO). Mengapa menarik? karena makan siang kali ini, bisa jadi akan menjadi makan siang terakhir saya dengan dia dipenghujung tahun 2007. Alasan lain, karena yang bersangkutan akan undur diri dari tempat bekerja saat ini, dan mencari petualangan-petualangan baru ditempat yang berbeda mulai tahun depan.
Menurut dia, yang paling bernilai dari seseorang yang bekerja di NGO adalah penguasaan terhadap issue. Yang diteruskan dengan kata-kata spesifik, unik dan tidak dimiliki oleh orang lain. Penguasaan issue yang unik, ditambah dengan networking yang kuat dan luas di kalangan civil society merupakan esensi yang harus menjadi investasi bagi siapapun yang memilih untuk bekerja dan meniti karier di NGO. Human investment melalui capacity building dapat ditempuh dengan berbagai cara: mengerjakan sejumlah pekerjaan dan proyek - proyek baru dengan kemampuan individu dan organisasi sendiri, melakukan riset yang berbeda dengan yang pernah dilakukan oleh organisasi lain dan berani untuk mengemukakan gagasan orisinal, melalui tulisan dan ujaran kala menghadiri diskusi dan debat publik, adalah tahapan - tahapan selanjutnya yang perlu dilakukan agar seseorang menjadi somebody . Karena karir dan pekerjaan yang menjanjikan di komunitas NGO sangat ditentukan kepada kemampuan kita menjual kapasitas personal yang ditunjukkan dengan kerja - kerja dan rekam jejak yang excellent. Tantangannya kemudian, rekam jejak yang excellent tadi akan mumpuni jika diimbangi dengan kemampuan kita untuk mendokumentasikannya dalam bentuk tulisan entah itu berupa jurnal ilmiah, opini publik di media massa atau seminar-seminar. Sehingga kemampuan menulis adalah kompetensi lain yang harus dimiliki. Jika ini semua sudah dimiliki, insyaallah pekerjaan yang akan menghampiri kita, bukan kita yang mencari - mencari pekerjaan. Saya kira, apa yang disampaikannya senafas dengan satu diantara puluhan catatan dalam kitab suci yang menyatakan keutamaan umat manusia yang berilmu yang dibarengi dengan kualitas dan keutamaan iman. Makin tinggi ilmu seseorang, seyogyanya akan diikuti dengan kemuliaan dan kemudahan dalam hidupnya.
Hidangan yang tinggal sedikit, makin sedikit, tatkala diam saya mencerna sejumlah saran dan ilmu yang baru saja saya terima bersama dengan bekerjanya pencernaan saya melahap santapan makan siang ala warung tegal. Ternyata, kualitas makan siang tidak bisa diukur dari dimana kita makan siang. Yang jauh lebih berharga adalah apa yang menjadi bahan obrolan dan dengan siapa makan siang itu sendiri dilakukan. Hal ini sekaligus menginspirasi saya untuk mempersiapkan sejumlah agenda dan target - target personal yang harus saya capai dalam meningkatkan kompetensi, agar lebih menjadi insan yang berilmu di tahun 2008.

12 December, 2007

How to Deal with People in Manokwari

"How to deal with people", [mohon maaf saya lupa pengarangnya] adalah buku kecil dan tipis yang pernah saya baca dan masih ada beberapa tips and triks yang saya ingat dan senantiasa saya terapkan dalam kehidupan sehari - hari.
Perjalanan ke pulau Irian kali ini membawa tugas yang sangat mulia: mendapatkan komitmen dan dukungan dari Pemerintah Provinsi Papua Barat, yang beribukota di Manokwari, untuk menyelenggarakan "Seminar Bisnis Etik : Mengelola Etika Dilemma dalam Praktek Suap". Sebuah seminar yang agak menyeramkan memang, kalo dilihat dari topiknya. Target utama saya adalah berjumpa dengan Wakil Gubernur dan Sekretaris Daerah, karena beliaulah orang yang paling pas untuk menggerakkan mesin birokrasi di Pemerintah Provinsi Papua Barat.
Sebagai aparatur pemerintah tingkat provinsi, penerimaan mereka, sungguh luar biasa. Ramah dan jauh dari basa basi. Sehingga, saya percaya hal yang baik ini akan mengawali kebaikan - kebaikan yang lain dan menjadi contoh yang baik pula bagi aparatur pemerintah di provinsi dan level yang lain. Bagaimana menerima siapa saja untuk melakukan apa saja di wilayah pemerintahannya: tidak membuat sulit dan berempati kepada kebutuhan masyarakat maupun tamu-tamunya. Termasuk saya tentu saja.
Pembicaraan diantara kami mengalir lancar dan menghargai kepentingan serta keberatan masing-masing, komitmen untuk menyelenggarakan kegiatan seminar tersebut mengerucut kepada sebuah tanggal dan tempat, 8 Februari 2008 di Swiss Bell Hotel, Manokwari. Selanjutnya, secara teknis saya dianjurkan untuk menghubungi Inspektorat Pemerintah Provinsi dan berjumpa dengan sekretarisnya. Hal ihwal yang terkait dengan detail penyelenggaraan kegiatan, penyusunan budget, kami bicarakan dengan santai, terbuka dan mendengarkan harapan - harapan dari para pihak. Sehingga pembicaraan tersebut menjelma menjadi Nota Kesepahaman (MoU) antara IBL dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat.
Alhamdulillah, ternyata, membaca memang tetap menjadi sebentuk investasi dan aktivitas yang senantiasa memberi manfaat, entah kapan dia akan menjelma dan kita rasakan manfaat darinya. Menurut saya, karena menerapkan sejumlah tip and triks yang saya baca pada buku itulah, pembicaraan dan misi saya ke Manokwari, akhirnya menuai sukses. Saat ini, sebagaimana Krisdayanti, bertutur, tinggal "menghitung hari", agar pelaksanaan kegiatan seminar yang dikerjakan bersama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Indonesia Business Links (IBL) ini akan berjalan sesuai dengan tujuan awalnya. Memberi pengetahuan yang benar akan TUPOKSI (tugas pokok dan fungsi) KPK terutama dalam aspek pencegahan dan menularkan sejumlah jurus dan serta pengetahuan, bagaimana menjalankan bisnis dengan memperhatikan dan mengedepankan etika.

20 November, 2007

Kembali Ke Pontianak

Ternyata, pemeo yang mengatakan "kalau seseorang sudah pernah minum air sungai kapuas, pasti akan kembali lagi", menemukan bukti dan fakta hidupnya. Hal ini saya alami sendiri. Kunjungan pertama saya ke kota ini, ketika menggelar kegiatan yang dilaksanakan oleh ALNI Indonesia, medio tahun 2002 -2003 dan akhirnya bulan November tahun 2007 (empat) tahun kemudian, saya kembali ke Pontianak.


Kunjungan saya kali ini sungguh luar biasa karena membawa keluarga besar dengan agenda keluarga yang juga sangat penting sekaligu agung. Kami hadir untuk menikahkan adik saya Denny Ahmad Furqon dengan Rieke Ramadiyanti pada tanggal 10 November 2007 lalu. Sebuah pernikahan yang diawali karena bertemunya dua anak manusia yang sejatinya untuk menuntut ilmu di sebuah universitas swasta terkenal di Bandung. Alih alih mendapat ilmu dan gelar sarjana, ternyata pasangan hidup yang justru lebih melegenda. Akad nikah dilaksanakan di kediaman nenek mempelai wanita dan resepsi di gelar di Gedung Wanita yang terletak di Jalan Sudirman. Praktis, mulai dari tanggal 9 - 12 saya bersama keluarga besar yang jumlahnya kurang lebih 35 orang menjadi tamu sekaligus turis di Pontianak.


Kala akad nikah, kedua mempelai mengenakan gaun dominan putih, sederhana nan asri, yang mengedepankan sentuhan Sunda, karena ayah dari mempelai wanita berasal dari Majalengka dan untuk menghormati keluarga mempelai pria yang berasal dari Jawa Barat. Kedimanan tempat dimana akad dilaksanakan dibalut warna merah dan kuning keemasan untuk mewakili kebudayaan Sumatera Barat, sebuah kompromi dan perpaduan yang menunjukkan bagaimana indahnya Indonesia. Sementara, pada sore hari menjelang malam resepsi, kedua mempelai dan keluarga konsisten mengusung adat Sumatera Barat. Warna merah dan kuning keemasan menghiasi pelaminan. Acara resepsi diawali dengan pertunjukkan sebuah tari persembahan yang dibawakan sangat kompak oleh delapan orang penari wanita mengantarkan mempelai dan keluarga memasuki gedung resepsi yang diikuti oleh sejumlah keluarga dekat dan beberapa undangan yang telah hadir. Selanjutnya, mempelai dan orangtua menduduki kursi pelaminan sambil menunggu hadirin undangan memberikan ucapan selamat kepada keluarga dan mempelai. Yang unik, setidaknya berbeda dengan proses menghadiri resepsi pernikahan di gedung -gedung di Jakarta, resepsi di Pontianak dilakukan dalam rentang waktu yang panjang, mulai dari pukul 16.00 - 20.00WIB. Undangan datang, memilih kursi yang di tata secara round table, mengambil hidangan yang disediakan sambil menikmati hiburan dari penyanyi yang diiringi organ tunggal. Setelah itu, baru memberikan ucapan selamat dan pulang. Jadi relative lebih nyaman bagi undangan karena bisa menikmati hidangan sambil duduk namun sebaliknya menjadi lebih lama bagi pengantin.

Bukan Tentang Pernikahan

Banyak sekali kemajuan dan perkembangan yang terjadi di Pontianak setelah empat tahun berlalu. Sebuah indikasi paling sederhana untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, dengan berdirinya sejumlah bangunan perkantoran dan pusat - pusat perbelanjaan yang merupakan simbol dari kota yang maju, hadir di kota ini. Yang paling menarik, selama kami berada di kota Pontianak ini, sedang berlangsung pekan kampanye Pemilihan Gubernur (Pilgub Kalbar). Sebuah "tontonan drama politik" yang ternyata polanya sama saja dengan Jakarta dan kota lainnya. Mobilisasi massa, bagi-bagi atribut dan tentu saja uang bensinnya sekalian. Kampanye menjadi luar biasa, ketika pada hari pernikahan dilangsungkan sejumlah artis mahal ibukota, diboyong oleh salah satu kandidat, tak kurang dari Bang Haji Rhoma Irama, Dewi Persik, Anisa Bahar, band Rock Jamrud hingga Tukul Arwana turun pada satu panggung. Tentu saja, kehadiran artis -artis papan atas tersebut menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat kota Pontianak dan simpatisan dari kota-kota kabupaten sepanjang Kalimantan Barat.
Cuaca panas kota lidah buaya ini, ternyata tidak sempat lama kami rasakan, karena hujan dengan setia mengguyur kala senja hampir setiap hari selama kami disana. Tentu saja ini adalah anugrah. Konon, suhu Pontianak yang sebenarnya mencapai 32-35 derajat celcius.

02 November, 2007

Ini Tentang Presiden

Menjelang Pilpres 2009
Sejumlah kandidat presiden, telah muncul ke permukaan. Ini pertanda positif, karena jabatan itu, masih menarik dan ditakar dapat diemban bagi sebagian orang yang telah menyatakan diri untuk maju dalam bursa. Keberanian untuk menakar bahwa dia mampu menjadi presiden, menurut saya adalah sebuah awalan yang bagus, dengan begitu kita tidak memiliki masalah tentang ketersediaan calon presiden. Dalam kacamata saya, ini berarti proses kaderisasi politik berjalan baik. Disamping politisi senior yang boleh kita bilang sebagai "stock lama", ternyata ada beberapa diantaranya yang "stock baru". Tentu saja realitas ini semakin memberikan pilihan tentang siapa yang menurut kalkulasi pemilih layak dan mampu mengantarkan kehidupan pribadinya mencapai kondisi yang baik dan dalam bahasa yang paling mendasar tercapainya tingkat kesejahteraan yang semakin tinggi.
Oh ya, tentang putaran pemilihan. Saya cenderung setuju kepada satu kali putaran. Alasannya tentu saja sederhana, efisiensi. Efisiensi ini, harus dijadikan mainstream , karena proses dan penyelenggaraan pemilu presiden yang efisien akan jauh lebih bermanfaat bagi bangsa ini. Pengalaman untuk berdemokrasi, tidak perlu lagi diujicobakan, karena kita bisa melewatinya dengan sukses dan tidak ada kendala sebagai mana yang terlalu dikhawatirkan oleh banyak kalangan. Artinya, kita sebagai bangsa memiliki kurva belajar yang hebat, sehingga tidak perlu lagi untuk memboroskan waktu, uang dan tenaga untuk melakukan pemilihan presiden dua putaran.
Presiden Ideal
Mau tidak mau, adalah orang yang memiliki tingkat acceptabilitas yang tinggi, terutama didalam negeri. Sehingga keberadaannya akan diterima oleh sebanyak mungkin elemen dan golongan masyarakat. Syarat ini sangat diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik yang memadai bagi berlangsungnya roda pemerintahan dan perekonomian. Jika kondisi ini sulit dicapai, tentu saja banyak sekali masalah yang akan dihadapi oleh kita sebagai bangsa.
Adalah orang yang mampu membangkitkan rasa kebanggaan sebagai bangsa yang besar. Kemudian, memiliki pandangan dan keberanian yang mendasar tentang bagaimana seharusnya kita sebagai bangsa mampu mencapai tingkat kesejahteraan optimal bersama dengan mengoptimalkan sejumlah (sisa-sisa) sumber daya alam yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa dan negara ini.
Adalah orang yang serius menempatkan kualitas dan pentingnya pendidikan yang terbaik dengan biaya terjangkau bagi seluruh warga negaranya. Mengedepankan alokasi anggaran pendidikan dan mampu meyakinkan kabinetnya untuk bersama- sama secara sungguh -sungguh 20% anggaran pendapatan dan belanja negara diperuntukkan untuk itu. Karena dengan kualitas SDM yang baik, keterbatasan SDA yang pasti akan habis, mampu diperlambat. Sejumlah terobosan dan rekayasa teknologi diharapkan mampu menemukan cara bagaimana agar hemat BBM atau pencarian sejumlah energi alternative lainnya.
Kata Akhir
Yang jelas dan harus dicermati bersama adalah pasangan incumbent, harus berdisiplin untuk tidak terlalu ambisius untuk tergoda melakukan persiapan - persiapan terlalu dini untuk periode berikutnya. Godaan ini memang tidak ringan. Tetapi harus dilakukan. Karena jika tidak, hendak kemana tanggungjawab anda akan disampaikan, jika anda lalai untuk mengemban amanah rakyat hingga akhir masa pemerintahan.

22 August, 2007

Bangkitlah Menjadi Bangsa Mandiri

Catatan A. Umar Said


Bangkitlah menjadi bangsa mandiri !

Menjelang perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus yang lalu ada satu hal penting yang patut mendapat perhatian besar dari kita semua, yaitu berbagai pernyataan atau ucapan di Jakarta dari Joseph E. Stiglitz, seorang pakar ekonomi yang terkenal di dunia, dan penerima hadiah Nobel untuk keahliannya di bidang ekonomi. Pakar ekonomi yang juga pernah menjadi penasehat penting (setingkat menteri) dari Presiden Clinton ini, telah mengeluarkan pendapatnya yang kritis sekali mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan politik pemerintahan RI dalam masalah penanaman modal asing di Indonesia.

Tajamnya kritik Joseph E. Stiglitz ini bahkan bisa diangggap sebagai “tamparan” bagi banyak “economist” (ahli ekonomi) dan para pejabat tinggi Indonesia – terutama yang termasuk dalam golongan “Berkeley Maffia” – yang selama puluhan tahun (sejak 1967 !!!) sudah menggadaikan kekayaan bumi Indonesia kepada modal asing, terutama AS.

Kritik tajam Josepf Stiglitz ( yang juga professor di bidang ekonomi di Columbia University Business School dan pernah menjadi economist terkemuka di Bank Dunia) ini, patut sekali menjadi perhatian dari kalangan intelektual dan tokoh-tokoh masyarakat serta aktifis berbagai organisasi di Indonesia, yang selama ini juga sudah menentang politik pemerintah mengenai modal asing (terutama AS).

Dengan menyimak kritik Stiglitz mengenai politik pemerintah Indonesia (sejak 40 tahun, mulai dari Orde Baru yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan berikutnya), maka kelihatan bahwa politik mengenai modal asing di Indonesia memang perlu sekali dirubah atau diperbaiki, demi kepentingan rakyat.

Kontrak dengan modal asing perlu di-negosiasi ulang.

Sebagian dari kritik economist terkemuka Stiglitz ini dapat dilihat dalam interrviewnya dengan Tempo, yang disiarkan oleh Tempo Interaktif (16 Agustus 2007), yang antara lain adalah sebagai berikut :

“Pemerintah diminta menegosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat. Joseph E. Stiglitz, pemenang hadiah Nobel, mengatakan, jika pemerintah Indonesia berani melakukan ini maka akan memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para investor asing. "Mereka (para perusahaan tambang asing) tahu kok bahwa mereka sedang merampok kekayaan alam negara-negara berkembang," kata Stiglitz dalam wawancara eksklusif dengan Tempo. ”Negosiasi ulang kontrak karya ini juga sangat mungkin dilakukan dengan Freeport McMoran, yang memiliki anak perusahaan PT Freeport Indonesia. Freeport merupakan salah perusahaan tambang terbesar di dunia yang melakukan kegiatan eksplotasi di Papua. ”Stiglitz mencontohkan ketegasan sikap Rusia terhadap Shell. Rusia mencabut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikantongi Shell. Ini karena perusahaan minyak itu didapati melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup dengan melakukan pencemaran lingkungan. "Kalau melanggar undang-undang, ya izinnya harus dicabut dong," kata dia.. ”Seperti ramai diberitakan beberapa waktu lalu, Freeport Indonesia melakukan pencemaran lingkungan di selama mengebor emas dan tembaga di Papua. Namun, kasus ini tidak pernah sampai ke pengadilan. Pemerintah hanya meminta perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu memperbaiki fasilitas pengolahan limbahnya. ”Stiglitz juga menyoroti keberhasilan Bolivia menegosiasi ulang kontrak-kontrak karya dengan para investor asing yang menguasai penambangan minyak dan gas. ”Negara miskin Amerika Latin itu sekarang memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar. "Jika sebelumnya hanya memperoleh keuntungan 18 persen, sekarang sebaliknya mereka yang mendapat 82 persen," ujarnya. Dan para investor asing itu, kata dia, tetap disana. ”Untuk menetralisir tekanan yang muncul dari negara besar seperti Amerika Serikat yang mendukung perusahaan asing secara diam-diam, sepeti ExxonMobil, Stiglitz punya saran. Menurutnya, media massa harus mempublikasikannya. "Masyarakat pasti akan sangat marah ketika mengetahuinya, sehingga kontrak-kontrak itu akan dinegosiasi ulang." ”Ia menyesalkan sikap seorang duta besar Amerika Serikat yang sempat meminta Indonesia menghormati kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi korupsi. Pejabat itu akhirnya diberi posisi manajemen oleh sebuah perusahaan tambang besar asing. "Ketika dia menguliahi Indonesia tentang korupsi, justru dia sedang mempraktekkannya," kata Stiglitz yang enggan menyebut nama pejabat itu. (kutipan dari Tempo Interaktif selesai)


Stiglitz: Indonesia korban globalisasi

Apa yang diutarakan oleh Joseph Stiglitz di atas ini dibkin lebih jelas lagi dengan keterangannya yang lain yang berkaitan dengan pengalaman Argentina, yang juga menolak kebijakan-kebijakan Washington, yang disiarkan oleh harian Bisnis Indonesia tanggal 15 Agustus 2007. Dalam berita di koran tersebut, yang judulnya “Stiglitz: Indonesia korban globalisasi”, berbunyi sebagai berikut :

“ Joseph Stiglitz, peraih hadiah Nobel ekonomi 2001, berpendapat Indonesia adalah korban globalisasi yang masih menghadapi tantangan berat berkaitan dengan kemiskinan, pengangguran dan memacu pertumbuhan ekonomi, sekalipun perekonomian sudah mulai pulih dari krisis 1997/1998.

Selain itu, menurut mantan ekonom berpengaruh di Bank Dunia tersebut, Indonesia juga menghadapi tantangan kerusakan lingkungan akibat kesepakatan investasi yang lebih melindungi kepentingan investor.

"Pertumbuhan ekonomi sudah pulih dari krisis [1997/98], tetapi tidak cukup cepat dalam menciptakan cukup pekerjaan dan mengurangi kemiskinan," tutur pencetus teori informasi asimetris yang mengantarkannya sebagai pemenang hadiah Nobel pada 2001 itu. Stiglitz berbicara dalam diskusi publik sekaligus peluncuran buku Making Globalization Work, yang diselenggarakan Tempo,

Saat ini, level pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh di bawah rata-rata sebelum krisis, yang pernah berada di atas 7% per tahun. Jika Indonesia gagal menerapkan kebijakan sendiri dalam mengelola dampak globalisasi, Stiglitz khawatir persoalan kemiskinan, pengangguran dan dampak lingkungan akan kian memburuk.

Mengambil contoh Argentina, yang juga terpukul krisis ekonomi dan diperburuk kebijakan IMF, pendekatan kebijakan yang berbeda membuat hasil yang berbeda. Argentina berhasil mengatrol pertumbuhan ekonomi rata-rata 8% per tahun setelah krisis.

"Penjelasan atas perbedaan itu adalah, Argentina menolak kebijakan-kebijakan berdasarkan Washington Consensus," Stiglitz menegaskan.

Konsensus Washington adalah paket kebijakan generik yang lazimnya disodorkan IMF dan Bank Dunia dengan mengencangkan ikat pinggang, seperti dianjurkan IMF terhadap Indonesia pascakrisis 1997/1998.Bahkan dengan tidak menganut Konsensus Washington, Argentina mampu membukukan surplus anggaran dan menurunkan angka pengangguran.

Stiglitz melihat negara berkembang yang patuh terhadap Konsensus Washington dengan menerapkan resep IMF dan Bank Dunia-melalui liberalisasi pasar modal- telah terjerumus ke dalam volatilitas pasar, selain terjebak pada kebijakan privatisasi yang korup. (kutipan dari Bisnis Indonesia selesai)


Pengalaman Bolivia dan Argentina

Dengan membaca dua berita yang disiarkan Tempo dan Bisnis Indonesia tersebut di atas, maka kiita bisa mendapat kesan bahwa apa yang diucapkan oleh Joseph Stiglitz ini merupakan kritik yang tajam sekali; bahkan bisa diatakan sebagai “tamparan” yang tidak tanggung-tanggung, bagi berbagai pejabat dan tokoh terkemuka masyarakat, yang sudah menjadikan RI sebagai sapi perahan bagi kepentingan asing, sedangkan ratusan juta penduduk Indonesia telah menderita karena kemiskinan dan kesengsaraan yang berkepanjangan dan 13 juta anak-anak kekurangan makan.

Dengan mengambil contoh pengalaman-pengalaman Bolivia, dan Argentina,yang dapat memperbaiki ekonomi secara radikal dan meningkatkan kehidupan rakyat karena mentrapkan secara berani sikap “tidak tunduk” kepada dikte Washington, maka Stiglitz menganjurkan kepada pejabat-pejabat Indonesia supaya berani mengambil tindakan yang sama atau searah. Ia juga menganjurkan supaya masalah praktek-praktek buruk berbagai perusahaan besar asing ini banyak diangkat dalam media massa di Indonesia, untuk menggugah kemarahan orang banyak terhadap praktek-praktek buruk modal besar asing ini.

Anjuran Stiglitz semacam ini kiranya tepat sekali. Sebab, sejak 1967 (jadi sudah 40 tahun !!!, dan itu jangka waktu yang lama sekali) Orde Baru sudah membuka pintu lebar-lebar kepada banyak perusahaan-perusahaan besar asing untuk mengeruk kekayaan bumi Indonesia secara besar-besaran, seperti Freeport, Exxon, Newmont, Shell dll. Sejak itulah para pejabat rejim militer Orde Baru telah menjadikan Indonesia sebagai klien (langganan) kepentingan AS.

Sekarang makin terbukti bahwa kehadiran perusahaan-perusahaan besar asing dalam bidang-bidang penting perekonomian (di bidang pertambangan, minyak dan gas, agro-alimentaire) di Indonesia menjadikan negara kita sangat tergantung kepada kepentingan luarnegeri, sehingga bangsa dan negara kita kehilangan kemandiriannya. Di samping itu, selama ini sudah terbukti juga bahwa kehadiran perusahaan-perusahaan asing itu telah menjadi sumber korupsi para pejabat tinggi pemerintahan melalui macam-macam penyalahgunaan (ingat, umpamanya, “setoran” Freeport yang besar jumlahnya untuk kerjasama dengan militer di Papua)


Bertolak belakang dengan sikap J. Kalla

Pernyataan Stiglitz mengenai pentingnya Indonesia meninjau kembali perjanjian-perjanjiannya (kontrak karya) dengan maskapai-maskapai besar asing internasional mencerminkan visi dan tuntutan berbagai organisasi di Indonesia, seperti Wahana Lingkungan Hidup, Jaringan Advokasi Tambang, Koalisi Anti Utang, Papernas, Kosortium Pembaruan Agraria, Partai Rakyat Pekerja (dan banyak lainnya). Juga sesuai dengan aspirasi berbagai intelektual dan ormas, yang sudah makin banyak mengangkat suara yang juga makin lama makin keras, sebagai protes mengenai kasus Freeport, Newmont, blok Cepu dll.

Pernyataan Stiglitz ini mencerminkan -- dengan amat jelas! -- sikap yang bertolak-belakang sama sekali dengan sikap yang dipasang Wapres Jusuf Kallla, yang “dengan genderang yang ramai” telah berkunjung ke AS untuk menemui penggede-penggede perusahaan besar AS dan mengundang mereka untuk berinvestasi di Indonesia.

Kritik Stiglitz tentang praktek-praktek perusahaan-perusahaan besar asing (terutama AS) di Indonesia dan anjurannya untuk melawannya merupakan dukungan yang besar sekali kepada semua golongan yang selama ini sudah melakukan berbagai macam aksi untuk menentang perampokan kekayaan negara dan bangsa kita ini.

Berhubung dengan makin bangkitnya kesadaran di kalangan intelektual, mahasiswa, dan pemimpin-pemimpin organisasi di Indonesia tentang kerugian-kerugian bagi negara dan rakyat yang disebabkan oleh modal besar asing, maka bisa diharapkan bahwa kritik tajam dan anjuran Stiglitz seperti tersebut di atas akan lebih menggalakkan perlawanan bersama terhadap akibat-akibat negatif dari globalisasi dan neo-liberalisme.

Sekarang situasi negeri sudah makin menunjukkan bahwa sudah cukuplah kita menjadi bangsa kuli. Kita harus bersama-sama bangkit menjadikan bangsa kita mandiri!

Paris, 22 Agustus 2007
Tulisan ini juga disajikan dalam website http://perso.club-internet.fr/kontak)

15 August, 2007

Mempercayai Indonesia Kita

Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 62, akan jatuh pada tanggal 17 Agustus 2007, saya ingin menikmati hak saya sebagai warga negara untuk berfikir dan menuliskan harapan - harapan saya sebagai pemegang passport yang diterbitkan Negara ini.
Tiga hari yang lalu, seorang tahanan politik era Soeharto yang tinggal di Paris, membuat sebuah tulisan yang dipublish melalui salah satu mailing list, bagaimana dia melihat kualitas kepemimpinan Soeharto dibandingkan dengan Soekarno. Tulisan yang mencerahkan tentang bagaimana menyikapi 17 Agustus, menurut versi beliau, dalam mainstream kepemimpinan. Pagi tadi, sahabat saya, Akhyari yang sedang "menjadi Indonesia" dengan menikmati kunjungannya ke Pulau Sabang, mengirimkan iklan TV yang dipersembahkan perusahaan rokok kretek besar di Kediri menyambut 62 tahun Indonesia. Empat malam yang lalu, Gede, tetangga saya di Sawo Griya Kencana yang menjadi Koordinator panita peringatan HUT RI dilingkungan saya tinggal, mampir kerumah memastikan bahwa saya bisa meminjam LCD kantor untuk nonton bareng film dokumenter tentang bagaimana masyarakat Ambon membangun kembali rasa persaudaraannya pasca kerusuhan, yang akan ditayangkan dalam acara Malam Renungan tanggal 16 Agustus yang akan datang bersama dengan tetangga.
Baliho, spanduk, bendera dan lomba membuat gapura yang disponsori salah satu TV swasta Nasional, adalah pemandangan lain yang kita rasakan minggu - minggu belakangan ini. Semarak dan gegap gempita, menyambut datangnya 17 Agustus 2007. Ada optimisme dan kerelaan untuk berkarya. Sebuah modal dasar untuk menjadi bangsa yang besar. Kita harus bersyukur dan terus memelihara sikap mental yang baik ini, sehingga kita memiliki daya tahan dalam menghadapi sejumlah kesulitan yang kerap terjadi dalam hidup dan kehidupan kita sebagai warga negara.

Bagaimana agar tidak menderita?
Permasalahannya kemudian, sampai kapan kesulitan-kesulitan ini masih harus kita rasakan? Mengapa kita sebagai warga negara yang dikaruniai sumberdaya alam melimpah dan jumlah penduduk yang besar ini, masih saja terus menderita? Sulit mendapatkan beras, kualitas pendidikan yang masih terpuruk, antrian panjang hanya untuk mendapatkan minyak tanah, masih terlihatnya para pengamen jalanan dan pengemis anak, merupakan fakta dan keseharian yang masih lekat dalam mata dan pendengaran kita hingga hari ini. Sementara kita sebagai bangsa sudah merdeka selama 62 tahun? Menurut hemat penulis, ada tiga hal yang harus kita selesaikan bersama agar bangsa ini bisa menjadi besar dan mampu mensejahterakan warganya, artinya tidak lagi menderita, sebagaimana yang telah mampu diberikan oleh Singapura, Brunei Darussalam atau Switzerland, misalnya. Tiga hal dimaksud penulis adalah:

  1. Pembangunan karakter sebagai bangsa yang besar
  2. Keberpihakan kepada kepentingan rakyat dalam arti yang sebenarnya
  3. Penegakan Hukum yang konsisten tanpa pandang bulu dan terus menerus

Pembangunan karakter
Pembangunan karakter bangsa, yang sempat didengungkan oleh Soekarno dengan istilah nation character building jelas merupakan tanggung jawab pemimpin negara, entah itu presiden, Perdana Menteri atau bahkan Raja dan para Emir di belahan Timur Tengah. Kalaupun sulit untuk memberikan kepercayaan ini kepada pemimpin bangsa, ya sudahlah mari kita lakukan untuk masing-masing diri kita. Toh bukankah kita sepakat, bahwa kita adalah pemimpin, setidaknya, untuk diri kita? Sehingga, pada diri kita masing -masing haruslah tersemai karakter orang - orang yang maju. Displin, jujur, kerja keras dan menghargai keberadaan orang lain dengan keanekaragamannya adalah karakter kunci yang harus kita miliki, sejak hari ini dan terus berkembang secara konsisten dimasa yang akan datang. Sehingga karakter kita sebagai warga negara Indonesia, sama dengan karakter warga negara yang sudah maju lainnya. Tidak bisa tidak, jika kita tidak menganggap penting hal ini, kita akan semakin jauh tertinggal dalam percaturan global. Mari kita bayangkan bersama, apa jadinya bangsa ini jika kita tidak menyegerakan karakter ini? Sementara sumber daya alam pasti habisnya, sementara karakter sebagai bangsa yang maju belum atau bahkan tidak pernah terbentuk? Habislah kita dimakan jaman, semoga tidak hanya menjadi catatan sejarah, bahwa pernah ada, suatu masa sebuah bangsa dan Negara yang bernama Indonesia. Seperti pernah tercatatnya menurut sejarah ada kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Pasundan

Keberpihakan kepada kepentingan rakyat
Bangladesh, terharumkan namanya karena memiliki sosok Muhammad Yunus yang secara konsisten berpihak kepada saudaranya yang lemah dan miskin. Uni Eropa dan Amerika, mendapat keuntungan dari perdagangan global karena memberikan proteksi kepada peternak dengan cara memberi subsidi pakan kepada hewan ternaknya. Oprah Winsfrey semakin kaya raya karena senantiasa memberi sesuatu dan membantu memecahkan masalah yang dihadapi mereka yang lemah dan teraniaya. Ibu Dian Al-Mahri, pemilik kawasan dan pendiri Masjid Kubah Emas di kawasan Meruyung, Limo Depok, adalah figur yang sejak dahulu dikenal pemurah kepada orang lain dan terutama jamaah kelompok pengajiannya. Dalam konteks negara, tentu saja keperpihakan itu dapat dicerminkan dalam kebijakan - kebijakan yang dikeluarkannya. Dan yang lebih penting diimplementasikan dalam tataran kerja. Saat ini, rasanya, kebijakan yang berpihak secara sungguh - sungguh untuk kepentingan rakyat yang lemah dan terpinggirkan masih dapat dihitung dengan jari. Itupun masih dapat dicium sebagai indikasi Selebihnya, lebih banyak kebijakan yang dibuat lebih memberikan keuntungan kepada pemilik modan dan warga kaya kebanyakan. Sejumlah contoh diatas, semoga menginspirasi kita semua, apa yang dapat kita berikan kepada orang lain yang lemah yang ada disekitar kita. Anda lah yang paling tahu, apa yang mampu Anda diberikan untuk saudara - saudara yang membutuhkan disekitar kita.

Penegakan Hukum
Saya sedang menikmati dalam diri saya adanya kepercayaan, bahwa aparatur penegak hukum yang dimiliki Republik ini, mulai menunjukkan kualitasnya sebagai penegak hukum yang profesional dan amanah. Tentu belum semuanya berjalan dengan baik dan benar, tetapi perlahan namun pasti, saya mulai disuguhi sejumlah prestasi dibidang ini. Semoga prestasi ini semakin jelas dimasa yang akan datang. Apa yang bisa kita lakukan? Menurut Anda, apa? Bagaimana kalo kita mulai dengan membuang sampah ditempatnya? Atau bekerja dan mengambil jam instirahat sesuai peraturan perusahaan yang kita sepakati untuk kita penuhi dalam kontrak kerja? Yang agak berat mungkin, memenuhi kewajiban kita sebagai pemeluk agama tertentu? Jika, "hukum - hukum dalam skala kecil" tersebut dapat kita tegakkan dalam diri kita masing-masing, saya koq sangat percaya, hukum - hukum besar yang mengatur kehidupan kita akan juga tertata dan terlaksana dengan baik. Mengapa saya yakin? Kalau kita sebagai pribadi terbiasa untuk menaati "hukum- hukum kecil", kita akan punya energi dan keberanian untuk melakukan protes terhadap penyimpangan - penyimpangan yang terjadi pada "hukum - hukum besar". Dalam bahasa sosiologi ini disebut sebagai pressure group, kelompok penekan. Sekumpulan orang yang peduli terhadap hal - hal yang terjadi disekitarnya.


Menurut hemat penulis, jika ketiga hal diatas dapat kita laksanakan dengan sepenuh hati dan sungguh - sungguh dan dalam diri kita masing- masing, kalo kita masih bisa mempercayai Indonesia, sebagai tempat hidup dan berkarya. Kenapa? karena karya 3 stanza yang ditulis W.R Supratman menjadi bukti baru bagaimana sesungguhnya karakter dan sikap dasar manusia Indonesia terhadap bangsa dan negaranya. Cobalah sempatkan waktu untuk menyelaminya dengan sepenuh hati... Indah sekali.

Sekali Merdeka Seharusnya Merdeka Betulan !!

Catatan: Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan yang pernah dimuat dalam blog.friendster penulis

02 July, 2007

Puisi Tasya


Kasih sayang untuk Ayah yang ku sayang.

Untuk Ayah tersayang aku berterima kasih pada mu
Aku tlah disayang dan diberi yang baik misalnya makanan, minuman, cara-cara yang baik dan terutama sekolah.
Aku telah disekolahkan disana yaitu sekolah negeri
Aku sangat-sangat berterimakasih
Andai ku bisa membalas kewajiban ini
tetapi aku tak tahu nasibku nanti
Selamat tinggal Ayah.

__________________________________________________

Sebuah bentuk rasa syukur dan kebahagiaan tiada tara, ketika menjumpai tulisan -tulisan berserakan seperti ini ketika pulang dari kantor atau bahkan perjalanan dari luar kota. Entah itu di pintu kamar tidur, rak buku atau bahkan dia selipkan dibantal...

Kualitas dan kuantitas tumbuh kembang yang yang dijalani Tasya, merupakan anugrah Sang Khalik yang mampu menyeimbangkan kehadiran "keluh kesah" yang terkadang datang dalam menjalani hari dan bergulirnya waktu. Sebuah energi alternative yang tiada mampu digantikan dengan olahraga, alunan musik Enya atau refleksi sekalipun.

Terimakasih sayang, I Love You so much.

Tetaplah ada dalam pelukan Ayah dan Nikmati keceriaan yang akan kita jalani bersama, seiring dengan kemampuan Tasya untuk hidup mandiri dan mengukir catatan sejarah yang ananda pilih dalam hidup yang sangat indah ini.

Be my angel honey..



14 June, 2007

Foke VS Adang

Seperti yang sudah saya prediksi, perjuangan yang dilakukan Sarwono - Jeffrie, memang tidak membuahkan hasil saat ini. Peluang munculnya kandidat independen dalam Pilkada maupun Pilpres, ternyata masih memerlukan upaya yang panjang dan seharusnya, dijadikan agenda yang serius bagi siapa saja yang menginginkan model demokrasi yang mendekati tingkat sempurna. Landasan hukum normatif yang sekarang ada belum memberi peluang. Harus melampaui rangkaian kerja politik berupa perubahan Undang - Undang dan ini tentu memerlukan waktu dan biaya yang besar.
Kalkulasi realitas politiknya, tentu saja upaya ini akan mendapat perlawanan dari penggiat politik, saudara kita sesama anak bangsa yang telah menceburkan dirinya dalam Partai Politik. Kandidat independen, pasti tidak akan dimuluskan oleh mereka, karena jika itu terjadi, tentu saja sebagian dari fungsi partai politik, sebagi mesin kaderisasi, menjadi hilang.
Konsekuensinya, komunitas yang rasional pada pemilih Jakarta, terpaksa harus gigit jari. Calon independen, siapa pun itu, yang diharapkan menjadi alternative baru untuk membenahi Jakarta pupus sudah dalam harapan. Mereka akan dipaksa atau terpaksa memilih kandidat yang telah mendaftar dan diverifikasi oleh KPUD.
Foke VS Adang
Kembali kepada dua kandidat yang akan bertarung memperebutkan DKI-1, dalam kacamata dan kemampuan berfikir saya, dengan kondisi dimana regulasi membuat gagal munculnya kandidat independen, peluang Foke untuk menang menjadi lebih besar. Mengapa? kubu Adang, gagal untuk berkalkulasi bahwa suara yang berada pada masa mengambang akan masuk kedalam kubu calon independen. Harapan PKS, jumlah suara yang masuk akan terbagi menjadi tiga bagian besar: Foke, Adang dan Calon Independen.
Dengan kondisi sekarang, jumlah suara yang telah dihedging, katakanlah sebanyak 20% sebagai jumlah kader laten PKS akan berhadapan langsung dengan jumlah suara yang diklaim sebagai massa koalisi Jakarta. Sehingga tim yang dulunya bernama Partai Keadilan ini, harus memperjuangkan agar massa mengambang, yang berharap adanya calon independen tadi dan mengalami kebingungan, antara tidak memilih atau memberikan suara ke Foke atau Adang menjadi memilih Adang.
Bagi kubu Adang, pekerjaan ini gampang - gampang susah. Bagi mereka yang PKS phobia, dan masih ingin hidup di Jakarta sebagaimana dirinya saat ini: hura-hura, nyerempet-nyerempet dalam gaya hidup zona merah, seperti judi dan prostitusi, tentu agak was was, akan seperti apa kehidupan saya jika Adang yang jadi gubernur? Akankah ada pelarangan dan penutupan rumah judi misalnya?. Belum lagi para bandar besar dan kecil yang mengambil untung dari kehidupan malam tersebut. Disisi yang lain, kader laten PKS, tentu saja punya cita -cita mulia, mengapa mereka bergabung dan memilih PKS? Agar tata kelola hidup masyarakat menggunakan kaidah yang diyakini mereka benar, yaitu Islam sebagai rahmatan lil'alamiin. Artinya, sangat wajar jika mereka berhadap - melalui partainya - segala kemaksiatan dan kemungkaran dapat diberantas sesegera mungkin.
Berada pada kondisi ini, antara kebutuhan untuk meraih suara dari bukan massa atau kader laten dengan cara membuat mereka tidak khawatir akan gaya hidupnya akan berubah dan meneguhkan visi perjuangan partai yang juga harus secara istiqomah ditunjukkan kepada kadet laten tentu perlu ijtihad politik dari Dewan Syuro PKS. Mana yang akan dipilih? Rapat Dewan Syuro lah yang akan menentukan. Pilihan prgamatis jangka pendek untuk memenangkan DKI-1 atau visi partai jangka panjang? Ini adalah godaan.
Kondisi tersebut, tidak jadi beban bagi kubu koalisi Jakarta yang memang plural dan tidak memiliki akar ideologis dan pertimbangan spiritual . Sehingga, perjuangan memperbesar suara relatif lebih mudah dilakukan. Apa yang menjadi kebutuhan dan gaya hidup pemilih sudah pasti akan dijanjikan untuk dipenuhi dan diamini. Tanpa harus mempertimbangkan banyak hal, yang penting ada komitmen untuk mendukung deal politik sesaat pasti akan terjadi dengan mudah. Karena pada dasarnya, problem yang dihadapi dan solusi yang diinginkan oleh pemilih Jakarta, sama saja. Peluang kerja, perbaikan kualitas layanan kesehatan dan akses mendapatkan pendidikan serta keamanan adalah masalah yang sama dihadapi dan harus dipecahkan oleh DKI-1. Tinggal bagaimana cara yang dijanjikan akan dilakukan itu yang diperjual belikan dalam kampanye mendatang. Ketika masuk ruang cara inilah, ada yang berani berjanji akan melakukan apa saja dan seharusnya, ada yang bilang akan disesuaikan dengan keyakinan dan visi partai yang mengusungnya. Disitulah dilemma yang akan dihadapi Adang dan PKS. Apakah penciptaan lapangan kerja dihalalkan dengan membiarkan praktek judi dan membiarkan kehidupan malam dengan segala turunannya misalnya?
Wallahu'alam Bisshawab.

11 May, 2007

Management & Integritas

Mengikuti sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh lembaga manajemen tertua di Indonesia, Lembaga Manajemen PPM, yang dibesut dalam rangka memperingati hari ulang tahunnya yang ke empat puluh, merupakan satu kesempatan langka dan membahagiakan. Sejumlah pakar dan birokrat menyempatkan hadir untuk memberi kontribusi pemikiran atas permasalahan bangsa. ”Management & Integritas”, menjadi pilihan masalah yang dianggap paling krusial oleh LPPM, untuk segera dipecahkan. Sehingga, topik ini di perbincangkan untuk didokumentasikan sebagai kontribusi LPPM kepada bangsa. Sejumlah birokrat mulai dari Menteri Perdagangan dan Wakil dari Bappenas, rekan dari KPK, anggota parlemen dan rohaniawan dihadirkan pada sessi pertama. Sementara sessi kedua tidak kalah menariknya, mulai dari pengusaha, pensiunan jendral, lembaga swadaya masyarakat penggiat pemberantasan korupsi, hingga journalist diberi kesempatan pada sessi berikutnya.

Sessi pertama, menorehkan sebuah kesimpulan yang diantaranya dimulai dengan keyword dari Maria E. Pangestu, Mentri Perdagangan: Optimisme, Leadership and Guts. Solusi atas permasalahan bangsa, harus dimulai dengan optimisme. Kita sebagai warga negara harus memiliki optimisme bahwa kita mampu memecahkan dan keluar dari permasalahan.Sikap pesimistis, tidak memiliki tempat bagi sebuah negara yang ingin maju dan telah menjadi ciri masyarakat di negara-negara maju. Leadership, harus dimaknai sebagai keharusan untuk memberikan ’keteladanan’, pemimpin atau birokrat di Indonesia, mulai dari tingkat Presiden hingga Kepala Desa dan Lurah, harus mampu menjadikan dirinya sebagai teladan bagi masyarakat. Tidak pada tempatnyanya lagi, himbauan untuk melakukan sebuah program kerja yang tidak disertai dengan keteladanan. Masyarakat sudah tidak lagi memiliki rasa percaya, atau rendah sekali tingkat kepercayaannya terhadap pemimpinnya jika tidak disertai dengan contoh. Keberanian adalah hal yang juga tidak boleh dilupakan. Pemimpin yang tidak berani membuat keputusan atau pilihan, menjadi beban bagi upaya perbaikan kondisi bangsa. Sehingga, lebih baik berani melakukan sesuatu kemudian salah, dibandingkan dengan hanya diam. Pernyataan lain yang disampaikan oleh beliau, rekan – rekan di Kabinet Indonesia Bersatu, terutama di Depertemen Perdagangan dan Departemen Keuangan, menyadari, bahwa membuat Indonesia menjadi lebh baik, tidak semudah membalikkan telapak tangan, sehingga positioning yang diambil menempatkan diri sebagai ’transition generation’ yang berusaha untuk membuat sejumlah kebijakan yang fundamental untuk dapat dilaksanakan pada generasi berikutnya. Erry Riana Hardjapamekas, Wakil Ketua KPK, lebih memperkuat statement dari Ibu Menteri, dengan mengatakan kepemimpinan seseorang akan efektif jika mampu menerapkan asas manajemen Lead by Example, dalam segala hal. Karena memang berat menjadi pemimpin masyarakat dimasa sekarang. Banyak tuntutan dari masyarakat yang dibebankan dan diharapkan kepada para pemimpinnya. Tidak korup, bekerja keras dengan tetap menjunjung tinggi etika dan martabat, menjadi kualifikasi ideal bagi pemimpin saat ini. Law Enforcement adalah kondisi yang tidak bisa ditawar tawar lagi. Menanggapi, pertanyaan dari peserta yang menyatakan masih ditemukan aturan hukum yang tidak sempurna, sebagai kendala yang dihadapi bangsa, Erry menjawab dengan pernyataan : ”Hukum yang kurang sempurna dengan kualitas penegak hukum yang baik jauh lebih baik dibandingkan dengan hukum yang sempurna tetapi kualitas penegak hukum yang buruk”. Artinya, sepanjang kualitas penegak hukum di Indonesia menjalankan fungsi dan tugasnya dengan amanah, permasalahan yang ada dapat diselesaikan dengan adil. Yang paling menarik dari sessi pertama ini adalah pernyataan dari Dr. Prasetijono Widjojo Malangjoedo, MA Deputy Meneg PPN/ Kepala Bappenas Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan. Dia menyatakan wajar sekali jika sejak tahun 1998 hingga saat ini, arah pembangunan Indonesia dirasakan tidak jelas. Mengapa? sejak di hapuskannya GBHN, pembangunan yang dilaksanakan oleh Presiden, sangat bergantung kepada visi dan misi Presiden terpilih. Padahal kita ketahui, sepanjang periode tersebut, telah terjadi pergantian presiden sebanyak 4 (empat) kali. Karena tidak adanya arah pembangunan nasional yang ingin dicapai dan disahkan oleh Undang - Undang, sehingga seakan akan, apa yang telah dilakukan para Presdien terdahulu, tidak ada yang dirasakan manfaatnya bagi masyarakat secara keseluruhan. Beruntunglah, pada tahun ini telah ditetapkan Undang – Undang No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang ( 2005 -2025). Dengan telah diundangkannya RPJP ini, setiap kepala negara mempunyai kewajiban untuk mematuhinya, tidak bisa lagi membuat priorotas pembangunan berdasarkan kehendak tim atau kabinetnya sendiri. Dinyatakan oleh beliau, bahwa RJPJ ini sangat komprehensif dan telah memuat target – target pembangunan yang dinyatakan dalam MDG’s.

Selepas istirahat makan siang dan Sholat Dzuhur (bagi yang melaksanakan), Diskusi dilanjutkan dengan sessi kedua. Beberapa pointers yang bisa dicatat adalah sebagai berikut. Agus Wijoyo, Letjen (Purn), menjawab pertanyaan dari moderator yang berhubungan dengan bisnis TNI . Menurutnya, harus dipahami terlebih dahulu bahwa bisnis TNI sejatinya untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit yang tidak mampu diberikan Negara karena keterbatasan dana. Namun tujuan mulia ini perlu dijaga agar tidak terjadi conflict of interest . Caranya? Jangan bolehkan prajurit aktif untuk mengelola bisnis TNI. Serahkan tata kelola atau manajemen bisnis kepada para professional yang tidak memiliki kaitan dengan aktivitas keprajuritan, artinya bukan tentara. Karena, nature organisasi tentara yang non profit dan pengabdian, sangat berbeda dengan nature bisnis, yang beroreintasi kepada profit dan keuntungan. Sepanjang asas ini dapat dijaga dengan sebaik-baiknya, menurut dia, tidak perlu membuat Undang – Undang yang mengatur bisnis TNI, apalagi sampai ada pemikiran untuk membuat batasan mengenai jumlah asset yang dapat dikelolanya, hal ini akan memperumit sesuatu yang sederhana. Hal lain yang perlu diperbaiki oleh seluruh lapisan masyarakat untuk dapat menunjukkan jati diri sebagai individu dan bangsa yang memiliki integritas adalah keharusan untuk segera meninggalkan ’budaya instant’. Karena pengaruh budaya inilah yang menyebabkan kita membenarkan praktek praktek yang serba shortcut, tidak memberi apresiasi terhadap proses dan mendewakan result atau hasil. Praktek dan perilaku korup, yang menjamur dimasyarakat, diantara penyebabnya adalah pengaruh budaya instant.

Selanjutnya, Siswono Yudhohusodo, pengusaha, calon Wakil Presiden 2004. Dalam kacamata beliau, kesulitan atau problem hidup yang dialami pengusaha Indonesia tidak kalah beratnya dengan yang dihadapi masyarakat lain. Mengapa? Karena masih banyak kebijakan yang in proper , bahkan beberapa cenderung aneh. Beliau memberi contoh, sebagai peternak sapi yang memiliki ranch di NTB, dia mengatakan untuk membawa sapi yang diternakkan di Sumbawa ke Jakarta, ongkosnya jauh lebih mahal dibandingkan dengan menerbangkan sapi dari Darwin. Padahal jarak Darwin - Jakarta dua kali lebih jauh dibandingkan Jakarta – Sumbawa. Mengapa bisa terjadi? Karena setiap melewati daerah kota perbatasan, akan menghadapi sejumlah pungutan dari Pemda yang dilewati armada yang membawa sapi tersebut. Contoh lain, kebijakan untuk impor komponen kabel membuat Radio pajaknya jauh lebih tinggi dengan pajak impor radio? Bukankah hal ini, tidak memberi motivasi bagi pengusaha untuk membuka pabrik radio yang dapat menciptakan lapangan kerja? Karena menjadi importir jauh lebih murah dibandingkan menjadi produsen radio?. Namun demikian, dengan sikap kenegarawanannya, beliau menyatakan mulai ada sejumlah perbaikan yang terkait dengan pajak, tanpa menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksudkannya. Menurut beliau, ada adagium menarik mengenai kualitas atau model kepemimpinan suatu bangsa ” lebih baik diktator yang baik dibandingkan dengan demokrat yang lemah”. Meskipun begitu, hal ini tidak berarti bahwa beliau menyepakati untuk kembali dipimpin oleh seorang diktator. Ketika kita sudah bersepakat menjadikan negara ini sebagai negara yang demokratis, mari sama – sama kita junjung tinggi dan pelihara komitmen ini. Terhadap kritik yang menyatakan makin banyaknya kalangan pengusaha yang menjadi birokrat atau pemimpin di daerah, baliau menyatakan, sejatinya dunia bisnis atau usaha adalah medan latihan leadership yang paling bagus yang pernah ada. Mengapa? Seorang businessman harus mampu menggerakkan sejumlah keterbatasan potensi yang ada dan berasal dari sumber yang berbeda untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu mencapai keuntungan bisnis secara material. Bukankah hal ini tidak mudah? Disamping itu, Undang – Undang PEMILU PILPRES maupun PILKADA yang saat ini ada, mengharuskan seorang calon memiliki dana yang besar untuk biaya politik. Jadi wajar sekali, makin besar peluang yang dimiliki pengusaha yang memiliki dana untuk maju dalam proses pemilihan PILKADA.

Gagasan menarik lain, datang dari Bambang Harrymurti, journalist. Buat dia, masalah kita sebagai bangsa adalah kesalahan dalam menerapkan insentive dan disinsentive. Meminjam teori militer, jika terjadi perebutan atas suatu wilayah, kalkulasi tentara bilang dari jumlah penduduk yang ada akan terbagi menjadi : 10% mendukung kita, 10% mendukung musuh dan 80% mendukung yang menang. Artinya, pertempuran yang sesungguhnya adalah bagaimana menghadapi 10% penduduk yang mendukung musuh. Begitu kita menang yang 80% akan ikut bersama kita. Nah dalam konteks permasalahan yang ada saat ini,bagaimana mengadopsi teori militer tadi menjadi implementatif dalam kehidupan sosial kita. Kalau kita anggap bahwa 10% warga negara adalah orang – orang yang bersih (beliau menyebutnya sebagai Malaikat) dan 10% yang lainnya adalah warga yang kotor, jahat dan korup (beliau menyebutnya dengan Setan), yang 80% lainnya adalah warga yang ikut – ikutan alias ”membebek” terhadap pertarungan malaikat dengan setan. Mereka bisa menjadi setan atau sebaliknya. Kembali ke teori insentive dan disinsentive, karena salah menerapkannya, maka kita menghadapi masalah dan kualitas manusia seperti yang ada saat. Contoh: ketika terjadi penyerobotan dalam antrian lalu lintas, yang menyerobot, oleh Pak Polisi justru dimasukkan dalam antrian, bukan dipaksa untuk kembali ke titik dimana mereka menyerobot. Akibatnya apa? Semua orang berlomba-lomba untuk menyerobot, karena pada akhirnya mereka akan tetap berada dalam antrian didepan, dari yang disalipnya. Meskipun ulah yang telah dilakukannya menyebabkan kemacetan dimana-mana. Coba jika treatment tadi tidak diberikan oleh Pak Polisi, tentu mereka yang menyerobot akan jera, karena percuma saja menyerobot karena pada akhirnya harus kembali ke belakang. Ada banyak penerapan insentive dan disinsentive yang salah. Termasuk dalam fenomena ”kebocoran” ujian nasional yang baru-baru ini terungkap secara nasional.

Penutup

Mengakhiri sessi diskusi selama satu hari, moderator dan pemandu acara yaitu Teguh Setyawan Usis dan Bramantyo Djohanputro, menyampaikan statement yang paling substansial diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan bangsa adalah kualitas kepemimpinan pada diri setiap orang Indonesia, terutama yang sedang memangku jabatan publik. Mereka harus memiliki integritas dan intelektualitas tinggi sekaligus. Reformasi birokrasi adalah agenda yang seharusnya lebih dipercepat untuk dilakukan agar daya saing Indonesia sebagai sebuah Negara, mampu berkompetisi dalam memberikan layanan kepada publik termasuk publik Internasional secara cepat, tepat dan hemat.

07 May, 2007

Reshuffle Kabinet

Setelah menanti lebih dari 6 (enam) bulan, akhirnya spekulasi perombakan Kabinet Indonesia Bersatu, diumumkan hari ini, Senin 7 Mei 2007, pukul 15.00 WIB di Istana Presiden. Dari pendekatan atau sudut pandang politik, perombakan ini memenuhi harapan. Dimana para Menteri yang dianggap bermasalah menurut permainan politik, karena mendapat sorotan yang tajam dari masyarakat, seperti Mensesneg, Yusril Ihza Mahendra dan Menkum dan HAM, Hamid Awaluddin, sukses meninggalkan kursinya. Sayangnya, ada menteri yang sebenarnya juga kurang cakap dalam mengemban amanat, ternyata masih dipertahankan seperti Aburizal Bakrie dan Hatta Rajasa. Hatta Rajasa, pindah menempati posisi sebagai Menteri Sekretaris Negara, menggantikan Yusril. Kegagalan beliau ketika menjabat sebagai Menhub ternyata dapat membatalkan perkiraan orang akan lengsernya beliau dari kursi Menteri. Kalkulasi ini, tak akan lepas, dari pertimbangan politik dimana PAN tetap diperlukan untuk menjadi faktor yang diharapkan tetap solid memberikan dukungan kepada pasangan SBY-JK. Begitu juga dengan keberadaan Ical yang menjadi salah satu tokoh berpengaruh di Partai Golkar.
Tidak akan ada perubahan yang berarti bagi kebanyakan warga negara Indonesia, dari perombakan kabinet kali ini. Mengapa? Karena bagi rakyat, perombakan kabinet harus memberi perubahan gradual yang nampak atas sejumlah kebutuhan dasar yang masih sulit didapatkannya. Hal - hal normatif yang diharapkan adalah kesempatan untuk bekerja, meningkatnya kualitas hidup dan kemudahan mendapatkan akses pelayanan umum, kesehatan dan pendidikan. Hal ini nampak dari tidak ada perubahan sama sekali di tim ekonomi dan tim yang bertanggungjawab langsung kepada agenda kerja bagi kesejahteraaan rakyat. Menteri Keuangan, Menteri Ekonomi, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, tetap utuh tak ada yang tersentuh. Dalam konteks kepentingan global, mungkin saja, hal ini dianggap paling baik untuk menciptakan stabilitas ekonomi, tinggal bagaimana Indonesia mengambil manfaat atas pengorbanan terhadap kepentingan stabilitas perekonomian global memiliki dampak langsung terhadap realitas dan kebutuhan perekenomian nasional dan yang jauh lebih mendasar lagi, kesejahteraan rakyat yang memberikan mandat dan kekuasaan.
Ada yang menarik secara personal buat saya, dipindahkannya Sofyan Djalil dari pos Menkoinfo menjadi Meneg BUMN. Sebagai orang yang memimpin BUMN, tentu saja beliau diharapkan mampu menciptakan terobosan kebijakan yang mampu mendatangkan keuntungan significant dan memberi kontribusi terhadap pos penerimaan APBN. Latarbelakang beliau, dan pengalaman birokrasi di kementrian yang mengurusi hal - hal yang terkait dengan informasi dan komunikasi, apakah cukup "capable" untuk bertindak seperti para profesional di bidang - bidang BUMN yang sangat beragam?. Mungkin, hal ini semata karena keterbatasan saya dalam mengenal Pak Sofyan Djalil. At least, ada harapan yang layak untuk dikemukakan dalam kesempatan ini, intensitas beliau ketika menjabat Menkoinfo dalam organisasi Tiga Pilar Kemitraan, yang mengkampanyekan dan memperjuangkan praktek bisnis yang BTP (Bersih, Transparan dan Profesional) dapat terus dipelihara dan dikembangkan dalam lingkungan BUMN. Sehingga, efisiensi yang telah dimulai oleh Pak Soegiharto dapat dilanjutkan dengan prkatek pengelolaan BUMN yang memenuhi kaidah BTP. Dalam waktu dua setengah tahun kedepan, mungkinkah kita memiliki lebih banyak BUMN yang tangguh seperti BUMN yang dimiliki pemerintah Singapura?
Optimisme dan prasangka baik, tetap akan saya tumbuh kembangkan terhadap para pemimpin bangsa ini, semoga amanat yang diberikan dapat diemban dengan sebaik-baiknya dan mampu memberikan tingkat kehidupan yang semakin baik bagi rakyat kebanyakan, termasuk saya tentu saja.[*]

25 April, 2007

Kemandirian Bangsa di Garuda

Kemandirian Bangsa, menjadi tema sentral obrolan saya bersama dengan Pak Ahmad Siregar, dalam penerbangan GA 179 dari Medan menuju Jakarta pada hari Selasa 24 April lalu. Saya kembali ke Jakarta dari kegiatan Workshop Business Ethics di Fakultas Ekonomi USU bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, beliau kembali dari menjenguk ibundanya di Padang Sidempuan yang sedang mengalami sakit karena pengapuran (osteoporosis).

Diawali obrolan ringan, ketika pramugari menawarkan hidangan untuk santap malam, akhirnya sejurus kegelisahan, impian dan harapan dari dokter mata yang bertugas di RS Persahabatan Jakarta , mengalir cepat tentang gemasnya dia terhadap nasib dan perkembangan bangsa ini. Ucapan retorik berupa pertanyaan kenapa kita tidak bisa menjadi bangsa yang maju dan disegani? Menjadi kalimat kunci yang membuat kami terlibat dalam bentuk obrolan ”bapak dengan anak” sarat dengan pesan dan harapan, dibeberapa bagian memang berupa lecutan dengan kalimat satire, ala ”Naga Bonar jadi 2”. Kenapa kita tidak bisa menjadi bangsa yang maju dan disegani? Menurutnya karena kita tidak serius untuk menguasai teknologi. Bandingkan dengan Malaysia dan India, memperkuat alasan dia. ”Bayangkan Mas, saat ini, alat – alat kedokteran mata, sudah banyak yang made in India, mulai dari alat operasi hingga lensa mata, selain bagus, murah lagi jika dibandingkan dengan buatan Amerika sekalipun”, imbuhnya dengan sorot mata yang berbinar. Malaysia, dengan proyek prestisius "Malaysia Super Koridor " seperti juga India, jauh jauh hari sudah membangun kawasan yang mirip dengan Sillicon Valey, milik Negeri Paman Sam. Karena pilihan strategis tersebut, kedua bangsa ini, mendapat pengakuan sebagai bangsa yang bergerak maju dan tentu saja berhak dihormati di dunia. ”Kita, tidak bisa selamanya menjadi bangsa ”pedagang”, yang hanya mampu menjual komoditi yang telah diberikan Tuhan. ”Dagang kayu gelondongan, jual batu bara , emas dan timah yang sudah ada dari sananya dan pasti habis, Gak ada hebatnya itu!”, tambahnya. Buat dia, penguasaan teknologi ini harus dimulai dengan keseriusan kita untuk mampu membuat ”Mobil Nasional”. Sejak tahun 1970, dia berangan – angan ingin memiliki mobil, made in Indonesia. Begitu kita mampu membuat mesin –mesin mobil sendiri maksudnya- menurut hemat dia, akan menjadi lokomotif, bagi tumbuh dan berkembangnya sejumlah industri dibidang lain. Dan...masih dalam kepercayaannya, ini akan menjadi simbol kejayaan dan kebanggaan Nasional, itu jauh lebih penting dan tak ternilai harganya. Kebanggaan akan produk negeri sendiri. Wajar saja dia geram dengan matinya ”PERKASA”, merk truck yang diproduksi oleh Marimutu Sinivashan, yang sebenarnya mulai muncul sebagai alternative sarana transportasi jenis truck yang membanggakan. Dia sempat membayangkan, kalo sudah mampu membuat truck dan sempat diimpor ke Jordania, tentu tidak sulit untuk membuat kendaraan keluarga dan bahkan kendaraan lapis baja sekalipun. Ada beberapa alasan kenapa kita tidak pernah mau untuk menguasai setidaknya, sebuah teknologi saja, yang kembali dia tegaskan berupa, mesin mobil.

Kemandirian ! Sebagai bangsa, kita perlu pemimpin yang memiliki visi dan keberanian untuk menjadi bangsa yang mandiri. Sehingga, tidak terlalu rentan terhadap tekanan atau ancaman Negara lain. Kemandirian ini, harus dimulai dari kemandirian ekonomi, tanpa kemandirian ekonomi, sulit rasanya bagi kita untuk meningkatkan posisi tawar kita kepada bangsa lain. Struktur APBN yang masih banyak dialokasikan untuk membayar hutang, membuat kita tidak bisa memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai kepada warga bangsa. Disamping itu, tingginya hutang luar negeri ini memperlemah daya tawar pemerintah Indonesia untuk memikirkan dan melaksanakan apa yang mau dikerjakannya sendiri. Mengapa? Karena segala sesuatunya, disadari atau pura – pura tidak disadari, pasti akan diintervensi oleh Negara pemberi hutang. Apalagi mengerjakan sesuatu yang memiliki potensi untuk menjadi pesaing. Kita tidak bisa mengembangkan industri otomotif, karena pasti akan dilarang atau setidaknya dipersulit oleh Jepang, sebagai Negara yang memang sangat diuntungkan dengan posisi Indonesia sebagai pasar potensial bagi industri otomotifnya, baik roda dua maupun roda empat. Sehingga, akan dengan sangat mudah bagi kita untuk menyebut dan mengingat merk Honda, Suzuki, Yamaha, Daihatsu, Kawasaki sebagai moda transportasi kita, dibandingkan dengan Kanzen, misalnya. Contoh yang lain, bagaimana familiarnya kita dengan merk Nokia, Samsung, SonyEricson dibandingkan dengan Nexian, untuk telepon genggam.

Selain sikap mandiri, sifat berikutnya yang diperlukan untuk bisa maju, tumbuh dan berkembang adalah rela berkorban. Kerelaan kita sebagai manusia Indonesia yang mau berkorban untuk sesuatu yang membuat kita maju dan merdeka dari penindasan dan penjajahan, entah kenapa semakin memudar jika dibandingkan dengan generasi terdahulu. Saya tidak mampu menjawab pertanyaan dari pak dokter yang sesekali main golf beersama koleganya ini. Saya cukup puas untuk mendengarkan sejumlah cerita yang dipaparkannya mengenai sikap mau berkorban tersebut. Masih menurut dia, berkorban untuk kepentingan bersama yang jauh lebih besar, tidak akan bisa dipersembahkan oleh rakyat Indonesia, ketika para pemimpinnya tidak memberi contoh bagaimana harus berkorban? Borosnya anggaran untuk hal- hal yang sifatnya seremonial dan sekedar unjuk kewibawaan semu, menjadi atribut standard para pemimpin kita dilevel apapun. Iring-iringan kendaraan yang berlebihan ketika para pemimpin hendak mengunjungi suatu tempat, menjadi fenomena lazim, yang bahkan di Negara pulau yang kaya raya seperti Singapura sekalipun ini tidak dilakukan. Saya jadi teringat, ketika tahun 1995, berkesempatan menjadi salah satu peserta The Friendship Programme for the 21st Century yang didanai oleh JICA (Japan for International Cooperation Agency) . Salah satu rangkaian kegiatan tersebut adalah mengunjungi pusat rehabilitasi dan rekreasi bagi para Manula di Tokushima, sebuah prefektur di Negeri Sakura. Acara tersebut diawali dengan dialog dengan Pak Walikota. Apa yang menarik? Pak Walikota datang tepat waktu tentu saja dengan sedan warna putih (warna standard kendaraan bagi pejabat pemerintah) dan hanya didampingi oleh satu orang yang menjadi driver sekaligus ajudannya. Saya sungguh terpesona dengan apa yang saya lihat dan tentu saya bandingkan dengan Negara dimana saya tinggal. Versi lain yang dikemukanan Pak Siregar, adalah bagaimana pemimpin tertinggi di India, mengkristalisasi kebanggaannya sebagai representasi tertinggi dari sebuah bangsa sekaligus memberi contoh untuk mau berkorban adalah dengan memilih kendaraan produksi India sebagai kendaraan resmi pemerintahannya. Tentu saja kendaraan ini jauh dari nyaman jika dibandingkan dengan merk-merk Eropa yang digunakan oleh para pemimpin kita. Kita, mungkin juga saya, tidak rela berkorban untuk hidup hemat dan mengurangi kenyamanan, demi kepentingan saudara – saudara kita yang seharusnya tidak bernasib kekurangan. Setelah kalimat tersebut ...

Kami terdiam, dan larut kembali dalam bacaan yang kami mulai sebelum sang pramugari mengingatkan untuk santap malam, beliau membaca ”Majalah Al Kisah” dan saya membaca ”25 Ways to Win with People : Buatlah Orang lain Merasa Sangat Berharga” yang ditulis oleh John C Maxwell dan Les Parrot Ph.D.

Akhirnya, dua jam waktu tempuh Medan – Jakarta mendekati tunai ketika kapten penerbangan menyatakan :... take position..., dan mendarat mulus di bandara internasional Soekarno Hatta. Obrolan kemudian, sepanjang turun dari pesawat ke tempat bagasi lebih banyak tentang pekerjaan dan Ibundanya yang sakit. Setelah Bika Ambon ”Zulaikha” dan Bolu Gulung Meranti yang terbang melalui bagasi ada dalam genggaman, kami pun berpisah. Dengan senyum kebapakan dan lambaian tangan dia mengucapkan ”Assalamu’alaikum”, yang saya jawab dengan ucapan ”Wa’alaikum Salam” dengan senyum tak kalah hangat dan kekaguman kepadanya atas obrolan tentang kemandirian yang baru saja terjadi. [*]

13 April, 2007

Kerja : Pilihan dan Perjalanan Rasa


Kamis, 12 April 2007,
Senja di Lantai 7 Menara Kartika Chandra.
Kala mentari mulai memudar menjelang,
Ketika pekerjaan nyaris dituntaskan,
dan jalan Gatot Soebroto sedang berada dalam puncak kemacetan.


Kebutuhan akan data untuk menuntaskan pekerjaan tanpa disadari mengantarkan saya kepada sebuah kumpulan file yang berisi puluhan gambar yang terjadi di kantor saya saat ini, Indonesia Business Links [www.ibl.or.id]. Folder yang ada dalam komputer itu, milik Mas Ishandawi, teman saya. Aktivitas tanpa sengaja ini saya lakukan bersama dengannya. Apa yang kami lihat, mengantarkan kepada terpanggilnya memori dan ingatan sebuah perjalanan dan pertarungan dengan Sang Waktu. Ternyata, tanpa disadari, telah banyak hal yang kita lalui. Suka duka, ceria dan nestapa, gagal dan berhasil dalam bekerja adalah hal biasa. Indah jika kita mampu menikmati dan menyelaminya. Tentu saja, yang dulu dianggap dan dirasa pahit, baru terasa manis dikemudian hari, begitu sebaliknya. Deadline dan ketatnya sebuah rencana, kadang menggerus esensi dan rasa kemanusiaan kita dalam bekerja.


oh ya, Indonesia Business Links, menjadi tempat keempat saya bekerja sejak tahun akhir tahun 1997 atau awal 1998. Sebelumnya, secara berturut - turut adalah PT Asuransi Takaful Indonesia, Bank Bali, sekarang dikenal sebagai PermataBank dan ALNI (Asian Labour Network on IFI's) Indonesia. Perjalanan tersebut mengingatkan saya kepada rubrik Pernik yang di asuh oleh HB Supiyo di majalah SWA. Dia pernah menulis tentang ketertarikannya mencermati karir seseorang dari perubahan kartu nama yang dikoleksinya. Sebagai seorang kolumnis gaya hidup yang sangat senior, tentu saja dia memiliki catatan khusus atas bagaimana para CEO yang berjaya saat ini, kala memulai karirnya. Perubahan perilaku, sikap dan gaya berfikir seseorang menyertai karir yang berhasil dicapainya. Dan itu, oleh HB Supiyo, diikuti melalui perubahan kartu nama yang dia terima.

Bagi saya, sebelum bekerja memerlukan pertimbangan yang khusus untuk bisa mendapatkan "greget" dari tempat dimana kita akan bekerja. Apa yang menjadi daya tarik yang membuat saya terpesona untuk mau serta rela menghabiskan delapan jam, setidaknya, waktu yang telah diberikan Sang Waktu kepada saya untuk menggeluti pilihan akan sebuah pekerjaan. Konsekuensi friksi dan kelelahan yang pasti terjadi harus seimbang dengan kenyamanan untuk terkejarnya esensi dari kenapa kita bekerja?. Kemanfaatan diri, optimalisasi akan eksistensi diri bagi orang lain, adalah hal yang mendasari pilihan saya dalam bekerja atau menginvestasikan waktu. Semakin banyak memberi manfaat atas apa yang dikerjakan, terhadap komunitas dan masyarakat, semakin menarik hati saya untuk memilih tempat bekerja atau memutuskan sebuah aktivitas. Semoga pertimbangan ini akan terus dan senantiasa seperti ini. Jika ditanya lebih jauh, mengapa begitu? Jawabannya karena hingga saat ini, cuma waktu yang saya punya. Sehingga, asset waktu menjadi satu - satunya investasi yang dapat saya lakukan untuk memberi manfaat bagi orang lain. Tidak ada harta yang melimpah dan bukan berasal dari keluarga yang memiliki kuasa. Sehingga, dengan harta dan kuasa, bisa melakukan sesuatu yang memberi manfaat bagi masyarakat disekitar kita. Karena saya percaya : Selagi Hidup Jadilah Berguna. [*]

29 March, 2007

Corruption Prevention to Foster Small & Medium Sized Enterprise Development

Hikmah atas kesempatan menjadi peserta dan moderator pada salah satu sessi Focus Group Meeting yang dilaksanakan bersama oleh UNODC-UNIDO dan IBL pada tanggal 28 Maret lalu adalah terangkatnya sejumlah kondisi, tepatnya kendala mutakhir yang dihadapi pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Koperasi dan rekan - rekan pendamping UKM di beberapa kota di Indonesia. Beberapa diantaranya memang bukan hal yang baru, sejak penulis menjadi Pengurus Koperasi Mahasiswa UNPAD tahun 1992 -1996, sulitnya akses untuk mendapatkan dana / pinjaman kepada bank ternyata setelah hampir 15 tahun,realitas ini masih saja terjadi dan tidak ada perubahan sama sekali. Saat ini, biaya transaksi menjadi tinggi karena prosedur kredit yang rumit sehingga menyita waktu sementara jumlah kredit yang dikucurkan kecil. Itu baru dari aspek finansial. Sementara itu permasalahan dari aspek organisasi, tidak kalah sedikit, beberapa yang mengemuka dan kuat untuk dikemukakan diantaranya adalah kurangnya pengetahuan atas perkembangan teknologi dan lemahnya quality control, kurangnya pengetahuan akan peluang pasar dan strategi pemasaran, sehingga acap produk yang dibuat oleh UKM sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan selera konsumen. Mohon maaf, tulisan ini tidak untuk memberikan sejumlah saran atau jalan keluar atas sejumlah permasalahan tersebut.
TANTANGAN KEDEPAN

Ditengah kesibukan untuk menemukan sejumlah cara keluar dari kesulitan dan permasalahan tersebut, dunia bisnis dan masyarakat internasional memberi tantangan baru berupa keharusan bagi UKM menerapkan kode etik dan praktek bisnis yang bersih dari praktek korupsi kolusi dan nepotisme. Sebagai pendukung mazhab positivisme, tentu saja penulis sangat setuju dengan tuntutan ini. Karena bukan kebetulan, jika saat ini pun penulis sedang menggarap sejumlah program yang terkait dengan business ethics. Mengapa saya mendukung? Karena data yang dipaparkan dalam forum, berdasarkan survei yang di lakukan Bank Dunia terhadap 713 pelaku bisnis di Indonesia atas Faktor Yang Menentukan Rendahnya Minat Untuk Berbisnis di Indonesia menunjukkan:
  • 48,2 % the uncertainty of Law/Regulation
  • 41,5% Corruption
  • 29,5% Tax Level
  • 24,7% Law Enforcement
  • 23% Financial
  • 22,3% Infrastructure
  • 18,9% Productivity and Skill of Employees
Artinya, korupsi menjadi perhatian kedua serius yang dianggap memberatkan pelaku usaha untuk berbisnis di Indonesia. Sehingga kesadaran bersama antara para pemangku kepentingan perlu dibangun dan diperlukan untuk mempercepat sembuhnya bangsa ini dari penyakit sekaligus kejahatan yang bernama korupsi ini.
UKM dianggap sebagai bagian dari bangsa yang perlu disehatkan, tentu saja merupakan pilihan sangat wajar dan memiliki legitimasi yang kuat. Data dari Kementrian Koperasi dan UKM, tahun 2004, di Indonesia terdapat 42.450.00 UKM sedangkan Usaha Besar ada 2000, yang lebih fantastis, UKM ini mampu menyerap 99,4% dari total angkatan kerja. Data ini pada akhirnya mengantarkan kepada realitas bahwa lebih dari separuh ekonomi Indonesia (59,3%) didukung oleh produksi dari UKM. Melihat angka angka ini, tentu saja kita harus serius untuk memulai agar para pelaku usaha disektor ini, memahami hal - hal yang terkait dengan kejahatan yang bernama korupsi.

Setelah mendengarkan pendapat, informasi masukan dari sejumlah peserta dan pemrasaran, sejumlah komitmen dan solusi yang dapat dikumpulkan dalam forum ini diantaranya adalah:

  1. Kesediaan KPK untuk melakukan sosialisasi atau memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada asosiasi pengusaha kecil dan menengah mengenai strategi menghindari praktek korupsi,
  2. Menciptakan sebuah kondisi yang kondusif bagi UKM untuk melakukan bisnis. Penghapusan sejumlah pungutan liar, kemudahan dalam proses perizinan dan akses kepada bank, menjadi kesepahaman yang memang dalam prakteknya masih sulit diterapkan. KPK menyampaikan telah ada sejumlah pemerintah daerah yang menerapkan manjemen satu atap, jadi mungkin dan tetap optimis bisa dilakukan ,
  3. Perlu dilakukan re orientasi atas sasaran atau obyek pengamatan dan advokasi rekan -rekan LSM yang bergerak dibidang pencegahan korupsi.Selama ini fokus kepada praktek praktek korupsi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam sarana dan pembangunan fisik, kepada praktek prekatek korupsi yang terjadi disektor bisnis, khususnya skala UKM.
  4. Kementrian Koperasi dan UKM, melalui kewenangan yang dimilikinya diharapkan mampu menciptakan stimulus bagi pelaku UKM untuk berbisnis secara bersih. Dan sekaligus harus mampu memberi insentif bagi yang telah berhasil menerapkannya. Kemudahan untuk mendapatkan modal, menjadi 'primadona' yang dianggap paling pas oleh forum sebagai bentuk insentif tersebut.

Tentu saja banyak sekali ide dan gagasan cerdas yang mengemuka dalam forum ini, tetapi 4 (empat) hal diatas, menurut penulis menjadi prioritas yang harus dilakukan untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, yang dimulai dari skala yang kecil yaitu UKM. Mungkin, peribahasa yang berbunyi "kecil teranja anja besar terbawa - bawa", menjadi tepat untuk mengungkapkan pentingnya kita untuk memberikan perhatian kepada UKM dan Koperasi untuk menerapkan bisnis yang sesuai dengan TARIF yaitu (Transparant , Accountable, Responsible, Independent and Fairness).[DNF]






05 March, 2007

Belajar Nasionalisme dari Thailand


Dinamika sebuah bangsa, tidak bisa lepas dari karakter para pemimpinnya. James G. Hwee, salah seorang inspirator yang mengisi SMART Motivation, menyatakan bahwa great leader adalah orang yang memiliki keberanian untuk berbeda dengan kebanyakan orang. Seseorang yang dengan berani untuk menyampaikan sesuatu dan memegang teguh apa yang diyakininya, meskipun mendapat tentangan dari pihak lain. Kita pernah punya, Soekarno, founding father bangsa Indonesia yang dengan gagah berani kala itu, mengkampanyekan pembangunan poros "Jakarta - Peking", untuk menandingi dominasi Amerika dan sekutunya. Singapura, pernah punya (dan masih) Lee Kwan Yeu, yang berani untuk menyatakan bahwa mereka hendak memisahkan diri dari Malaysia. Kemudian, Bangladesh, baru saja memiliki Moh. Yunus, yang mendapat Nobel Perdamaian karena keberaniannya untuk berbeda dengan model pemberian kredit konvensional, dia berani gagas dan terapkan secara konsisten, pemberian kredit tanpa agunan
Pernyataan dan contoh - contoh tersebut, mendapat pembenaran baru akhir - akhir ini. Mengapa? Adalah PM Thailand Surayud Cholanont, yang berani menyatakan akan melakukan nasionalisasi terhadap Shin Corp, sebuah perusahaan telekomunikasi Thailand yang dijual oleh mantan PM Thaksin kepada Temasek Corporation. Tentu saja, pernyataan ini mampu membangkitkan rasa nasionalisme baru bagi warga Thailand, pasti akan mendapat dukungan politik, mudah - mudahan akan diikuti dengan dukungan ekonomi. Mengapa? karena kata "nasionalisasi", terhadap sebuah entitas bisnis merupakan kata yang terdengar agak aneh dalam kamus kapitalisme. Bagi kapitalisme, tidak perlu nasionalisme, sediakan uang yang cukup dan kita mampu memiliki asset sebuah entitas bisnis.

Dalam kesempatan terpisah, PM yang memimpin kudeta militer terhadap kepemimpinan PM Thaksin ini, menyatakan bahwa ada masalah mendasar yang menyebabkan dirinya harus mengkudeta kepemimpinan Thanksin, yaitu, telah hilangnya nasionalisme dalam diri Thaksin. Nasionalisme yang dimaknai dengan keputusan Thaksin untuk menjual Shin Corporation kepada Temasek, milik pemerintah Singapura.


Bagi Surayud, keputusan Thanksin sebelum terjadinya kudeta, telah melukai harga diri bangsa. Sebagai sebuah perusahaan telekomunikasi yang sangat berpengaruh dan dibanggakan warga Thailand, tidak sepantasnya harus dijual kepada pihak asing. Dia harus dipelihara dan dipertahankan untuk tetap menjadi asset nasional. Terlebih proses penjualan ini, diwarnai dengan sejumlah ketidakwajaran, yang konon kabarnya tidak disertai dengan pembayaran pajak kepada negara.


Ternyata, rasa luka itu tidak cukup dengan hengkangnya Thaksin, ketika situasi politik mulai stabil dibawah kendali Surayud, dia berencana untuk melakukan nasionalisasi terhadap Shin Corp. yang menurut kalkulasinya berpotensi untuk menelajangi proses komunikasi yang dilakukan oleh militer Tahiland oleh pihak pemerintah dan militer Singapura. Terhadap pernyataan ini, tentu saja pihak Singapura membantahnya. Karea sudah pasti, tidak akan pernah ada, proses dan mekanisme intelejen yang jujur dan terbuka. Sebuah keberanian politik yang cukup memadai ditengah kalkulasi hukum ekonomi yang normal. Mengapa? karena menurut kaidah ekonomi, penguasaan atau kontrol terhadap entitas bisnis, hanya mensyaratkan kemampuan [pemerintah Thailand] untuk melakukan buy back atas saham yang telah dimiliki oleh Temasek. Jadi, ada uang ada barang. Tetapi, Surayud berusaha untuk 'menjajal sesuatu' dan melakukan perlawanan terhadap hukum ekonomi tadi. Dia bukan tidak tahu dan tidak mengerti, tetapi dia berani menggagas hal baru, atas nama nasionalisme.
Hasilnya akan seperti apa? tentu kita perlu memberi waktu. Menurut saya, bagi Pemerintah Singapura, yang ekonomis dan efisien, sepanjang harga saham Shin Corp. masih mampu menjadi mesin ekonomi, dia pasti akan pertahankan. Bukan karena pertimbangan politik, tetapi pertimbangan dan kalkulasi ekonomi yang harus dilakukan untuk menunjukkan nasionalismenya sebagai pemerintah Singapura. Fenomena ini, bagi saya pribadi, adalah pelajaran yang berharga bagi para pemimpin bangsa, dimana pendekatan ekonomi dan pendekatan politik, sepanjang itu memberi manfaat bagi warga negaranya harus dilakukan, meskpiun orang lain menentangnya. Tinggal bagaimana tingkat kecerdasan dan keberanian para pemimpin untuk berdiri tegak melawan 'lawan -lawannya', atas nama bangsa dan rakyat yang memberikan mandat kepada dirinya.

19 February, 2007

Menatap Wajah Jakarta 2012

Mengalami 2 (dua) kali peristiwa banjir besar di Jakarta. Rasanya berani bilang bahwa kota ini memang sudah tua dan semakin renta. Usianya yang diatas 400 tahun, memang berat bagi ukuran sebuah kota. Bagaimana tidak? hanya dengan guyuran hujan dua hari dua malam saja, hampir 60% kota terendam air, roda perekonomian terhenti, infrastruktur, terutama telepon dan listrik lumpuh, sejumlah jalan raya rusak, sejumlah sekolah rusak dan tidak layak ditempati, belum lagi "rumah rumah liliput" yang dihuni saudara-saudara kita yang kurang beruntung dibantaran kali, tergerus air entah kemana. Saya gunakan saja angka dari BAPPENAS yang menyatakan nilai kerugian yang dialami Jakarta adalah 4,1 T, sementara Greeneconomics menyebut angka 7,1 T.

Setelah 'dibiarkan' selama 10 tahun atau dua kali periode Bang Yos memimpin Jakarta, ternyata 'begini-begini saja'. Apakah kita berani optimis, bahwa 2012 dimana siklus lima tahunan kembali datang, Jakarta kita tidak mengalami bencana seperti ini lagi? Kebetulan, saatnya tepat, dimana para CAGUB dan CAWAGUB sedang jualan untuk mendapat simpati warga Jakarta. Dalam pandangan saya, seharusnya, prioritas utama kampanye gubernur adalah menjamin Jakarta tidak banjir di Tahun 2015. Mengapa? karena banjir ini telah meluluh lantakkan apapun prestasi Bang Yos. Mengapa? angka kerugian 4,1 T yang dilansir BAPPENAS diatas adalah angka terang benderang untuk mengukur kinerjanya selama ini. Ibarat peribahasa, panas setahun hilang oleh hujan sehari. Tak ada lagi yang perlu dan layak dikemukakan untuk menutupi kerugian dari peristiwa banjir ini. Industri rugi, pendidikan terhambat, kesempatan kerja hilang, proses pembangunan dibeberapa sektor kembali ke titik nol. Yang paling menyentuh relung - relung hati dan emosi rakyat adalah rusaknya sejumlah home aplliance dan furnitur yang dikumpulkan bertahun tahun. Banjir membuat mereka kembali kepada kualitas hidup seperti mereka baru mengawali kehidupan sebagai sebuah keluarga baru, tanpa sofa, tanpa tempat tidur, televisi dan kulkas.

BERSAMA - SAMA FOKUS TANGANI BANJIR

Mari berbagi pekerjaan dengan fokus yang sama: "Jakarta 2012 Bebas Banjir". Aparatur Pemda DKI, fokus kepada proyek Banjir Kanal Timur (BKT) yang diyakini dapat menghindari terjadinya banjir. Pangkas dan kendalikan hawa nafsu untuk membuat proyek lain! Alokasikan semua dana proyek pembangunan fisik yang ada untuk mewujudkan BKT dan pembangunan fisik lain yang orientasinya pemecahan masalah banjir, rekondisi situ - situ yang tidak berfungsi, pembuatan situ- situ baru. Pengerukan sejumlah DAS yang mengalami pendangkalan, pelebaran dan pendalaman saluran air di kawasan-kawasan perumahan dan semua aktivitas pembangunan lainnya yang orientasinya tunggal: Jakarta 2012 Bebas Banjir.

Terhadap kendala keterbatasan dana, rasanya Pemda memiliki otoritas untuk menggandeng pihak swasta untuk mendanai sebagian atau seluruh proyek - proyek pembangungan yang diorientasikan untuk penanggulangan banjir. Katakanlah pembangunan situ, kenapa tidak, sebagai apresiasi kita namakan situ perusahaan yang membiayainya, katakanlah Situ Telkom , Situ Astra Motor, dan seterusnya. Atau besarnya kontribusi biaya pembangunan situ dikonversi kepada pengurangan pajak?

Seluruh warga Jakarta, siapapun itu, harus ditingkatkan kualitas kesadaran dan komitmennya terhadap aliran air kotor yang ada, mulai dari rumah - rumah hingga ke daerah aliran sungai (DAS) terdekat yang ada disekitar rumah dan pemukimannya. Kebiasaan dan kesadaran kepada kebersihan lingkungan tempat tinggal, jika dilakukan secara konsisten, akan menumbuhkan keprihatinan yang menular. Artinya, jika mereka berhasil mewujudkan kebersihan dilingkungannya, mereka akan 'gerah dan tidak nyaman' jika tetangga lingkungannya tidak sebersih lingkungan mereka. Mengapa? karena percuma saja jika lingkungan kita bersih tetapi lingkungan tetangga idak bersih, akan berpengaruh juga kepada lingkungan yang sudah bersih tadi. Kesadaran - kesadaran komunitas seperti ini, akan menjadi komitmen tidak tertulis yang akan mengkristal kepada komitmen - komitmen komunitas bersama. Untuk hal ini, kita mungkin perlu belajar kepada 'kearifan' masyarakat lokal seperti masyarakat Baduy Dalam atau masyarakat di kawasan kebantenan di Bekasi. Untuk warga Jakarta, model - model kompetisi antar RT-RW yang diberi reward ala Upakarti atau Kalpataru, sepertinya layak untuk kembali dihidupkan.

Jika, semua pihak memiliki impian yang sama untuk tidak mau menghadapi banjir lagi di 2012, yang harus diutamakan adalah para pemimpinnya konsisten dan tegas terhadap pelanggaran rencana umum tata ruang kota, insyaallah, Jakarta 2012 tidak akan lagi seperti lautan yang difoto dari udara. Dan kerugian 4,1 T tidak akan hilang hanya untuk 2 hari hujan yang mengguyur Jakarta.

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...