24 November, 2008

PKS (Partai Kehausan Suara)!


Manuver politik paling akhir yang dilakukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, membuat saya geram. Target pencapaian suara diatas 20 %, membuat sejumlah petinggi partai, terjebak kedalam strategi penggalangan dukungan yang “biasa-biasa saja”. Godaan untuk memperbanyak jumlah pemilih menjadikan partai ini tidak lagi istimewa dalam memilih dan menerapkan strategi. Strategi yang biasa-biasa saja yang saya maksud adalah, penjajagan untuk bekerjasama dengan PDI P untuk menggalang koalisi permanent dan memunculkan icon Pak Harto dalam barisan pahlawan Nasional.

Sebagai partai kader, menurut pemahaman saya, penerapan strategi pertama, yang mulai genit untuk memungkinkan berkoalisi dengan PDI P, sama sekali tidak boleh dipilih. Biarlah PDI-P besar dan memiliki basis pemilih potensial, jangan pernah sekalipun tergoda untuk membuat jalan pintas untuk mencapai target pencapaian jumlah kursi di DPR. Kaderisasi, hanya bisa terjadi jika sejak awal hingga akhir, sebuah perjuangan individu yang dikerjakan secara berjamaah melalui partai politik tetap memiliki dan ada ideologi yang diperjuangkan dan tentu saja ideologi tersebut harus berbeda dengan yang lain. Pakem dan analisis hostoris, nasionalisme adalah nasionalisme dan Islam adalah Islam. Polarisasi ideologi inilah yang justru menyebabkan aktivis kampus bergairah. Mentor –mentor politisi rela untuk menguras tenaga dan pikirannya untuk terus berkarya dan berbuat sesuatu untuk bangsa. Termasuk masih adanya dukungan dari kaum aghniya untuk berbagi zakatnya untuk hal – hal yang sifatnya perjuangan yang dilakukan melalui sistem kenegaraan. Mengapa? karena kaderisasi harus terus berjalan dan ada dengan suatu keyakinan masih pekerjaan besar yan senantiasa dibawa tidur untuk keesokan harinya diperjuangkan lagi.

Hal yang sama, nampaknya juga menjadi alasan untuk strategi yang kedua. Fakta, mendiang Seharto masih memiliki sejumlah idola. Namun ada fakta lain yang juga masih sumir, status hukum Pak Harto terkait dengan sejumlah kebijakan dan tindakan yang sarat KKN, belum terang benderang. Sebagai partai yang berani menyatakan Bersih, Peduli dan Profesional, tentu saja pilihan strategi ini tidak produktif dan menyesatkan. Apakah semata karena masih ada ceruk pendukung Soeharto menjadikan pertimbangan yang “gelap mata”, sehingga aspek bersih dan professional dikorbankan? Tidakkah melukai sejumlah professional potensial yang telah susah payah membuktikan bagaimana korupnya regim “Bapak Pembangunan” ini? Dimana bersihnya beliau ketika fakta audit menyatakan jumlah kekayaannya dan seluruh keluarga ini melimpah ruah di sejumlah account di luar negeri? Belum lagi sejumlah asset yang menjadi tidak produktif dan masih berdiri tegak disejumlah jalan protokol ibu kota? Tidakkah para pengambil kebijakan strategis partai ini melihat demikianlah faktanya.

Semoga, tindakan yang dapat dikategorikan gharar (spekulasi) dalam kalkulasi politik ini, menjadi tindakan politik pertama dan terakhir. Tetaplah istiqomah, meniti jalan dengan cara yang memang susah. Pendidikan politik yang dilakukan selama ini, sejatinya adalah pilihan yang benar dan telah terbukti mendapat pujian sekaligus dukungan. Jangan sekali – kali tergoda untuk menempuh langkah instant. Karena akan merugikan diri sendiri.

Sepuluh tahun dan angka delapan untuk Pemilu 2009, mungkin angka dan usia yang masih terlalu muda dan sedikit jika dibandingkan dengan usia partai – partai three big five (PDI, PPP dan Golkar), bentukan Soeharto, yang mampu menjadi representasi ideologi. Sehingga, PKS memang harus menambah energi sabarnya, agar suatu saat kita mampu menjadikan partai laksana pilihan hidup yang memberi konsekuensi secara permanent, seperti saudara kita di Amerika atau Australia sana. Jika dia memang terlahir dari keluarga Demokrat, sepanjang itu pulalah pandangan dan orientasi hidupnya akan menjadi Demokrat, demikian sebaliknya. Fenomena emerging democracy yang dilakukan oleh para politisi Indonesia dan dialami sejumlah partai politik yang menjamur kemunculannya satu dekade ini, jangan sampai menodai partai yang memiliki warna identitas kuning dan hitam sebagai partai masa depan. Semoga.

4 comments:

IBeN said...

Hallo Ded... nge blog juga neh? Good.. good.. link ke blog aku ya.. http://ibenimages.wordpress.com

Thanks!

Prana Rifsana said...

Politik memang tidak bisa hitam putih ya ded, coba lihat beberapa caleg yang ada, seorang korban penculikan menjadi partai yg dipimpin oleh sipenculik, seorang ketua partai kiri menjadi caleg partai hijau, seorang yg istrinya pernah memiliki 'kasus' dengan seorang pemimpin partai sekarang jadi caleg partai tersebut, teori apa yg cocok untuk politik negeri kita neh ded :)

virna medina said...

Menurut gue politik itu sudah nature-nya unpredictable. But it never cross my mind that PKS is part of this vicious circle. I used to have some kind of admiration to this party. Used to. Sekarang, kekaguman tinggal kekaguman. Mudah2an posting ini dibaca oleh pemimpin partai terkait. Ayo PKS! Jangan mau menjadi bagian dari lingkaran setan!

Unknown said...

Ini komentar dari rekan saya, Mas Fadjar, yang disampaikan melalui milist sman1bks_89@yahoogroups.com:
................

Dear Kang Dedy, (seharusnya Dedi, edit by Dedi Nurfalaq)

Sorry ane nanggepinnya lewat milis aja ya, ga pede nulis di blog, ane khan ga ngerti2 amat politik. Menurut aku PKS sdh kebobolan, apa yg mereka lakukan dg iklan Soeharto seperti memusnahkan hasil kerja keras panjang dan bertahun untuk mewujudkan partai reformis bertauhid langsung lenyap masuk kotak “kroni”.

Soeharto buat para reformis adalah kartu mati, jangan hanya ingat holocaust (pembantaian berjamaah) yg diduga dilakukan Bpk. ini di th 60-an, bukan hanya korupsi berjamaah yg beliau restui, bukan hanya budaya kolusi, nepotisme, ABS, yg beliau tinggalkan tp buat sebagian banyak orang masa pemerintahannya adalah teror seumur badan yg tentu saja bisa diMAAFkan tetapi sulit untuk diLUPAkan. Masa itu buat orang muda kreativitas adalah kesalahan, buat orang tua masa lalu adalah dosa tak berampun, tekanan pada rakyat lebih deras ketimbang tetesan kesejahteraan. Tentu saja tidak seluruh rakyat merasakan seperti itu, pada masa itu ada pomeo “kalau mau kaya jadi pejabat atau pedagang” karena kedua kategori profesi tsb sangat menikmati masa itu.

Jadi kalau PKS mendudukkan beliau sebagai Pahlawan & Guru Bangsa, aku ga tau lagi apa definisi dr kedua kata tsb. Rekonsiliasi adalah keharusan tapi hendaknya jangan lagi sebagai bangsa kita terjebak menciptakan tokoh2 baru yg menduplikasi diri pada orang yg salah. Kita merindukan anak negri dgn kaliber regional atau internasional tapi bukan dg pencitraan negative.

Buat PKS “I’m sorry.. Goodbye”, mungkin kita yang harus menambah energi sabar menunggu partai atau koalisi yg bisa menjadi konsekuensi secara permanent.

Wassalam

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...