13 July, 2009

Memancing Terus Terang


Penulis: Eileen Rachman & Sylvina Savitri (EXPERD).
Sumber: Kompas, Sabtu, 11 Juli 2009

Seorang teman kerja, saat mendapat kesempatan untuk berbicara rileks dengan saya, mengeluarkan berbagai komentar tak terduga – duga mengenai situasi lingkungan kerja di bagiannya. Saya sungguh terkejut, karena dari luar, tampak tidak ada masalah dengan divisi tersebut. Ternyata, ia dan teman kerja satu divisi punya berbagai keluhan tentang atasannya.

Si atasan tampaknya tidak menyadari bahwa teman –teman yang dipimpinnya mempunyai unek – unek dan berbagai masukan untuk pengembangan dirinya. Padahal, bila ditanya, semua orang berkata mereka lebih suka hubungan interpersonal yang diwarnai suasana terus terang. Ini berarti ada sesuatu yang mengganjal, membuat macetnya komunikasi, terutama bila komunikasi itu bersifat kritik pribadi, walaupun sebenarnya tidak diinginkan.

Gejala tidak berani usul, diam saja saat ketika mendapat perlakuan kurang fair atau melihat ketidakberesan, saya lihat terjadi juga pada beberapa bagian dan di banyak organisasi. Meskipun nyata-nyata tidak ideal dan tidak produktif bagi tim, organisasi bahkan bangsa, namun ketidakterusterangan seakan sudah membudaya. Kita tahu, tumbuh subur pendapat, “Sebaiknya ‘selamat’ di organisasi”. Bisa jadi, reaksi negative dari bapak dan ibu atasan saat dikritik juga membuat kita jadi tidak nyaman mengkritik. Individu yang berasal dari keluarga yang terlalu sopan, juga diajarkan sejak kecil untuk “tutup mulut” daripada dicap kurang ajar. Tak jarang, budaya ketimuran kita sebagai orang Indonesia, dijadikan kambing hitam atas sulitnya membangun budaya keterbukaan. Padahal, apakah karena kita orang Indonesia, kita tidak butuh menggarap organisasi, manajemen atau bahkan pemerintahan yang menanggapi informasi secara cermat, on time dan dalam? Pertanyaan kita semua, bagaimana kita membangun budaya dimana setiap orang berani berterus terang sehingga informasi bermanfat bisa beredar dengan leluasa dan dikembangkan?

Apakah kita akan terus Menghindar?

Secara naluriah, manusia memang inginnya menghindar dari konflik maupun kenyataan yang ‘pahit’. Kita semua tahu bagaimana sakit perutnya menghadapi keluhan pelanggan. Perasaan yang sama juga kita rasakan saat menghadapi realitas adanya hubungan interpersonal yang tidak harmonis. Melihat para politisi atau negarawan saling berseteru saja kita bisa merasa tidak nyaman. Bila ada dua rekan kerja terdekat berseteru atau saling mendiamkan, pastilah kita juga merasa terganggu. Ketidak cocokan antar divisi yang sudah menjadi masalah klasik, kalau mungkin dihindari, rasanya ingin kita hindari. Rasa tidak nyaman tentunya akan mengganggu, bila kita sendiri yang tengah mengalami tidak harmonisnya hubungan interpersonal dengan orang lain. Ini adalah mekanisme wajar.

Walaupun usaha dilakukan mati-matian pun, keterbukaan adalah juga pilihan yang sangat pribadi. Ada orang yang dari ‘sana’-nya memang sudah tidak mau terbuka. Menghadapi kenyataan ini sekalipun, lebih baik memulai membenahinya daripada diam saja.

Pentingnya “Campur Tangan” Manajemen

Kita bisa bertanya pada diri sendiri, apakah tempat kerja kita benar – benar telah menerapkan ‘open door policy’ yang sering didengung-dengunkan. Ini tentunya tidak berarti bahwa top manajemen ber’kuping tipis’ dan menyikapi langsung semua informasi mentah yang diterima. Kita perlu mempertanyakan apakah feedback dan masukan itu mengalir dengan lancar dan sejuk, tidak memanaskan suasana. Bila manajemen puncak tidak bersikukuh untuk mendorong terbukanya jalur komunikasi, tidak mungkin keterbukaan secara tiba-tiba turun dari langit.

Kita lihat bahwa organisasi yang secara sungguh – sungguh menggalakkan perbaikan komunikasi menyeluruh, menunjukkan persentase kesuksesan yang lebih besar, ketimbang bila individu yang mengupayakan keterbukaan ini sendiri – sendiri. Di sebuah organisasi, upaya ini diterjemahkan dalam “buddy program” yang cerdas. Individu, dipasangkan dengan buddy atau mentor dari divisi lain. Dengan demikian, karyawan yang berada di grassroot merada lebih bebas untuk bersuara, karena buddy-nya bukan penentu nasibnya secara langsung, bisa lebih dipercaya dan tidak terlalu bersiko. Ini hanya salah satu upaya untuk memperlebar telinga, sambil berbesar hati sekaligus berfikir kreatif mencari solusi.

Kembangkan Ritual Komunikasi

Memancing keterusterangan, tak pelak akan membuat berbagai masalah menjadi lebih kelihatan. Atasan yang terlihat sanggup menggerakan teman – temannya, ternyata tidak disukai anak buah. Tim yang saat bertemu tampak harmonis dan rukun – rukun saja, ternyata bersaing tidak sehat. Bila kita sudah komit untuk memancing keterusterangan, kita pun perlu sama-sama berniat mencari solusi yang bisa diterapkan, tepat saat berbagai masalah dan kenyataan terbuka. Solusi yang ditunda sama saja menguburkan masalah ke arena yang lebih sulit digali lagi.

Sebagai orang yang sadar bahwa ada masalah dan berniat untuk memperbaikinya, kita tidak bisa menciptakan system yang bisa mendorong pembenahan hubungan secara menyeluruh. Lingkungan kerja harus diciptakan sedemikian rupa sehingga orang – orang harus secara kontinyu merasa bebas bersuara. Kita tidak bisa secara kontinyu menjalankam program umpan balik 360 derajat, melakukan perbaikan program komunikasi internal, atau merubah lay out ruangan. Pembenahan juga tidak ada artinya kalau kita tidak betul betul berniat untuk menjaga suasana dimasa depan. Program sharing tentunya harus lebih sering dilakukan, perkembangan perusahaan perlu terus di up date dan berbagai ritual komunkikasi harus senantiasa disuburkan. Komunikasi terbuka ini harus diupayakan sepenuh energi.

No comments:

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...