04 June, 2009

Manohara , David Widjaya dan Jati diri Bangsa di Ambalat


Harapan: Ada pernyataan dan sikap yang tegas dan jelas dari pemimpin bangsa, bahwa permasalahan ini adalah masalah yang serius untuk membangkitkan rasa Nasionalisme sebagai bagian dari proses national character building. Sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, seharusnya memiliki harga diri dan kemampuan untuk memberikan perlindungan kepada siapapun warga negara Indonesia dan anak bangsa yang tinggal di seluruh penjuru dunia, apatah lagi sebuah negara yang sangat dekat bernama Malaysia. Keberanian Manohara A. Pinot (gadis belasan tahun, model dan bisa jadi 'a politis') mengusulkan pergantian seorang Duta Besar, merupakan statement yang spontan dan sederhana, lugas dan benderang tentang bagaimana kecewanya dia kepada aparatur pejabat pemerintah yang seharusnya mampu memberikan perlindungan yang kongkrit, terasa dan langsung pada waktu yang diperlukan. Bukankah itu memang yang seharusnya dilakukan oleh rekan -rekan kita di KBRI di manapun diseluruh dunia, terutama pemimpinnya?. Ternyata ini tidak dirasakan oleh Manohara dan ibunya.

Hal yang sama, sayangnya ternyata juga berlaku terhadap kematian David Hartano Widjaya (anak cerdas, asset masa depan bangsa) yang sedang belajar di Nanyang Technology University (NTU) di Singapura. Bukankah, pemerintah kita bisa mengeluarkan statement dan tuntutan yang berani untuk mengungkap permasalahan ini kepada pemerintah Singapura? Pernyataan berani yang tegas, akan membangkitkan c'esprit de corps, semangat korsa kepada seluruh warga negara, bahwa kita punya pemimpin yang lantang dan gagah berani mewakili kita untuk menuntut keadilan dan tidak mentolerir kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh orang lain terhadap warga negaranya.

Ambalat, tentu saja perkara yang lebih rumit dan kompleks. Ilmu politik, menempatkan kawasan sebagai salah satu komponen sebuah negara. Dan sejarah bangsa - bangsa didunia, mulai dari era kehidupan manusia jaman batu yang sederhana, tumbuh dan berkembangya kebudayaan Romawi, kegemilangan Khalifah Islam, hingga masuk fase perang dunia pertama, perang dunia kedua, hingga saat ini, tak pernah lepas dari perdebatan dan perebutan kawasan. Tentu dengan berbagai alasan dan kepentingannya. Mulai dari issue sumber daya alam hingga strategi untuk menjadikannya sebagai daerah pengembangan ideologi, kepercayaan hingga untuk kepentingan pemasaran sebuah produk.

Sehingga, kawasan menjadi strategis,krusial dan sangat penting. Ketika kawasan kita mulai disambangi oleh kapal perang negara lain, dia harus secara tegas dilarang. Bukan seakan - akan dijaga atau seakan - akan dilindungi. Tidakkah kita belajar dari kegagalan mempertahankan Sipadan dan Ligitan? Dan sialnya, bukankah Ambalat juga pernah di sambangi beberapa waktu yang lalu, sempat senyap dan kini kembali di utak atik?.

Belajar dari sejarah, kita harus menghindari perang, memang. Tetapi kita seharusnya bisa untuk teriak selantang - lantangnya, "Jangan main - main dengan warga negara Indonesia, karena saya selaku Presiden Indonesia, menjadi pelindung pertama keselamatan seluruh warga negara dan orang yang pertama kali akan menyatakan perang terhadap pihak manapun yang akan menggangu kedaulatan bangsa dan Negara Indonesia". Pernyataan seperti ini yang menjadi harapan saya, Pak Presiden.

Realita: Hanya pernyataan datar, semata - mata menyampaikan proses dengan retorika yang sangat standar dan birokratis. Menyebalkan dan tidak punya greget sama sekali.

Photo Credit:
Manohara, http://i44.tinypic.com/2rr0xgy.jpg
David H. Widjaja, http://www.inilah.com/data/berita/foto/95580.jpg

No comments:

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...