06 April, 2010

Jampi - Jampi Jupe, Abrakadabra!


Pemilu Kepala Daerah dibeberapa kota belakangan ini, nyaris menjadi panggung baru bagi sejumlah selebritis yang (masih) memiliki daya nalar untuk berpolitik. Sejauh yang muncul ke permukaan, tentu alasan dan pertimbangan mereka adalah untuk mengabdi kepada negeri, memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan menerapkan pengalaman profesional yang selama ini telah didapat dan beberapa alasan mulia lainnya. Ini harus kita apresiasi, pemenuhan kebutuhan akan aktualisasi yang telah didapat di panggung hiburan, ternyata tidak cukup mampu meredam potensi dirinya. Popularitas yang berpotensi menghasilkan elektabilitas, menjadi daya jual yang membuat para selebritas ini memiliki rasa percaya diri untuk melamar atau (sekan - akan) dilamar oleh partai politik untuk mencoba "bertarung" merebut simpati rakyat untuk memilihnya.

Demokrasi politik, memang memerlukan popularitas. Karena semua orang berkesempatan untuk memilih pemimpinnya dan tentu saja, pemilih merasa lebih nyaman untuk memilih seseorang yang dikenal. Pada tataran kualitas pemilih kebanyakan, realitasnya adalah, tidak terlalu memusingkan kapabilitas untuk memimpin sebuah gerbong pemerintahan. Bisa jadi karena dua hal: pertama, evaluasi atas kepemimpinan yang sekarangpun belum memuaskan dan tidak mampu menunjukkan kemampuannya memenuhi harapan rakyat dan kedua adanya keberanian untuk melakukan semacam pertaruhan untuk menguji pendatang baru yang berasal dari kalangan luar, dalam hal ini mereka yang berasal dari kalangan penghibur panggung dan layar televisi. Adalah fakta, mereka yang lebih dahulu menekuni dunia politik dan menjadi pemimpin daerah, mampu melakukan sesuatu yang lebih baik dan menunjukkan kinerja yang mampu mematahkan keraguan publik pada awalnya. Sebut saja : Rano Karno, Dede M. Yusuf, Tantowi Yahya bahkan Rieke "Oneng" Pitaloka, sejauh ini mampu mengemban amanah itu dengan baik. Sehingga, jika mengaku sebagai seorang demokrat dan menjunjung tinggi demokrasi, bukankah ketika sosok kontroversial seperti Jupe dan Ayu Azhari naik gelanggang, seharusnya diberi kesempatan tanpa harus mendahului syak wasangka atau apriori. Biarlah rakyat menentukan pilihannya sendiri, bukankah adagium demokrasi adalah "suara rakyat suara Tuhan?"

Tugas memilih Pemimpin, ada pada siapa?

Ini pertanyaan berat, jika harus mengkajinya secara ideologis. Karena pertentangan dan diskursus mengenai hal ini, mau tidak mau akan masuk kepada pembahasan landasan idiil mendirikan negara dan menjalankan roda pemerintahan. Masing - masing pilihan ideologi, akan diikuti dengan mekanisme turunan dalam proses pemilihan pemimpin dan kelangkapan kenegaraan lainnya. Dalam konteks Indonesia, setelah berkali - kali mencoba model pemerintahan, akhirnya kita memilih Demokrasi Presidensial. Dimana kita berkesempatan untuk memilih langsung pemimpin kita sendiri, tidak lagi diwakilkan kepada orang lain. Pilihan ini, berturut turut berlaku untuk Gubernur dan Bupati/Walikota.

Dengan telah diberikannya otoritas ini, maka tanggung jawab kitalah selaku rakyat yang memiliki hal pilih, untuk menentukan model dan kualitas seperti apa yang kita percaya untuk memimpin diri kita. Masing - masing kita tentu punya paramater ideal yang diharapkan. Karena kita punya pengetahuan, kita punya pengalaman dari interaksi indera-indera yang kita miliki dengan jalan hidup yang telah dilewati. Kita juga punya referensi dan kita punya keinginan - keinginan. Padukanlah hal - hal tersebut menjadi acuan kita terhadap sosok pemimpin yang kita inginkan. JIka memang, menurut Anda, dengan segala kelebihan, kekurangan dan kontroversi yang dimiliki seseorang yang mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin, pas dengan kriteria Anda, kenapa takut mencobanya? Karena ini, yang penting untuk digaris bawahi: resiko salah pilih juga berada ditangan Anda.

No comments:

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...