29 September, 2008

Paradoks Lebaran




Ketika lebih banyak tulisan yang menganalisa fenomena lebaran dari sisi budaya, tentu saja “high cost economy” ala keluarga tidak akan pernah bertemu dengan logika rasional secara ekonomis. Begitu juga dengan komentar dari teman saya, realitas pemudik yang harus bertarung untuk mendapatkan moda transportasi yang sesuai dengan isi kantong, sungguh diluar kesanggupannya, untuk dapat memahami bahwa biaya tinggi dan susah payah yang harus dijalani pasti terbayar kala tangan dan pelukan anak besentuhan dengan tangan dan pelukan Ibu/Bapaknya. Rasa syukur, suka cita dan kegembiraan yang terjadi sesaat, menjadi tenaga yang sangat besar untuk setia kembali ke perantauan untuk menjalani hari – hari yang tidak bisa dibilang mudah pada ratusan hari lainnya ditahun depan.

Paradoks lain, Lebaran bukan tempat dan tidak dimaknai sebagai peristiwa untuk berboros-boros ria. Hal ini juga tidak bisa dipahami karena harga dari sebuah perjuangan dan penderitaan tanah rantau sepanjang tahun sebelumnya harus “dirayakan”, dengan menunjukkan sejumlah kemampuan untuk membeli ini dan itu. Simbolisasi dari sukses dan keberhasilan menapaki jalan hidup, dalam tataran tertentu dan dengan kadar yang cukup, adalah kebahagiaan dan bentuk syukur kepada pemberi rizqi. Sebagai bentuk syukur, tentu diizinkan untuk berbagi dengan membelikan ini dan itu kepada sanak saudara dan handai taulan. Tentu boleh juga sekedar menunjukkan bahwa saya saat ini sudah mampu membeli mobil atau motor seri terbaru. Harapan positifnya, mampu memotivasi saudaranya untuk berani meninggalkan kampong halaman untuk pergi ke perantauan, agar tahun depan mampu membeli ini dan itu.

Pagi ini, saya mendapat (balasan) sms dari Ananto teman saya, begini sms yang saya terima dalam tiga pesan yang terpisah, sms pertama: Takbir IDUL FITRI jadi tanda kemenangan? dari apa, hawa nafsu? Gimana tetangga rumah yg kurang makan, belum bayar kontrakan, ngutang di warung dan sekolah anaknya. Sms kedua: kemenangan, kemenangan macam apa yang kita rayakan. Sudahkan terlintas dana pulang kampung kita kasih aja ke yg belum bayar kontrakan, atau dana perayaan dialihkan untuk yang papa dan ini smsnya yang terakhir: akhirnya. Kullu man ’alaaiha fan. QS 55:26. Sebuah rangkaian balasan sms yang menarik perhatian saya, ketika saya mengirimkan ucapan selamat merayakan Hari Kemenangan Idul Fitri 1429H, lebih awal kepada beberapa teman, kolega dan sejumlah senior saya. Ananto termasuk diantara mereka yang berkesempatan menerima digelombang pertama. Mungkinkah pertanyaan retorik ini bisa diamini dan diikuti oleh mereka yang merasa perlu dihargai jerih payahnya dengan cara memenuhi hasrat-hasrat dirinya, yang bisa jadi selama ini terpaksa terkekang, karena keterbatasan yang melingkupi dirinya?

Lebaran, termasuk ritual ibadah lainnya seperti haji, terutama di Indonesia buat saya, memang masih sarat paradoks. Perpaduan antara perayaan atas keberhasilan menjalankan ibadah puasa selama Ramadhan nan agung (religiousitas) dengan prosesi 'unjuk gigi' atas perjalanan hidup manusia selama 11 bulan dalam mencari harta, kedudukan dan kekuasaan. Kesederhanaan ajaran dan pentingnya substansi dari esensi dari setiap ritual peribadatan seringkali diperumit dengan hal – hal yang artifisial dan kultural.

Rasanya, memang tidak pada tempatnya untuk memaksakan idealisasi sebuah peristiwa Lebaran dengan satu sudut pandang, karena setiap orang yang merayakan dan terlibat didalamnya memiliki kepentingan dan paham akan tafsirnya sendiri-sendiri. Saya pribadi, memilih jalan tengah saja diantara titik-titik ekstrem pendapat tersebut. Memahami kebutuhan aktualisasi para saudara kita yang mudik dengan susah payah dan telah bekerja keras “mengumpulkan barang bawaan” selama satu tahun, sepanjang tuntunan secara syariat terkait dengan terpenuhinya zakat dan uang yang digunakannya berasal dari sumber yang halal. Sehingga, sisi – sisi positif dari budaya mudik, dapat dibungkus secara benar dan halus dengan ketaatan kepada pedoman yang telah ditentukan oleh Dzat yang Maha Pemberi Kegembiraan dan Maha menguasai Kemenangan.

Selamat Idul Fitri 1429 Hijriyah.
Mohon Maaf Lahir dan Batin.

3 comments:

Akhyari said...

SYUKURR....mau nulis di blog lagi..sip!

Unknown said...

Thanks Bro! You are my inspiration actually. Kualitas tulisan dan keluasan pengetahuan serta wawasan Anda semakin mengagumkan, tentang Indonesia.

Semoga hal - hal seperti yang Anda telah tulis di blog, menjadi insprirasi buat para blogger untuk dapat melihat lebih jernih, kekuatan dan potensi keunggulan Indonesia, ditengah himpitan rasa kurang percaya diri yang cenderung ke arah merasa inferior dalam percaturan global.

Good Luck, my lovelly Brother.

Akhyari said...

Saya link anda ke blog roll saya. alhamdulillah.

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...