22 August, 2007

Bangkitlah Menjadi Bangsa Mandiri

Catatan A. Umar Said


Bangkitlah menjadi bangsa mandiri !

Menjelang perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus yang lalu ada satu hal penting yang patut mendapat perhatian besar dari kita semua, yaitu berbagai pernyataan atau ucapan di Jakarta dari Joseph E. Stiglitz, seorang pakar ekonomi yang terkenal di dunia, dan penerima hadiah Nobel untuk keahliannya di bidang ekonomi. Pakar ekonomi yang juga pernah menjadi penasehat penting (setingkat menteri) dari Presiden Clinton ini, telah mengeluarkan pendapatnya yang kritis sekali mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan politik pemerintahan RI dalam masalah penanaman modal asing di Indonesia.

Tajamnya kritik Joseph E. Stiglitz ini bahkan bisa diangggap sebagai “tamparan” bagi banyak “economist” (ahli ekonomi) dan para pejabat tinggi Indonesia – terutama yang termasuk dalam golongan “Berkeley Maffia” – yang selama puluhan tahun (sejak 1967 !!!) sudah menggadaikan kekayaan bumi Indonesia kepada modal asing, terutama AS.

Kritik tajam Josepf Stiglitz ( yang juga professor di bidang ekonomi di Columbia University Business School dan pernah menjadi economist terkemuka di Bank Dunia) ini, patut sekali menjadi perhatian dari kalangan intelektual dan tokoh-tokoh masyarakat serta aktifis berbagai organisasi di Indonesia, yang selama ini juga sudah menentang politik pemerintah mengenai modal asing (terutama AS).

Dengan menyimak kritik Stiglitz mengenai politik pemerintah Indonesia (sejak 40 tahun, mulai dari Orde Baru yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan berikutnya), maka kelihatan bahwa politik mengenai modal asing di Indonesia memang perlu sekali dirubah atau diperbaiki, demi kepentingan rakyat.

Kontrak dengan modal asing perlu di-negosiasi ulang.

Sebagian dari kritik economist terkemuka Stiglitz ini dapat dilihat dalam interrviewnya dengan Tempo, yang disiarkan oleh Tempo Interaktif (16 Agustus 2007), yang antara lain adalah sebagai berikut :

“Pemerintah diminta menegosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat. Joseph E. Stiglitz, pemenang hadiah Nobel, mengatakan, jika pemerintah Indonesia berani melakukan ini maka akan memperoleh keuntungan jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh para investor asing. "Mereka (para perusahaan tambang asing) tahu kok bahwa mereka sedang merampok kekayaan alam negara-negara berkembang," kata Stiglitz dalam wawancara eksklusif dengan Tempo. ”Negosiasi ulang kontrak karya ini juga sangat mungkin dilakukan dengan Freeport McMoran, yang memiliki anak perusahaan PT Freeport Indonesia. Freeport merupakan salah perusahaan tambang terbesar di dunia yang melakukan kegiatan eksplotasi di Papua. ”Stiglitz mencontohkan ketegasan sikap Rusia terhadap Shell. Rusia mencabut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikantongi Shell. Ini karena perusahaan minyak itu didapati melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup dengan melakukan pencemaran lingkungan. "Kalau melanggar undang-undang, ya izinnya harus dicabut dong," kata dia.. ”Seperti ramai diberitakan beberapa waktu lalu, Freeport Indonesia melakukan pencemaran lingkungan di selama mengebor emas dan tembaga di Papua. Namun, kasus ini tidak pernah sampai ke pengadilan. Pemerintah hanya meminta perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu memperbaiki fasilitas pengolahan limbahnya. ”Stiglitz juga menyoroti keberhasilan Bolivia menegosiasi ulang kontrak-kontrak karya dengan para investor asing yang menguasai penambangan minyak dan gas. ”Negara miskin Amerika Latin itu sekarang memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar. "Jika sebelumnya hanya memperoleh keuntungan 18 persen, sekarang sebaliknya mereka yang mendapat 82 persen," ujarnya. Dan para investor asing itu, kata dia, tetap disana. ”Untuk menetralisir tekanan yang muncul dari negara besar seperti Amerika Serikat yang mendukung perusahaan asing secara diam-diam, sepeti ExxonMobil, Stiglitz punya saran. Menurutnya, media massa harus mempublikasikannya. "Masyarakat pasti akan sangat marah ketika mengetahuinya, sehingga kontrak-kontrak itu akan dinegosiasi ulang." ”Ia menyesalkan sikap seorang duta besar Amerika Serikat yang sempat meminta Indonesia menghormati kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi korupsi. Pejabat itu akhirnya diberi posisi manajemen oleh sebuah perusahaan tambang besar asing. "Ketika dia menguliahi Indonesia tentang korupsi, justru dia sedang mempraktekkannya," kata Stiglitz yang enggan menyebut nama pejabat itu. (kutipan dari Tempo Interaktif selesai)


Stiglitz: Indonesia korban globalisasi

Apa yang diutarakan oleh Joseph Stiglitz di atas ini dibkin lebih jelas lagi dengan keterangannya yang lain yang berkaitan dengan pengalaman Argentina, yang juga menolak kebijakan-kebijakan Washington, yang disiarkan oleh harian Bisnis Indonesia tanggal 15 Agustus 2007. Dalam berita di koran tersebut, yang judulnya “Stiglitz: Indonesia korban globalisasi”, berbunyi sebagai berikut :

“ Joseph Stiglitz, peraih hadiah Nobel ekonomi 2001, berpendapat Indonesia adalah korban globalisasi yang masih menghadapi tantangan berat berkaitan dengan kemiskinan, pengangguran dan memacu pertumbuhan ekonomi, sekalipun perekonomian sudah mulai pulih dari krisis 1997/1998.

Selain itu, menurut mantan ekonom berpengaruh di Bank Dunia tersebut, Indonesia juga menghadapi tantangan kerusakan lingkungan akibat kesepakatan investasi yang lebih melindungi kepentingan investor.

"Pertumbuhan ekonomi sudah pulih dari krisis [1997/98], tetapi tidak cukup cepat dalam menciptakan cukup pekerjaan dan mengurangi kemiskinan," tutur pencetus teori informasi asimetris yang mengantarkannya sebagai pemenang hadiah Nobel pada 2001 itu. Stiglitz berbicara dalam diskusi publik sekaligus peluncuran buku Making Globalization Work, yang diselenggarakan Tempo,

Saat ini, level pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh di bawah rata-rata sebelum krisis, yang pernah berada di atas 7% per tahun. Jika Indonesia gagal menerapkan kebijakan sendiri dalam mengelola dampak globalisasi, Stiglitz khawatir persoalan kemiskinan, pengangguran dan dampak lingkungan akan kian memburuk.

Mengambil contoh Argentina, yang juga terpukul krisis ekonomi dan diperburuk kebijakan IMF, pendekatan kebijakan yang berbeda membuat hasil yang berbeda. Argentina berhasil mengatrol pertumbuhan ekonomi rata-rata 8% per tahun setelah krisis.

"Penjelasan atas perbedaan itu adalah, Argentina menolak kebijakan-kebijakan berdasarkan Washington Consensus," Stiglitz menegaskan.

Konsensus Washington adalah paket kebijakan generik yang lazimnya disodorkan IMF dan Bank Dunia dengan mengencangkan ikat pinggang, seperti dianjurkan IMF terhadap Indonesia pascakrisis 1997/1998.Bahkan dengan tidak menganut Konsensus Washington, Argentina mampu membukukan surplus anggaran dan menurunkan angka pengangguran.

Stiglitz melihat negara berkembang yang patuh terhadap Konsensus Washington dengan menerapkan resep IMF dan Bank Dunia-melalui liberalisasi pasar modal- telah terjerumus ke dalam volatilitas pasar, selain terjebak pada kebijakan privatisasi yang korup. (kutipan dari Bisnis Indonesia selesai)


Pengalaman Bolivia dan Argentina

Dengan membaca dua berita yang disiarkan Tempo dan Bisnis Indonesia tersebut di atas, maka kiita bisa mendapat kesan bahwa apa yang diucapkan oleh Joseph Stiglitz ini merupakan kritik yang tajam sekali; bahkan bisa diatakan sebagai “tamparan” yang tidak tanggung-tanggung, bagi berbagai pejabat dan tokoh terkemuka masyarakat, yang sudah menjadikan RI sebagai sapi perahan bagi kepentingan asing, sedangkan ratusan juta penduduk Indonesia telah menderita karena kemiskinan dan kesengsaraan yang berkepanjangan dan 13 juta anak-anak kekurangan makan.

Dengan mengambil contoh pengalaman-pengalaman Bolivia, dan Argentina,yang dapat memperbaiki ekonomi secara radikal dan meningkatkan kehidupan rakyat karena mentrapkan secara berani sikap “tidak tunduk” kepada dikte Washington, maka Stiglitz menganjurkan kepada pejabat-pejabat Indonesia supaya berani mengambil tindakan yang sama atau searah. Ia juga menganjurkan supaya masalah praktek-praktek buruk berbagai perusahaan besar asing ini banyak diangkat dalam media massa di Indonesia, untuk menggugah kemarahan orang banyak terhadap praktek-praktek buruk modal besar asing ini.

Anjuran Stiglitz semacam ini kiranya tepat sekali. Sebab, sejak 1967 (jadi sudah 40 tahun !!!, dan itu jangka waktu yang lama sekali) Orde Baru sudah membuka pintu lebar-lebar kepada banyak perusahaan-perusahaan besar asing untuk mengeruk kekayaan bumi Indonesia secara besar-besaran, seperti Freeport, Exxon, Newmont, Shell dll. Sejak itulah para pejabat rejim militer Orde Baru telah menjadikan Indonesia sebagai klien (langganan) kepentingan AS.

Sekarang makin terbukti bahwa kehadiran perusahaan-perusahaan besar asing dalam bidang-bidang penting perekonomian (di bidang pertambangan, minyak dan gas, agro-alimentaire) di Indonesia menjadikan negara kita sangat tergantung kepada kepentingan luarnegeri, sehingga bangsa dan negara kita kehilangan kemandiriannya. Di samping itu, selama ini sudah terbukti juga bahwa kehadiran perusahaan-perusahaan asing itu telah menjadi sumber korupsi para pejabat tinggi pemerintahan melalui macam-macam penyalahgunaan (ingat, umpamanya, “setoran” Freeport yang besar jumlahnya untuk kerjasama dengan militer di Papua)


Bertolak belakang dengan sikap J. Kalla

Pernyataan Stiglitz mengenai pentingnya Indonesia meninjau kembali perjanjian-perjanjiannya (kontrak karya) dengan maskapai-maskapai besar asing internasional mencerminkan visi dan tuntutan berbagai organisasi di Indonesia, seperti Wahana Lingkungan Hidup, Jaringan Advokasi Tambang, Koalisi Anti Utang, Papernas, Kosortium Pembaruan Agraria, Partai Rakyat Pekerja (dan banyak lainnya). Juga sesuai dengan aspirasi berbagai intelektual dan ormas, yang sudah makin banyak mengangkat suara yang juga makin lama makin keras, sebagai protes mengenai kasus Freeport, Newmont, blok Cepu dll.

Pernyataan Stiglitz ini mencerminkan -- dengan amat jelas! -- sikap yang bertolak-belakang sama sekali dengan sikap yang dipasang Wapres Jusuf Kallla, yang “dengan genderang yang ramai” telah berkunjung ke AS untuk menemui penggede-penggede perusahaan besar AS dan mengundang mereka untuk berinvestasi di Indonesia.

Kritik Stiglitz tentang praktek-praktek perusahaan-perusahaan besar asing (terutama AS) di Indonesia dan anjurannya untuk melawannya merupakan dukungan yang besar sekali kepada semua golongan yang selama ini sudah melakukan berbagai macam aksi untuk menentang perampokan kekayaan negara dan bangsa kita ini.

Berhubung dengan makin bangkitnya kesadaran di kalangan intelektual, mahasiswa, dan pemimpin-pemimpin organisasi di Indonesia tentang kerugian-kerugian bagi negara dan rakyat yang disebabkan oleh modal besar asing, maka bisa diharapkan bahwa kritik tajam dan anjuran Stiglitz seperti tersebut di atas akan lebih menggalakkan perlawanan bersama terhadap akibat-akibat negatif dari globalisasi dan neo-liberalisme.

Sekarang situasi negeri sudah makin menunjukkan bahwa sudah cukuplah kita menjadi bangsa kuli. Kita harus bersama-sama bangkit menjadikan bangsa kita mandiri!

Paris, 22 Agustus 2007
Tulisan ini juga disajikan dalam website http://perso.club-internet.fr/kontak)

15 August, 2007

Mempercayai Indonesia Kita

Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 62, akan jatuh pada tanggal 17 Agustus 2007, saya ingin menikmati hak saya sebagai warga negara untuk berfikir dan menuliskan harapan - harapan saya sebagai pemegang passport yang diterbitkan Negara ini.
Tiga hari yang lalu, seorang tahanan politik era Soeharto yang tinggal di Paris, membuat sebuah tulisan yang dipublish melalui salah satu mailing list, bagaimana dia melihat kualitas kepemimpinan Soeharto dibandingkan dengan Soekarno. Tulisan yang mencerahkan tentang bagaimana menyikapi 17 Agustus, menurut versi beliau, dalam mainstream kepemimpinan. Pagi tadi, sahabat saya, Akhyari yang sedang "menjadi Indonesia" dengan menikmati kunjungannya ke Pulau Sabang, mengirimkan iklan TV yang dipersembahkan perusahaan rokok kretek besar di Kediri menyambut 62 tahun Indonesia. Empat malam yang lalu, Gede, tetangga saya di Sawo Griya Kencana yang menjadi Koordinator panita peringatan HUT RI dilingkungan saya tinggal, mampir kerumah memastikan bahwa saya bisa meminjam LCD kantor untuk nonton bareng film dokumenter tentang bagaimana masyarakat Ambon membangun kembali rasa persaudaraannya pasca kerusuhan, yang akan ditayangkan dalam acara Malam Renungan tanggal 16 Agustus yang akan datang bersama dengan tetangga.
Baliho, spanduk, bendera dan lomba membuat gapura yang disponsori salah satu TV swasta Nasional, adalah pemandangan lain yang kita rasakan minggu - minggu belakangan ini. Semarak dan gegap gempita, menyambut datangnya 17 Agustus 2007. Ada optimisme dan kerelaan untuk berkarya. Sebuah modal dasar untuk menjadi bangsa yang besar. Kita harus bersyukur dan terus memelihara sikap mental yang baik ini, sehingga kita memiliki daya tahan dalam menghadapi sejumlah kesulitan yang kerap terjadi dalam hidup dan kehidupan kita sebagai warga negara.

Bagaimana agar tidak menderita?
Permasalahannya kemudian, sampai kapan kesulitan-kesulitan ini masih harus kita rasakan? Mengapa kita sebagai warga negara yang dikaruniai sumberdaya alam melimpah dan jumlah penduduk yang besar ini, masih saja terus menderita? Sulit mendapatkan beras, kualitas pendidikan yang masih terpuruk, antrian panjang hanya untuk mendapatkan minyak tanah, masih terlihatnya para pengamen jalanan dan pengemis anak, merupakan fakta dan keseharian yang masih lekat dalam mata dan pendengaran kita hingga hari ini. Sementara kita sebagai bangsa sudah merdeka selama 62 tahun? Menurut hemat penulis, ada tiga hal yang harus kita selesaikan bersama agar bangsa ini bisa menjadi besar dan mampu mensejahterakan warganya, artinya tidak lagi menderita, sebagaimana yang telah mampu diberikan oleh Singapura, Brunei Darussalam atau Switzerland, misalnya. Tiga hal dimaksud penulis adalah:

  1. Pembangunan karakter sebagai bangsa yang besar
  2. Keberpihakan kepada kepentingan rakyat dalam arti yang sebenarnya
  3. Penegakan Hukum yang konsisten tanpa pandang bulu dan terus menerus

Pembangunan karakter
Pembangunan karakter bangsa, yang sempat didengungkan oleh Soekarno dengan istilah nation character building jelas merupakan tanggung jawab pemimpin negara, entah itu presiden, Perdana Menteri atau bahkan Raja dan para Emir di belahan Timur Tengah. Kalaupun sulit untuk memberikan kepercayaan ini kepada pemimpin bangsa, ya sudahlah mari kita lakukan untuk masing-masing diri kita. Toh bukankah kita sepakat, bahwa kita adalah pemimpin, setidaknya, untuk diri kita? Sehingga, pada diri kita masing -masing haruslah tersemai karakter orang - orang yang maju. Displin, jujur, kerja keras dan menghargai keberadaan orang lain dengan keanekaragamannya adalah karakter kunci yang harus kita miliki, sejak hari ini dan terus berkembang secara konsisten dimasa yang akan datang. Sehingga karakter kita sebagai warga negara Indonesia, sama dengan karakter warga negara yang sudah maju lainnya. Tidak bisa tidak, jika kita tidak menganggap penting hal ini, kita akan semakin jauh tertinggal dalam percaturan global. Mari kita bayangkan bersama, apa jadinya bangsa ini jika kita tidak menyegerakan karakter ini? Sementara sumber daya alam pasti habisnya, sementara karakter sebagai bangsa yang maju belum atau bahkan tidak pernah terbentuk? Habislah kita dimakan jaman, semoga tidak hanya menjadi catatan sejarah, bahwa pernah ada, suatu masa sebuah bangsa dan Negara yang bernama Indonesia. Seperti pernah tercatatnya menurut sejarah ada kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Pasundan

Keberpihakan kepada kepentingan rakyat
Bangladesh, terharumkan namanya karena memiliki sosok Muhammad Yunus yang secara konsisten berpihak kepada saudaranya yang lemah dan miskin. Uni Eropa dan Amerika, mendapat keuntungan dari perdagangan global karena memberikan proteksi kepada peternak dengan cara memberi subsidi pakan kepada hewan ternaknya. Oprah Winsfrey semakin kaya raya karena senantiasa memberi sesuatu dan membantu memecahkan masalah yang dihadapi mereka yang lemah dan teraniaya. Ibu Dian Al-Mahri, pemilik kawasan dan pendiri Masjid Kubah Emas di kawasan Meruyung, Limo Depok, adalah figur yang sejak dahulu dikenal pemurah kepada orang lain dan terutama jamaah kelompok pengajiannya. Dalam konteks negara, tentu saja keperpihakan itu dapat dicerminkan dalam kebijakan - kebijakan yang dikeluarkannya. Dan yang lebih penting diimplementasikan dalam tataran kerja. Saat ini, rasanya, kebijakan yang berpihak secara sungguh - sungguh untuk kepentingan rakyat yang lemah dan terpinggirkan masih dapat dihitung dengan jari. Itupun masih dapat dicium sebagai indikasi Selebihnya, lebih banyak kebijakan yang dibuat lebih memberikan keuntungan kepada pemilik modan dan warga kaya kebanyakan. Sejumlah contoh diatas, semoga menginspirasi kita semua, apa yang dapat kita berikan kepada orang lain yang lemah yang ada disekitar kita. Anda lah yang paling tahu, apa yang mampu Anda diberikan untuk saudara - saudara yang membutuhkan disekitar kita.

Penegakan Hukum
Saya sedang menikmati dalam diri saya adanya kepercayaan, bahwa aparatur penegak hukum yang dimiliki Republik ini, mulai menunjukkan kualitasnya sebagai penegak hukum yang profesional dan amanah. Tentu belum semuanya berjalan dengan baik dan benar, tetapi perlahan namun pasti, saya mulai disuguhi sejumlah prestasi dibidang ini. Semoga prestasi ini semakin jelas dimasa yang akan datang. Apa yang bisa kita lakukan? Menurut Anda, apa? Bagaimana kalo kita mulai dengan membuang sampah ditempatnya? Atau bekerja dan mengambil jam instirahat sesuai peraturan perusahaan yang kita sepakati untuk kita penuhi dalam kontrak kerja? Yang agak berat mungkin, memenuhi kewajiban kita sebagai pemeluk agama tertentu? Jika, "hukum - hukum dalam skala kecil" tersebut dapat kita tegakkan dalam diri kita masing-masing, saya koq sangat percaya, hukum - hukum besar yang mengatur kehidupan kita akan juga tertata dan terlaksana dengan baik. Mengapa saya yakin? Kalau kita sebagai pribadi terbiasa untuk menaati "hukum- hukum kecil", kita akan punya energi dan keberanian untuk melakukan protes terhadap penyimpangan - penyimpangan yang terjadi pada "hukum - hukum besar". Dalam bahasa sosiologi ini disebut sebagai pressure group, kelompok penekan. Sekumpulan orang yang peduli terhadap hal - hal yang terjadi disekitarnya.


Menurut hemat penulis, jika ketiga hal diatas dapat kita laksanakan dengan sepenuh hati dan sungguh - sungguh dan dalam diri kita masing- masing, kalo kita masih bisa mempercayai Indonesia, sebagai tempat hidup dan berkarya. Kenapa? karena karya 3 stanza yang ditulis W.R Supratman menjadi bukti baru bagaimana sesungguhnya karakter dan sikap dasar manusia Indonesia terhadap bangsa dan negaranya. Cobalah sempatkan waktu untuk menyelaminya dengan sepenuh hati... Indah sekali.

Sekali Merdeka Seharusnya Merdeka Betulan !!

Catatan: Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan yang pernah dimuat dalam blog.friendster penulis

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...