Mengikuti sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh lembaga manajemen tertua di Indonesia, Lembaga Manajemen PPM, yang dibesut dalam rangka memperingati hari ulang tahunnya yang ke empat puluh, merupakan satu kesempatan langka dan membahagiakan. Sejumlah pakar dan birokrat menyempatkan hadir untuk memberi kontribusi pemikiran atas permasalahan bangsa. ”Management & Integritas”, menjadi pilihan masalah yang dianggap paling krusial oleh LPPM, untuk segera dipecahkan. Sehingga, topik ini di perbincangkan untuk didokumentasikan sebagai kontribusi LPPM kepada bangsa. Sejumlah birokrat mulai dari Menteri Perdagangan dan Wakil dari Bappenas, rekan dari KPK, anggota parlemen dan rohaniawan dihadirkan pada sessi pertama. Sementara sessi kedua tidak kalah menariknya, mulai dari pengusaha, pensiunan jendral, lembaga swadaya masyarakat penggiat pemberantasan korupsi, hingga journalist diberi kesempatan pada sessi berikutnya.
Sessi pertama, menorehkan sebuah kesimpulan yang diantaranya dimulai dengan keyword dari Maria E. Pangestu, Mentri Perdagangan: Optimisme, Leadership and Guts. Solusi atas permasalahan bangsa, harus dimulai dengan optimisme. Kita sebagai warga negara harus memiliki optimisme bahwa kita mampu memecahkan dan keluar dari permasalahan.Sikap pesimistis, tidak memiliki tempat bagi sebuah negara yang ingin maju dan telah menjadi ciri masyarakat di negara-negara maju. Leadership, harus dimaknai sebagai keharusan untuk memberikan ’keteladanan’, pemimpin atau birokrat di Indonesia, mulai dari tingkat Presiden hingga Kepala Desa dan Lurah, harus mampu menjadikan dirinya sebagai teladan bagi masyarakat. Tidak pada tempatnyanya lagi, himbauan untuk melakukan sebuah program kerja yang tidak disertai dengan keteladanan. Masyarakat sudah tidak lagi memiliki rasa percaya, atau rendah sekali tingkat kepercayaannya terhadap pemimpinnya jika tidak disertai dengan contoh. Keberanian adalah hal yang juga tidak boleh dilupakan. Pemimpin yang tidak berani membuat keputusan atau pilihan, menjadi beban bagi upaya perbaikan kondisi bangsa. Sehingga, lebih baik berani melakukan sesuatu kemudian salah, dibandingkan dengan hanya diam. Pernyataan lain yang disampaikan oleh beliau, rekan – rekan di Kabinet Indonesia Bersatu, terutama di Depertemen Perdagangan dan Departemen Keuangan, menyadari, bahwa membuat Indonesia menjadi lebh baik, tidak semudah membalikkan telapak tangan, sehingga positioning yang diambil menempatkan diri sebagai ’transition generation’ yang berusaha untuk membuat sejumlah kebijakan yang fundamental untuk dapat dilaksanakan pada generasi berikutnya. Erry Riana Hardjapamekas, Wakil Ketua KPK, lebih memperkuat statement dari Ibu Menteri, dengan mengatakan kepemimpinan seseorang akan efektif jika mampu menerapkan asas manajemen Lead by Example, dalam segala hal. Karena memang berat menjadi pemimpin masyarakat dimasa sekarang. Banyak tuntutan dari masyarakat yang dibebankan dan diharapkan kepada para pemimpinnya. Tidak korup, bekerja keras dengan tetap menjunjung tinggi etika dan martabat, menjadi kualifikasi ideal bagi pemimpin saat ini. Law Enforcement adalah kondisi yang tidak bisa ditawar tawar lagi. Menanggapi, pertanyaan dari peserta yang menyatakan masih ditemukan aturan hukum yang tidak sempurna, sebagai kendala yang dihadapi bangsa, Erry menjawab dengan pernyataan : ”Hukum yang kurang sempurna dengan kualitas penegak hukum yang baik jauh lebih baik dibandingkan dengan hukum yang sempurna tetapi kualitas penegak hukum yang buruk”. Artinya, sepanjang kualitas penegak hukum di Indonesia menjalankan fungsi dan tugasnya dengan amanah, permasalahan yang ada dapat diselesaikan dengan adil. Yang paling menarik dari sessi pertama ini adalah pernyataan dari Dr. Prasetijono Widjojo Malangjoedo, MA Deputy Meneg PPN/ Kepala Bappenas Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan. Dia menyatakan wajar sekali jika sejak tahun 1998 hingga saat ini, arah pembangunan Indonesia dirasakan tidak jelas. Mengapa? sejak di hapuskannya GBHN, pembangunan yang dilaksanakan oleh Presiden, sangat bergantung kepada visi dan misi Presiden terpilih. Padahal kita ketahui, sepanjang periode tersebut, telah terjadi pergantian presiden sebanyak 4 (empat) kali. Karena tidak adanya arah pembangunan nasional yang ingin dicapai dan disahkan oleh Undang - Undang, sehingga seakan akan, apa yang telah dilakukan para Presdien terdahulu, tidak ada yang dirasakan manfaatnya bagi masyarakat secara keseluruhan. Beruntunglah, pada tahun ini telah ditetapkan Undang – Undang No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang ( 2005 -2025). Dengan telah diundangkannya RPJP ini, setiap kepala negara mempunyai kewajiban untuk mematuhinya, tidak bisa lagi membuat priorotas pembangunan berdasarkan kehendak tim atau kabinetnya sendiri. Dinyatakan oleh beliau, bahwa RJPJ ini sangat komprehensif dan telah memuat target – target pembangunan yang dinyatakan dalam MDG’s.
Selepas istirahat makan siang dan Sholat Dzuhur (bagi yang melaksanakan), Diskusi dilanjutkan dengan sessi kedua. Beberapa pointers yang bisa dicatat adalah sebagai berikut. Agus Wijoyo, Letjen (Purn), menjawab pertanyaan dari moderator yang berhubungan dengan bisnis TNI . Menurutnya, harus dipahami terlebih dahulu bahwa bisnis TNI sejatinya untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit yang tidak mampu diberikan Negara karena keterbatasan dana. Namun tujuan mulia ini perlu dijaga agar tidak terjadi conflict of interest . Caranya? Jangan bolehkan prajurit aktif untuk mengelola bisnis TNI. Serahkan tata kelola atau manajemen bisnis kepada para professional yang tidak memiliki kaitan dengan aktivitas keprajuritan, artinya bukan tentara. Karena, nature organisasi tentara yang non profit dan pengabdian, sangat berbeda dengan nature bisnis, yang beroreintasi kepada profit dan keuntungan. Sepanjang asas ini dapat dijaga dengan sebaik-baiknya, menurut dia, tidak perlu membuat Undang – Undang yang mengatur bisnis TNI, apalagi sampai ada pemikiran untuk membuat batasan mengenai jumlah asset yang dapat dikelolanya, hal ini akan memperumit sesuatu yang sederhana. Hal lain yang perlu diperbaiki oleh seluruh lapisan masyarakat untuk dapat menunjukkan jati diri sebagai individu dan bangsa yang memiliki integritas adalah keharusan untuk segera meninggalkan ’budaya instant’. Karena pengaruh budaya inilah yang menyebabkan kita membenarkan praktek praktek yang serba shortcut, tidak memberi apresiasi terhadap proses dan mendewakan result atau hasil. Praktek dan perilaku korup, yang menjamur dimasyarakat, diantara penyebabnya adalah pengaruh budaya instant.
Selanjutnya, Siswono Yudhohusodo, pengusaha, calon Wakil Presiden 2004. Dalam kacamata beliau, kesulitan atau problem hidup yang dialami pengusaha Indonesia tidak kalah beratnya dengan yang dihadapi masyarakat lain. Mengapa? Karena masih banyak kebijakan yang in proper , bahkan beberapa cenderung aneh. Beliau memberi contoh, sebagai peternak sapi yang memiliki ranch di NTB, dia mengatakan untuk membawa sapi yang diternakkan di Sumbawa ke Jakarta, ongkosnya jauh lebih mahal dibandingkan dengan menerbangkan sapi dari Darwin. Padahal jarak Darwin - Jakarta dua kali lebih jauh dibandingkan Jakarta – Sumbawa. Mengapa bisa terjadi? Karena setiap melewati daerah kota perbatasan, akan menghadapi sejumlah pungutan dari Pemda yang dilewati armada yang membawa sapi tersebut. Contoh lain, kebijakan untuk impor komponen kabel membuat Radio pajaknya jauh lebih tinggi dengan pajak impor radio? Bukankah hal ini, tidak memberi motivasi bagi pengusaha untuk membuka pabrik radio yang dapat menciptakan lapangan kerja? Karena menjadi importir jauh lebih murah dibandingkan menjadi produsen radio?. Namun demikian, dengan sikap kenegarawanannya, beliau menyatakan mulai ada sejumlah perbaikan yang terkait dengan pajak, tanpa menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksudkannya. Menurut beliau, ada adagium menarik mengenai kualitas atau model kepemimpinan suatu bangsa ” lebih baik diktator yang baik dibandingkan dengan demokrat yang lemah”. Meskipun begitu, hal ini tidak berarti bahwa beliau menyepakati untuk kembali dipimpin oleh seorang diktator. Ketika kita sudah bersepakat menjadikan negara ini sebagai negara yang demokratis, mari sama – sama kita junjung tinggi dan pelihara komitmen ini. Terhadap kritik yang menyatakan makin banyaknya kalangan pengusaha yang menjadi birokrat atau pemimpin di daerah, baliau menyatakan, sejatinya dunia bisnis atau usaha adalah medan latihan leadership yang paling bagus yang pernah ada. Mengapa? Seorang businessman harus mampu menggerakkan sejumlah keterbatasan potensi yang ada dan berasal dari sumber yang berbeda untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu mencapai keuntungan bisnis secara material. Bukankah hal ini tidak mudah? Disamping itu, Undang – Undang PEMILU PILPRES maupun PILKADA yang saat ini ada, mengharuskan seorang calon memiliki dana yang besar untuk biaya politik. Jadi wajar sekali, makin besar peluang yang dimiliki pengusaha yang memiliki dana untuk maju dalam proses pemilihan PILKADA.
Gagasan menarik lain, datang dari Bambang Harrymurti, journalist. Buat dia, masalah kita sebagai bangsa adalah kesalahan dalam menerapkan insentive dan disinsentive. Meminjam teori militer, jika terjadi perebutan atas suatu wilayah, kalkulasi tentara bilang dari jumlah penduduk yang ada akan terbagi menjadi : 10% mendukung kita, 10% mendukung musuh dan 80% mendukung yang menang. Artinya, pertempuran yang sesungguhnya adalah bagaimana menghadapi 10% penduduk yang mendukung musuh. Begitu kita menang yang 80% akan ikut bersama kita. Nah dalam konteks permasalahan yang ada saat ini,bagaimana mengadopsi teori militer tadi menjadi implementatif dalam kehidupan sosial kita. Kalau kita anggap bahwa 10% warga negara adalah orang – orang yang bersih (beliau menyebutnya sebagai Malaikat) dan 10% yang lainnya adalah warga yang kotor, jahat dan korup (beliau menyebutnya dengan Setan), yang 80% lainnya adalah warga yang ikut – ikutan alias ”membebek” terhadap pertarungan malaikat dengan setan. Mereka bisa menjadi setan atau sebaliknya. Kembali ke teori insentive dan disinsentive, karena salah menerapkannya, maka kita menghadapi masalah dan kualitas manusia seperti yang ada saat. Contoh: ketika terjadi penyerobotan dalam antrian lalu lintas, yang menyerobot, oleh Pak Polisi justru dimasukkan dalam antrian, bukan dipaksa untuk kembali ke titik dimana mereka menyerobot. Akibatnya apa? Semua orang berlomba-lomba untuk menyerobot, karena pada akhirnya mereka akan tetap berada dalam antrian didepan, dari yang disalipnya. Meskipun ulah yang telah dilakukannya menyebabkan kemacetan dimana-mana. Coba jika treatment tadi tidak diberikan oleh Pak Polisi, tentu mereka yang menyerobot akan jera, karena percuma saja menyerobot karena pada akhirnya harus kembali ke belakang. Ada banyak penerapan insentive dan disinsentive yang salah. Termasuk dalam fenomena ”kebocoran” ujian nasional yang baru-baru ini terungkap secara nasional.
Penutup
Mengakhiri sessi diskusi selama satu hari, moderator dan pemandu acara yaitu Teguh Setyawan Usis dan Bramantyo Djohanputro, menyampaikan statement yang paling substansial diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan bangsa adalah kualitas kepemimpinan pada diri setiap orang Indonesia, terutama yang sedang memangku jabatan publik. Mereka harus memiliki integritas dan intelektualitas tinggi sekaligus. Reformasi birokrasi adalah agenda yang seharusnya lebih dipercepat untuk dilakukan agar daya saing Indonesia sebagai sebuah Negara, mampu berkompetisi dalam memberikan layanan kepada publik termasuk publik Internasional secara cepat, tepat dan hemat.
Sessi pertama, menorehkan sebuah kesimpulan yang diantaranya dimulai dengan keyword dari Maria E. Pangestu, Mentri Perdagangan: Optimisme, Leadership and Guts. Solusi atas permasalahan bangsa, harus dimulai dengan optimisme. Kita sebagai warga negara harus memiliki optimisme bahwa kita mampu memecahkan dan keluar dari permasalahan.Sikap pesimistis, tidak memiliki tempat bagi sebuah negara yang ingin maju dan telah menjadi ciri masyarakat di negara-negara maju. Leadership, harus dimaknai sebagai keharusan untuk memberikan ’keteladanan’, pemimpin atau birokrat di Indonesia, mulai dari tingkat Presiden hingga Kepala Desa dan Lurah, harus mampu menjadikan dirinya sebagai teladan bagi masyarakat. Tidak pada tempatnyanya lagi, himbauan untuk melakukan sebuah program kerja yang tidak disertai dengan keteladanan. Masyarakat sudah tidak lagi memiliki rasa percaya, atau rendah sekali tingkat kepercayaannya terhadap pemimpinnya jika tidak disertai dengan contoh. Keberanian adalah hal yang juga tidak boleh dilupakan. Pemimpin yang tidak berani membuat keputusan atau pilihan, menjadi beban bagi upaya perbaikan kondisi bangsa. Sehingga, lebih baik berani melakukan sesuatu kemudian salah, dibandingkan dengan hanya diam. Pernyataan lain yang disampaikan oleh beliau, rekan – rekan di Kabinet Indonesia Bersatu, terutama di Depertemen Perdagangan dan Departemen Keuangan, menyadari, bahwa membuat Indonesia menjadi lebh baik, tidak semudah membalikkan telapak tangan, sehingga positioning yang diambil menempatkan diri sebagai ’transition generation’ yang berusaha untuk membuat sejumlah kebijakan yang fundamental untuk dapat dilaksanakan pada generasi berikutnya. Erry Riana Hardjapamekas, Wakil Ketua KPK, lebih memperkuat statement dari Ibu Menteri, dengan mengatakan kepemimpinan seseorang akan efektif jika mampu menerapkan asas manajemen Lead by Example, dalam segala hal. Karena memang berat menjadi pemimpin masyarakat dimasa sekarang. Banyak tuntutan dari masyarakat yang dibebankan dan diharapkan kepada para pemimpinnya. Tidak korup, bekerja keras dengan tetap menjunjung tinggi etika dan martabat, menjadi kualifikasi ideal bagi pemimpin saat ini. Law Enforcement adalah kondisi yang tidak bisa ditawar tawar lagi. Menanggapi, pertanyaan dari peserta yang menyatakan masih ditemukan aturan hukum yang tidak sempurna, sebagai kendala yang dihadapi bangsa, Erry menjawab dengan pernyataan : ”Hukum yang kurang sempurna dengan kualitas penegak hukum yang baik jauh lebih baik dibandingkan dengan hukum yang sempurna tetapi kualitas penegak hukum yang buruk”. Artinya, sepanjang kualitas penegak hukum di Indonesia menjalankan fungsi dan tugasnya dengan amanah, permasalahan yang ada dapat diselesaikan dengan adil. Yang paling menarik dari sessi pertama ini adalah pernyataan dari Dr. Prasetijono Widjojo Malangjoedo, MA Deputy Meneg PPN/ Kepala Bappenas Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan. Dia menyatakan wajar sekali jika sejak tahun 1998 hingga saat ini, arah pembangunan Indonesia dirasakan tidak jelas. Mengapa? sejak di hapuskannya GBHN, pembangunan yang dilaksanakan oleh Presiden, sangat bergantung kepada visi dan misi Presiden terpilih. Padahal kita ketahui, sepanjang periode tersebut, telah terjadi pergantian presiden sebanyak 4 (empat) kali. Karena tidak adanya arah pembangunan nasional yang ingin dicapai dan disahkan oleh Undang - Undang, sehingga seakan akan, apa yang telah dilakukan para Presdien terdahulu, tidak ada yang dirasakan manfaatnya bagi masyarakat secara keseluruhan. Beruntunglah, pada tahun ini telah ditetapkan Undang – Undang No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang ( 2005 -2025). Dengan telah diundangkannya RPJP ini, setiap kepala negara mempunyai kewajiban untuk mematuhinya, tidak bisa lagi membuat priorotas pembangunan berdasarkan kehendak tim atau kabinetnya sendiri. Dinyatakan oleh beliau, bahwa RJPJ ini sangat komprehensif dan telah memuat target – target pembangunan yang dinyatakan dalam MDG’s.
Selepas istirahat makan siang dan Sholat Dzuhur (bagi yang melaksanakan), Diskusi dilanjutkan dengan sessi kedua. Beberapa pointers yang bisa dicatat adalah sebagai berikut. Agus Wijoyo, Letjen (Purn), menjawab pertanyaan dari moderator yang berhubungan dengan bisnis TNI . Menurutnya, harus dipahami terlebih dahulu bahwa bisnis TNI sejatinya untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit yang tidak mampu diberikan Negara karena keterbatasan dana. Namun tujuan mulia ini perlu dijaga agar tidak terjadi conflict of interest . Caranya? Jangan bolehkan prajurit aktif untuk mengelola bisnis TNI. Serahkan tata kelola atau manajemen bisnis kepada para professional yang tidak memiliki kaitan dengan aktivitas keprajuritan, artinya bukan tentara. Karena, nature organisasi tentara yang non profit dan pengabdian, sangat berbeda dengan nature bisnis, yang beroreintasi kepada profit dan keuntungan. Sepanjang asas ini dapat dijaga dengan sebaik-baiknya, menurut dia, tidak perlu membuat Undang – Undang yang mengatur bisnis TNI, apalagi sampai ada pemikiran untuk membuat batasan mengenai jumlah asset yang dapat dikelolanya, hal ini akan memperumit sesuatu yang sederhana. Hal lain yang perlu diperbaiki oleh seluruh lapisan masyarakat untuk dapat menunjukkan jati diri sebagai individu dan bangsa yang memiliki integritas adalah keharusan untuk segera meninggalkan ’budaya instant’. Karena pengaruh budaya inilah yang menyebabkan kita membenarkan praktek praktek yang serba shortcut, tidak memberi apresiasi terhadap proses dan mendewakan result atau hasil. Praktek dan perilaku korup, yang menjamur dimasyarakat, diantara penyebabnya adalah pengaruh budaya instant.
Selanjutnya, Siswono Yudhohusodo, pengusaha, calon Wakil Presiden 2004. Dalam kacamata beliau, kesulitan atau problem hidup yang dialami pengusaha Indonesia tidak kalah beratnya dengan yang dihadapi masyarakat lain. Mengapa? Karena masih banyak kebijakan yang in proper , bahkan beberapa cenderung aneh. Beliau memberi contoh, sebagai peternak sapi yang memiliki ranch di NTB, dia mengatakan untuk membawa sapi yang diternakkan di Sumbawa ke Jakarta, ongkosnya jauh lebih mahal dibandingkan dengan menerbangkan sapi dari Darwin. Padahal jarak Darwin - Jakarta dua kali lebih jauh dibandingkan Jakarta – Sumbawa. Mengapa bisa terjadi? Karena setiap melewati daerah kota perbatasan, akan menghadapi sejumlah pungutan dari Pemda yang dilewati armada yang membawa sapi tersebut. Contoh lain, kebijakan untuk impor komponen kabel membuat Radio pajaknya jauh lebih tinggi dengan pajak impor radio? Bukankah hal ini, tidak memberi motivasi bagi pengusaha untuk membuka pabrik radio yang dapat menciptakan lapangan kerja? Karena menjadi importir jauh lebih murah dibandingkan menjadi produsen radio?. Namun demikian, dengan sikap kenegarawanannya, beliau menyatakan mulai ada sejumlah perbaikan yang terkait dengan pajak, tanpa menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksudkannya. Menurut beliau, ada adagium menarik mengenai kualitas atau model kepemimpinan suatu bangsa ” lebih baik diktator yang baik dibandingkan dengan demokrat yang lemah”. Meskipun begitu, hal ini tidak berarti bahwa beliau menyepakati untuk kembali dipimpin oleh seorang diktator. Ketika kita sudah bersepakat menjadikan negara ini sebagai negara yang demokratis, mari sama – sama kita junjung tinggi dan pelihara komitmen ini. Terhadap kritik yang menyatakan makin banyaknya kalangan pengusaha yang menjadi birokrat atau pemimpin di daerah, baliau menyatakan, sejatinya dunia bisnis atau usaha adalah medan latihan leadership yang paling bagus yang pernah ada. Mengapa? Seorang businessman harus mampu menggerakkan sejumlah keterbatasan potensi yang ada dan berasal dari sumber yang berbeda untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu mencapai keuntungan bisnis secara material. Bukankah hal ini tidak mudah? Disamping itu, Undang – Undang PEMILU PILPRES maupun PILKADA yang saat ini ada, mengharuskan seorang calon memiliki dana yang besar untuk biaya politik. Jadi wajar sekali, makin besar peluang yang dimiliki pengusaha yang memiliki dana untuk maju dalam proses pemilihan PILKADA.
Gagasan menarik lain, datang dari Bambang Harrymurti, journalist. Buat dia, masalah kita sebagai bangsa adalah kesalahan dalam menerapkan insentive dan disinsentive. Meminjam teori militer, jika terjadi perebutan atas suatu wilayah, kalkulasi tentara bilang dari jumlah penduduk yang ada akan terbagi menjadi : 10% mendukung kita, 10% mendukung musuh dan 80% mendukung yang menang. Artinya, pertempuran yang sesungguhnya adalah bagaimana menghadapi 10% penduduk yang mendukung musuh. Begitu kita menang yang 80% akan ikut bersama kita. Nah dalam konteks permasalahan yang ada saat ini,bagaimana mengadopsi teori militer tadi menjadi implementatif dalam kehidupan sosial kita. Kalau kita anggap bahwa 10% warga negara adalah orang – orang yang bersih (beliau menyebutnya sebagai Malaikat) dan 10% yang lainnya adalah warga yang kotor, jahat dan korup (beliau menyebutnya dengan Setan), yang 80% lainnya adalah warga yang ikut – ikutan alias ”membebek” terhadap pertarungan malaikat dengan setan. Mereka bisa menjadi setan atau sebaliknya. Kembali ke teori insentive dan disinsentive, karena salah menerapkannya, maka kita menghadapi masalah dan kualitas manusia seperti yang ada saat. Contoh: ketika terjadi penyerobotan dalam antrian lalu lintas, yang menyerobot, oleh Pak Polisi justru dimasukkan dalam antrian, bukan dipaksa untuk kembali ke titik dimana mereka menyerobot. Akibatnya apa? Semua orang berlomba-lomba untuk menyerobot, karena pada akhirnya mereka akan tetap berada dalam antrian didepan, dari yang disalipnya. Meskipun ulah yang telah dilakukannya menyebabkan kemacetan dimana-mana. Coba jika treatment tadi tidak diberikan oleh Pak Polisi, tentu mereka yang menyerobot akan jera, karena percuma saja menyerobot karena pada akhirnya harus kembali ke belakang. Ada banyak penerapan insentive dan disinsentive yang salah. Termasuk dalam fenomena ”kebocoran” ujian nasional yang baru-baru ini terungkap secara nasional.
Penutup
Mengakhiri sessi diskusi selama satu hari, moderator dan pemandu acara yaitu Teguh Setyawan Usis dan Bramantyo Djohanputro, menyampaikan statement yang paling substansial diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan bangsa adalah kualitas kepemimpinan pada diri setiap orang Indonesia, terutama yang sedang memangku jabatan publik. Mereka harus memiliki integritas dan intelektualitas tinggi sekaligus. Reformasi birokrasi adalah agenda yang seharusnya lebih dipercepat untuk dilakukan agar daya saing Indonesia sebagai sebuah Negara, mampu berkompetisi dalam memberikan layanan kepada publik termasuk publik Internasional secara cepat, tepat dan hemat.