Dinamika dan political game pada kontestasi
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 – 2019, minggu ini semakin tinggi tensinya dan
akan terus naik hingga hari pemilihan, 9 Juli yang akan datang. Mulai dari negative
campaign hingga black campaign, memenuhi ruang - ruang baca kita melalui berbagai sumber dan tersimpan
dalam memori kita akhir – akhir ini untuk (terpaksa) diketahui. Bagi mereka yang kurang
tertarik pada politik akan relative mudah untuk tidak aware terhadap issue –
issue yang berkembang dengan langsung mendelete ataun lebih ekstrem, tidak membacanya sama sekali. Namun, bagi mereka yang peduli, tentu maraknya informasi
yang tendensius harus dibaca secara hati-hati untuk memastikan bahwa informasi
yang diterima tidak sesat dan menyesatkan dengan harapan pilihan akhir ketika masuk ke bilik suara, kandidat yang dipilih menjadi pilihan
terbaik yang dapat membawa kita kepada masyarakat yang Adil, Makmur dan Sejahtera.
Kematangan berpolitik dan self control of awareness atas [seakan
– akan] terjadi perbedaan - perbedaan tajam antara dua
kontenstan selama proses kontestasi ini, sayangnya masih berada dilevel elite.
Sementara masa akar rumput, kadang terbius dan terbawa secara emosional
kepada level yang paling dalam. Kondisi
inilah yang menjadi kekhawatiran saya, jika black
campaign menjadi tidak terkendali. Dia
berpotensi menjadi pemicu terbelahnya
masyarakat secara luas, sementara kita
sebagai bangsa, sedang memerlukan semangat
dan wujud Kesatuan dan Keutuhan sebagai Bangsa.
Dalam dialog imajiner dengan diri
sendiri, sekiranya Pilpres ini berakhir dengan kemenangan significant, katakanlah selisih antara
10 -12 % untuk pasangan Prabowo – Hatta,
kehidupan politik, ekonomi dan sosial kita akan berada pada level paling ideal. Selisih
angka tersebut, menurut saya “aman” untuk menghindari potensi konflik
dikalangan akar rumput yang berpotensi mendelegitimasi
hasil Pilpres jika selisih hasil akhirnya beda tipis.
Mengapa Kita Memilih Siapa ?
- Bagi mereka yang selama ini ngefans dan memberikan jempol kepada leadership style-nya Pak Jokowi, beliau akan kembali menduduki kursi DKI-1, sehingga kita akan bersama-sama menikmati hasil kerjanya 3,5 tahun kedepan. Artinya, beliau akan tetap menjadi media darling, kita nggak akan mencari-cari sedang apa dia dan dimana dia? Pesta perayaan akhir tahun, tetap akan dirayakan secara meriah di jalan – jalan ibukota. Beliau masih cocok dan pas untuk melakukan blusukan menyelesaikan masalah dan menjawab kebutuhan masyarakat DKI Jakarta. Sejumlah program kerja dan janji – janji kampanyenya akan kita saksikan satu per satu terlaksana dan akan kita nikmati. Sehingga, keberhasilan menata Jakarta menjadi “Jakarta Baru” akan bernilai 10, karena semuanya direalisasikan yang selanjutnya akan menjadi modal politik yang sangat berharga, jika beliau maju dalam Pilpres di tahun 2019. Tidak ada yang kehilangan dan tidak ada yang dirugikan.
- Sementara buat mereka yang sudah jauh – jauh hari mendukung Pak Prabowo untuk menjadi Presiden, akan memiliki “harapan baru” akan leadership yang berbeda dengan gaya kepemimpinan Pak Soesilo Bambang Yudhoyono, Presiden kita yang telah bekerja keras selama 10 tahun belakangan ini. Hadirnya kepemimpinan gaya Prabowo, akan menjadi energy baru untuk menggerakkan kembali semangat patriotisme dan level keberpihakan kepada Bangsa sendiri. Dengan persiapan dan keinginan untuk menjadi Pemimpin Nasional sejak 10 (sepuluh) tahun lalu, katakanlah sejak berpasangan dengan Ibu Megawati, pada Pilpres sebelumnya, hal ini membuktikan bagaimana persiapan detail telah dilakukannya dengan sangat baik. Secara politik, hal ini terbukti dengan berhasilnya Partai Gerindra yang dipelopori pendiriannya oleh beliau, mampu meraih hasil yang significant pada Pemilihan Anggota Legislatif pada tahun ini. Secara politik, beliau telah berhasil menunjukkan kualitas kepemimpinannya apalagi jika dipadukan dengan sejumlah prestasinya ketika aktif di TNI. Karena kita tahu, pasti berbeda gayanya dengan Pak Jokowi, sehingga kita akan mencium aroma udara yang berbeda, antara leadership di Jakarta dengan tingkat Nasional dan ini akan bagus.
Sehingga, semua putra-putra
terbaik bangsa, akan kembali bekerja keras sesuai dengan formasi dan
kompetensinya masing-masing. Pak Jusuf Kalla (JK), kembali menjadi Ketua PMI
yang penuh dengan terobosan dan ilmu-ilmu manajemen baru untuk sebuah
organisasi kemanusiaan. Hal ini akan dicatat dalam sejarah Palang Merah
Indonesia, dimana akses untuk mendonor semakin mudah dan dekat dengan
masyarakat, modernisasi dan kelengkapan peralatan pendukung operasional
penanggulangan bencana semakin banyak dan canggih.
Begitu juga dengan Pak Hatta,
dengan telah mengundurkan diri sebagai Menko Perekonomian dan menjadi terpilih menjadi Wakil Presiden, beliau
akan kembali bekerja dan memiliki kesempatan lebih besar untuk mengimplementasikan
pengalaman di birokrasinya selama kurang lebih 14 tahun belakangan ini untuk
kepentingan kita bersama. Mengapa Pak Hatta? karena Pak Jusuf Kalla sudah pernah kita
ketahui prestasinya selama menjadi Wakil Presiden. Kita tahu bagaimana beliau
mampu dengan cepat dan tepat menyelesaikan konflik Aceh dan Poso secara damai.
Sebagai mantan Wakil Presiden,
mantan Ketua Umum Partai Golkar, tentu beliau memiliki tanggung jawab yang
besar untuk melakukan proses kaderisasi
kepemimpinan di tingkat nasional, memberikan kesempatan kepada generasi penerusnya untuk membuktikan
kualitas kepemimpinannya agar terjadi kesinambungan. Pak JK dan Pak Hatta,
pernah bersama- sama dalam Kabinet, artinya, ilmu – ilmu dari Pak JK yang
diserap Pak Hatta, perlu
diimplementasikan dan itu perlu media untuk mengimplementasikannya. Sehingga,
kursi Wakil Presiden itu, sudah sepantasnya diberikan kepada generasi yang
lebih muda, lebih bugar.
Disinilah letak ideal dan
terbaik yang diharapkan menjadi akhir dari proses
kontestasi Pilpres di tahun 2014 ini. Pada akhirnya, kita harus bersabar dan memberi kesempatan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk menentukan pilihannya. Wallahu’alam Bishawab.
No comments:
Post a Comment