2008 M, memasuki hari ke empat belas dan 1429 H, berbilang hari kelima. Mengingat banyak resolusi sudah diucapkan dalam hati, kala menghadiri Dzikir Nasional di Masjid At-Tiin di TMII 30 Desember 2007, ternyata sejumlah fenomena semakin banyak terjadi melampaui kecepatan resolusi yang hendak dilakukan. Tentu saja hal ini membuat sejumlah resolusi memerlukan penguatan dan komitmen yang lebih keras untuk dapat dilaksanakan agar diakhir tahun 2008, menuai sukses dan perasaan yang jauh lebih syukur atas karunia yang telah diberikan Allah SWT.
Pertama,
Pak Harto, mengalami masa kritis terburuk menurut catatan kesehatan, yang dapat direkam oleh Tim Kesehatan Kepresidenan R.I. Ada beberapa catatan yang tersisa untuk hal ini, pertama, salut dan bangga, orang sehebat Pak Harto, istiqomah, mempercayakan kesehatannya kepada dokter-dokter dan rumah sakit Indonesia. Sebuah teladan yang baik, bahwa dokter dan rumah sakit Indonesia mampu memberikan pelayanan dan pengobatan prima terhadap kebutuhan kesehatan beliau. Catatan kedua, terlepas dari kondisi yang sedang dihadapi, rasanya kita harus balas teladan dari beliau, dengan segera menunjukkan bahwa Indonesia juga mampu, menyelesaikan permasalahan hukum yang masih menggantung terhadap diri beliau. Segera tentukan -lewat pengadilan tentu saja- kesalahan - kesalahan beliau dimasa lalu dengan jelas dan tegas, sebenderang keberanian kita untuk mengapresiasi prestasi beliau. Setelah jelas permasalahan yang menjadi tuntutan sebagian masyarakat, beberapa yang dapat disebutkan: Tragedi semanggi I dan II, Peristiwa Tanjungpriok, G-30 S/PKI, Tragedi Lampung dan Penculikan sejumlah aktivis mahasiswa, kenapa tidak atas nama keluarga, memenuhi tuntutan para korban tersebut dan melakukan sejumlah kompensasi-kompensasi yang wajar. Segera setelah itu dilakukan, insyaallah, sebagai manusia yang beriman dan berbudi luhur yang dimiliki bangsa ini, rasa maaf itu akan keluar dari para Ibu, suami, istri dan siapa saja yang dirugikan atas tindakan dan kebijakan yang bisa jadi, terpaksa dilakukan untuk sebuah alasan yang bernama stabilitas dan kelanggengan kekuasaan. Insyaallah, jika lebih banyak rakyat yang memaafkan dibandingkan dengan yang masih merasa dikorbankan selama kepemimpinan beliau, ending dari kondisi kesehatan yang menyedot perhatian publik inipun akan segera kita ketahui. Saya jadi ingat cerita dari Pak Ustadz, mengenai Alqomah, sahabat Nabi Muhammad yang mengalami sakaratul maut maha dahsyat, karena belum mendapat ridho dari Ibunya.
Kedua,
Saya harus kehilangan sahabat, Wachyuni Mustani, yang telah menemani saya bekerja di Indonesia Business Links. Karena keinginan untuk bekerja ditempat lain, apa yang sudah kami kerjakan bersama dan berjalan dengan baik, harus saya lakukan dengan cara mencari pengganti yang harus kembali dicari melalui sejumlah proses rekruitmen. Tidak mudah memang, membangun teamwork yang solid dan percaya kepada visi serta misi organisasi yang terinternalisasi kedalam keyakinan diri melalui keikhlasan untuk berinvesatasi waktu, menjalani hari yang penuh tantangan. Godaan akan kepastian pekerjaan, rasa aman terhadap masa depan , adalah harga yang harus dibayar untuk sebuah idealisme. Itu adalah pilihan. Semoga apa yang menjadi harapan Yuni ditempat yang baru, mendapatkan kesejatiannya dalam memaknai arti hidup dalam bentuk pengabdian yang disebut bekerja.
Saya, harus mencari sahabat dan rekan kerja baru. Saya percaya orang itu akan dikirimkam Tuhan untuk memenuhi keyakinan akan apa yang saya lakukan adalah benar dan akan memberi manfaat terbesar bagi negeri ini.
Ketiga,
Hudaya Aslam dan Reflizar, dua orang sahabat dan senior saya, mengalami kecelakan lalu lintas hebat di KM 44, tol Jagorawi. Sehari setelahnya, Jum'at tanggal 11 Januari 2008, saya berkesempatan untuk menjenguknya di RS MH. Thamrin, Ruang Krisan ruang 364. Sejumlah senior dari Universitas Padjadjaran pun, alhamdulillah berkesempatan datang untuk memberikan dukungan, agar keduanya beserta keluarga, mendapatkan kemudahan dan kesabaran dalam melampaui ujian ini. Pertemuan dengan sejumlah senior yang kebetulan sebagian besarnya adalah aktivis mahasiswa pada jamannya, mendatangkan romantisme dan kenangan atas sejumlah peristiwa yang sempat terjadi dan dilewati bersama. Pertemuan tersebut, tentu saja, menjadi cara Tuhan, untuk sekedar mengingatkan saya, atas sejumlah resolusi yang pernah saya ucapkan pada tahun - tahun lampau, ketika masih menempuh studi di Bandung.
Semoga, tiga kejadian yang diluar kemampuan saya untuk mengkalkulasinya, ketika resolusi personal saya ucapkan ditahun 2008 ini, menjadi bukti yang semakin nyata, bahwa tidak semua yang kita inginkan dapat terlaksana dan sebaliknya tidak bisa menolak hal - hal yang tidak kita inginkan.
"Keberanian untuk membuat cita-cita yang tinggi harus diiringi dengan sejumlah kompromi dan keikhlasan terhadap perubahan- perubahan yang terjadi dalam hidup"