Kemandirian Bangsa, menjadi tema sentral obrolan saya bersama dengan Pak Ahmad Siregar, dalam penerbangan GA 179 dari Medan menuju Jakarta pada hari Selasa 24 April lalu. Saya kembali ke Jakarta dari kegiatan Workshop Business Ethics di Fakultas Ekonomi USU bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, beliau kembali dari menjenguk ibundanya di Padang Sidempuan yang sedang mengalami sakit karena pengapuran (osteoporosis).
Diawali obrolan ringan, ketika pramugari menawarkan hidangan untuk santap malam, akhirnya sejurus kegelisahan, impian dan harapan dari dokter mata yang bertugas di RS Persahabatan Jakarta , mengalir cepat tentang gemasnya dia terhadap nasib dan perkembangan bangsa ini. Ucapan retorik berupa pertanyaan kenapa kita tidak bisa menjadi bangsa yang maju dan disegani? Menjadi kalimat kunci yang membuat kami terlibat dalam bentuk obrolan ”bapak dengan anak” sarat dengan pesan dan harapan, dibeberapa bagian memang berupa lecutan dengan kalimat satire, ala ”Naga Bonar jadi 2”. Kenapa kita tidak bisa menjadi bangsa yang maju dan disegani? Menurutnya karena kita tidak serius untuk menguasai teknologi. Bandingkan dengan Malaysia dan India, memperkuat alasan dia. ”Bayangkan Mas, saat ini, alat – alat kedokteran mata, sudah banyak yang made in India, mulai dari alat operasi hingga lensa mata, selain bagus, murah lagi jika dibandingkan dengan buatan Amerika sekalipun”, imbuhnya dengan sorot mata yang berbinar. Malaysia, dengan proyek prestisius "Malaysia Super Koridor " seperti juga India, jauh jauh hari sudah membangun kawasan yang mirip dengan Sillicon Valey, milik Negeri Paman Sam. Karena pilihan strategis tersebut, kedua bangsa ini, mendapat pengakuan sebagai bangsa yang bergerak maju dan tentu saja berhak dihormati di dunia. ”Kita, tidak bisa selamanya menjadi bangsa ”pedagang”, yang hanya mampu menjual komoditi yang telah diberikan Tuhan. ”Dagang kayu gelondongan, jual batu bara , emas dan timah yang sudah ada dari sananya dan pasti habis, Gak ada hebatnya itu!”, tambahnya. Buat dia, penguasaan teknologi ini harus dimulai dengan keseriusan kita untuk mampu membuat ”Mobil Nasional”. Sejak tahun 1970, dia berangan – angan ingin memiliki mobil, made in Indonesia. Begitu kita mampu membuat mesin –mesin mobil sendiri maksudnya- menurut hemat dia, akan menjadi lokomotif, bagi tumbuh dan berkembangnya sejumlah industri dibidang lain. Dan...masih dalam kepercayaannya, ini akan menjadi simbol kejayaan dan kebanggaan Nasional, itu jauh lebih penting dan tak ternilai harganya. Kebanggaan akan produk negeri sendiri. Wajar saja dia geram dengan matinya ”PERKASA”, merk truck yang diproduksi oleh Marimutu Sinivashan, yang sebenarnya mulai muncul sebagai alternative sarana transportasi jenis truck yang membanggakan. Dia sempat membayangkan, kalo sudah mampu membuat truck dan sempat diimpor ke Jordania, tentu tidak sulit untuk membuat kendaraan keluarga dan bahkan kendaraan lapis baja sekalipun. Ada beberapa alasan kenapa kita tidak pernah mau untuk menguasai setidaknya, sebuah teknologi saja, yang kembali dia tegaskan berupa, mesin mobil.
Kemandirian ! Sebagai bangsa, kita perlu pemimpin yang memiliki visi dan keberanian untuk menjadi bangsa yang mandiri. Sehingga, tidak terlalu rentan terhadap tekanan atau ancaman Negara lain. Kemandirian ini, harus dimulai dari kemandirian ekonomi, tanpa kemandirian ekonomi, sulit rasanya bagi kita untuk meningkatkan posisi tawar kita kepada bangsa lain. Struktur APBN yang masih banyak dialokasikan untuk membayar hutang, membuat kita tidak bisa memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai kepada warga bangsa. Disamping itu, tingginya hutang luar negeri ini memperlemah daya tawar pemerintah Indonesia untuk memikirkan dan melaksanakan apa yang mau dikerjakannya sendiri. Mengapa? Karena segala sesuatunya, disadari atau pura – pura tidak disadari, pasti akan diintervensi oleh Negara pemberi hutang. Apalagi mengerjakan sesuatu yang memiliki potensi untuk menjadi pesaing. Kita tidak bisa mengembangkan industri otomotif, karena pasti akan dilarang atau setidaknya dipersulit oleh Jepang, sebagai Negara yang memang sangat diuntungkan dengan posisi Indonesia sebagai pasar potensial bagi industri otomotifnya, baik roda dua maupun roda empat. Sehingga, akan dengan sangat mudah bagi kita untuk menyebut dan mengingat merk Honda, Suzuki, Yamaha, Daihatsu, Kawasaki sebagai moda transportasi kita, dibandingkan dengan Kanzen, misalnya. Contoh yang lain, bagaimana familiarnya kita dengan merk Nokia, Samsung, SonyEricson dibandingkan dengan Nexian, untuk telepon genggam.
Selain sikap mandiri, sifat berikutnya yang diperlukan untuk bisa maju, tumbuh dan berkembang adalah rela berkorban. Kerelaan kita sebagai manusia Indonesia yang mau berkorban untuk sesuatu yang membuat kita maju dan merdeka dari penindasan dan penjajahan, entah kenapa semakin memudar jika dibandingkan dengan generasi terdahulu. Saya tidak mampu menjawab pertanyaan dari pak dokter yang sesekali main golf beersama koleganya ini. Saya cukup puas untuk mendengarkan sejumlah cerita yang dipaparkannya mengenai sikap mau berkorban tersebut. Masih menurut dia, berkorban untuk kepentingan bersama yang jauh lebih besar, tidak akan bisa dipersembahkan oleh rakyat Indonesia, ketika para pemimpinnya tidak memberi contoh bagaimana harus berkorban? Borosnya anggaran untuk hal- hal yang sifatnya seremonial dan sekedar unjuk kewibawaan semu, menjadi atribut standard para pemimpin kita dilevel apapun. Iring-iringan kendaraan yang berlebihan ketika para pemimpin hendak mengunjungi suatu tempat, menjadi fenomena lazim, yang bahkan di Negara pulau yang kaya raya seperti Singapura sekalipun ini tidak dilakukan. Saya jadi teringat, ketika tahun 1995, berkesempatan menjadi salah satu peserta The Friendship Programme for the 21st Century yang didanai oleh JICA (Japan for International Cooperation Agency) . Salah satu rangkaian kegiatan tersebut adalah mengunjungi pusat rehabilitasi dan rekreasi bagi para Manula di Tokushima, sebuah prefektur di Negeri Sakura. Acara tersebut diawali dengan dialog dengan Pak Walikota. Apa yang menarik? Pak Walikota datang tepat waktu tentu saja dengan sedan warna putih (warna standard kendaraan bagi pejabat pemerintah) dan hanya didampingi oleh satu orang yang menjadi driver sekaligus ajudannya. Saya sungguh terpesona dengan apa yang saya lihat dan tentu saya bandingkan dengan Negara dimana saya tinggal. Versi lain yang dikemukanan Pak Siregar, adalah bagaimana pemimpin tertinggi di India, mengkristalisasi kebanggaannya sebagai representasi tertinggi dari sebuah bangsa sekaligus memberi contoh untuk mau berkorban adalah dengan memilih kendaraan produksi India sebagai kendaraan resmi pemerintahannya. Tentu saja kendaraan ini jauh dari nyaman jika dibandingkan dengan merk-merk Eropa yang digunakan oleh para pemimpin kita. Kita, mungkin juga saya, tidak rela berkorban untuk hidup hemat dan mengurangi kenyamanan, demi kepentingan saudara – saudara kita yang seharusnya tidak bernasib kekurangan. Setelah kalimat tersebut ...
Kami terdiam, dan larut kembali dalam bacaan yang kami mulai sebelum sang pramugari mengingatkan untuk santap malam, beliau membaca ”Majalah Al Kisah” dan saya membaca ”25 Ways to Win with People : Buatlah Orang lain Merasa Sangat Berharga” yang ditulis oleh John C Maxwell dan Les Parrot Ph.D.
Akhirnya, dua jam waktu tempuh Medan – Jakarta mendekati tunai ketika kapten penerbangan menyatakan :... take position..., dan mendarat mulus di bandara internasional Soekarno Hatta. Obrolan kemudian, sepanjang turun dari pesawat ke tempat bagasi lebih banyak tentang pekerjaan dan Ibundanya yang sakit. Setelah Bika Ambon ”Zulaikha” dan Bolu Gulung Meranti yang terbang melalui bagasi ada dalam genggaman, kami pun berpisah. Dengan senyum kebapakan dan lambaian tangan dia mengucapkan ”Assalamu’alaikum”, yang saya jawab dengan ucapan ”Wa’alaikum Salam” dengan senyum tak kalah hangat dan kekaguman kepadanya atas obrolan tentang kemandirian yang baru saja terjadi. [*]
Diawali obrolan ringan, ketika pramugari menawarkan hidangan untuk santap malam, akhirnya sejurus kegelisahan, impian dan harapan dari dokter mata yang bertugas di RS Persahabatan Jakarta , mengalir cepat tentang gemasnya dia terhadap nasib dan perkembangan bangsa ini. Ucapan retorik berupa pertanyaan kenapa kita tidak bisa menjadi bangsa yang maju dan disegani? Menjadi kalimat kunci yang membuat kami terlibat dalam bentuk obrolan ”bapak dengan anak” sarat dengan pesan dan harapan, dibeberapa bagian memang berupa lecutan dengan kalimat satire, ala ”Naga Bonar jadi 2”. Kenapa kita tidak bisa menjadi bangsa yang maju dan disegani? Menurutnya karena kita tidak serius untuk menguasai teknologi. Bandingkan dengan Malaysia dan India, memperkuat alasan dia. ”Bayangkan Mas, saat ini, alat – alat kedokteran mata, sudah banyak yang made in India, mulai dari alat operasi hingga lensa mata, selain bagus, murah lagi jika dibandingkan dengan buatan Amerika sekalipun”, imbuhnya dengan sorot mata yang berbinar. Malaysia, dengan proyek prestisius "Malaysia Super Koridor " seperti juga India, jauh jauh hari sudah membangun kawasan yang mirip dengan Sillicon Valey, milik Negeri Paman Sam. Karena pilihan strategis tersebut, kedua bangsa ini, mendapat pengakuan sebagai bangsa yang bergerak maju dan tentu saja berhak dihormati di dunia. ”Kita, tidak bisa selamanya menjadi bangsa ”pedagang”, yang hanya mampu menjual komoditi yang telah diberikan Tuhan. ”Dagang kayu gelondongan, jual batu bara , emas dan timah yang sudah ada dari sananya dan pasti habis, Gak ada hebatnya itu!”, tambahnya. Buat dia, penguasaan teknologi ini harus dimulai dengan keseriusan kita untuk mampu membuat ”Mobil Nasional”. Sejak tahun 1970, dia berangan – angan ingin memiliki mobil, made in Indonesia. Begitu kita mampu membuat mesin –mesin mobil sendiri maksudnya- menurut hemat dia, akan menjadi lokomotif, bagi tumbuh dan berkembangnya sejumlah industri dibidang lain. Dan...masih dalam kepercayaannya, ini akan menjadi simbol kejayaan dan kebanggaan Nasional, itu jauh lebih penting dan tak ternilai harganya. Kebanggaan akan produk negeri sendiri. Wajar saja dia geram dengan matinya ”PERKASA”, merk truck yang diproduksi oleh Marimutu Sinivashan, yang sebenarnya mulai muncul sebagai alternative sarana transportasi jenis truck yang membanggakan. Dia sempat membayangkan, kalo sudah mampu membuat truck dan sempat diimpor ke Jordania, tentu tidak sulit untuk membuat kendaraan keluarga dan bahkan kendaraan lapis baja sekalipun. Ada beberapa alasan kenapa kita tidak pernah mau untuk menguasai setidaknya, sebuah teknologi saja, yang kembali dia tegaskan berupa, mesin mobil.
Kemandirian ! Sebagai bangsa, kita perlu pemimpin yang memiliki visi dan keberanian untuk menjadi bangsa yang mandiri. Sehingga, tidak terlalu rentan terhadap tekanan atau ancaman Negara lain. Kemandirian ini, harus dimulai dari kemandirian ekonomi, tanpa kemandirian ekonomi, sulit rasanya bagi kita untuk meningkatkan posisi tawar kita kepada bangsa lain. Struktur APBN yang masih banyak dialokasikan untuk membayar hutang, membuat kita tidak bisa memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai kepada warga bangsa. Disamping itu, tingginya hutang luar negeri ini memperlemah daya tawar pemerintah Indonesia untuk memikirkan dan melaksanakan apa yang mau dikerjakannya sendiri. Mengapa? Karena segala sesuatunya, disadari atau pura – pura tidak disadari, pasti akan diintervensi oleh Negara pemberi hutang. Apalagi mengerjakan sesuatu yang memiliki potensi untuk menjadi pesaing. Kita tidak bisa mengembangkan industri otomotif, karena pasti akan dilarang atau setidaknya dipersulit oleh Jepang, sebagai Negara yang memang sangat diuntungkan dengan posisi Indonesia sebagai pasar potensial bagi industri otomotifnya, baik roda dua maupun roda empat. Sehingga, akan dengan sangat mudah bagi kita untuk menyebut dan mengingat merk Honda, Suzuki, Yamaha, Daihatsu, Kawasaki sebagai moda transportasi kita, dibandingkan dengan Kanzen, misalnya. Contoh yang lain, bagaimana familiarnya kita dengan merk Nokia, Samsung, SonyEricson dibandingkan dengan Nexian, untuk telepon genggam.
Selain sikap mandiri, sifat berikutnya yang diperlukan untuk bisa maju, tumbuh dan berkembang adalah rela berkorban. Kerelaan kita sebagai manusia Indonesia yang mau berkorban untuk sesuatu yang membuat kita maju dan merdeka dari penindasan dan penjajahan, entah kenapa semakin memudar jika dibandingkan dengan generasi terdahulu. Saya tidak mampu menjawab pertanyaan dari pak dokter yang sesekali main golf beersama koleganya ini. Saya cukup puas untuk mendengarkan sejumlah cerita yang dipaparkannya mengenai sikap mau berkorban tersebut. Masih menurut dia, berkorban untuk kepentingan bersama yang jauh lebih besar, tidak akan bisa dipersembahkan oleh rakyat Indonesia, ketika para pemimpinnya tidak memberi contoh bagaimana harus berkorban? Borosnya anggaran untuk hal- hal yang sifatnya seremonial dan sekedar unjuk kewibawaan semu, menjadi atribut standard para pemimpin kita dilevel apapun. Iring-iringan kendaraan yang berlebihan ketika para pemimpin hendak mengunjungi suatu tempat, menjadi fenomena lazim, yang bahkan di Negara pulau yang kaya raya seperti Singapura sekalipun ini tidak dilakukan. Saya jadi teringat, ketika tahun 1995, berkesempatan menjadi salah satu peserta The Friendship Programme for the 21st Century yang didanai oleh JICA (Japan for International Cooperation Agency) . Salah satu rangkaian kegiatan tersebut adalah mengunjungi pusat rehabilitasi dan rekreasi bagi para Manula di Tokushima, sebuah prefektur di Negeri Sakura. Acara tersebut diawali dengan dialog dengan Pak Walikota. Apa yang menarik? Pak Walikota datang tepat waktu tentu saja dengan sedan warna putih (warna standard kendaraan bagi pejabat pemerintah) dan hanya didampingi oleh satu orang yang menjadi driver sekaligus ajudannya. Saya sungguh terpesona dengan apa yang saya lihat dan tentu saya bandingkan dengan Negara dimana saya tinggal. Versi lain yang dikemukanan Pak Siregar, adalah bagaimana pemimpin tertinggi di India, mengkristalisasi kebanggaannya sebagai representasi tertinggi dari sebuah bangsa sekaligus memberi contoh untuk mau berkorban adalah dengan memilih kendaraan produksi India sebagai kendaraan resmi pemerintahannya. Tentu saja kendaraan ini jauh dari nyaman jika dibandingkan dengan merk-merk Eropa yang digunakan oleh para pemimpin kita. Kita, mungkin juga saya, tidak rela berkorban untuk hidup hemat dan mengurangi kenyamanan, demi kepentingan saudara – saudara kita yang seharusnya tidak bernasib kekurangan. Setelah kalimat tersebut ...
Kami terdiam, dan larut kembali dalam bacaan yang kami mulai sebelum sang pramugari mengingatkan untuk santap malam, beliau membaca ”Majalah Al Kisah” dan saya membaca ”25 Ways to Win with People : Buatlah Orang lain Merasa Sangat Berharga” yang ditulis oleh John C Maxwell dan Les Parrot Ph.D.
Akhirnya, dua jam waktu tempuh Medan – Jakarta mendekati tunai ketika kapten penerbangan menyatakan :... take position..., dan mendarat mulus di bandara internasional Soekarno Hatta. Obrolan kemudian, sepanjang turun dari pesawat ke tempat bagasi lebih banyak tentang pekerjaan dan Ibundanya yang sakit. Setelah Bika Ambon ”Zulaikha” dan Bolu Gulung Meranti yang terbang melalui bagasi ada dalam genggaman, kami pun berpisah. Dengan senyum kebapakan dan lambaian tangan dia mengucapkan ”Assalamu’alaikum”, yang saya jawab dengan ucapan ”Wa’alaikum Salam” dengan senyum tak kalah hangat dan kekaguman kepadanya atas obrolan tentang kemandirian yang baru saja terjadi. [*]