
Manuver politik paling akhir yang dilakukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, membuat saya geram. Target pencapaian suara diatas 20 %, membuat sejumlah petinggi partai, terjebak kedalam strategi penggalangan dukungan yang “biasa-biasa saja”. Godaan untuk memperbanyak jumlah pemilih menjadikan partai ini tidak lagi istimewa dalam memilih dan menerapkan strategi. Strategi yang biasa-biasa saja yang saya maksud adalah, penjajagan untuk bekerjasama dengan PDI P untuk menggalang koalisi permanent dan memunculkan icon Pak Harto dalam barisan pahlawan Nasional.
Sebagai partai kader, menurut pemahaman saya, penerapan strategi pertama, yang mulai genit untuk memungkinkan berkoalisi dengan PDI P, sama sekali tidak boleh dipilih. Biarlah PDI-P besar dan memiliki basis pemilih potensial, jangan pernah sekalipun tergoda untuk membuat jalan pintas untuk mencapai target pencapaian jumlah kursi di DPR. Kaderisasi, hanya bisa terjadi jika sejak awal hingga akhir, sebuah perjuangan individu yang dikerjakan secara berjamaah melalui partai politik tetap memiliki dan ada ideologi yang diperjuangkan dan tentu saja ideologi tersebut harus berbeda dengan yang lain. Pakem dan analisis hostoris, nasionalisme adalah nasionalisme dan Islam adalah Islam. Polarisasi ideologi inilah yang justru menyebabkan aktivis kampus bergairah. Mentor –mentor politisi rela untuk menguras tenaga dan pikirannya untuk terus berkarya dan berbuat sesuatu untuk bangsa. Termasuk masih adanya dukungan dari kaum aghniya untuk berbagi zakatnya untuk hal – hal yang sifatnya perjuangan yang dilakukan melalui sistem kenegaraan. Mengapa? karena kaderisasi harus terus berjalan dan ada dengan suatu keyakinan masih pekerjaan besar yan senantiasa dibawa tidur untuk keesokan harinya diperjuangkan lagi.
Hal yang sama, nampaknya juga menjadi alasan untuk strategi yang kedua. Fakta, mendiang Seharto masih memiliki sejumlah idola. Namun ada fakta lain yang juga masih sumir, status hukum Pak Harto terkait dengan sejumlah kebijakan dan tindakan yang sarat KKN, belum terang benderang. Sebagai partai yang berani menyatakan Bersih, Peduli dan Profesional, tentu saja pilihan strategi ini tidak produktif dan menyesatkan. Apakah semata karena masih ada ceruk pendukung Soeharto menjadikan pertimbangan yang “gelap mata”, sehingga aspek bersih dan professional dikorbankan? Tidakkah melukai sejumlah professional potensial yang telah susah payah membuktikan bagaimana korupnya regim “Bapak Pembangunan” ini? Dimana bersihnya beliau ketika fakta audit menyatakan jumlah kekayaannya dan seluruh keluarga ini melimpah ruah di sejumlah account di luar negeri? Belum lagi sejumlah asset yang menjadi tidak produktif dan masih berdiri tegak disejumlah jalan protokol ibu kota? Tidakkah para pengambil kebijakan strategis partai ini melihat demikianlah faktanya.
Semoga, tindakan yang dapat dikategorikan gharar (spekulasi) dalam kalkulasi politik ini, menjadi tindakan politik pertama dan terakhir. Tetaplah istiqomah, meniti jalan dengan cara yang memang susah. Pendidikan politik yang dilakukan selama ini, sejatinya adalah pilihan yang benar dan telah terbukti mendapat pujian sekaligus dukungan. Jangan sekali – kali tergoda untuk menempuh langkah instant. Karena akan merugikan diri sendiri.
Sepuluh tahun dan angka delapan untuk Pemilu 2009, mungkin angka dan usia yang masih terlalu muda dan sedikit jika dibandingkan dengan usia partai – partai three big five (PDI, PPP dan Golkar), bentukan Soeharto, yang mampu menjadi representasi ideologi. Sehingga, PKS memang harus menambah energi sabarnya, agar suatu saat kita mampu menjadikan partai laksana pilihan hidup yang memberi konsekuensi secara permanent, seperti saudara kita di Amerika atau Australia sana. Jika dia memang terlahir dari keluarga Demokrat, sepanjang itu pulalah pandangan dan orientasi hidupnya akan menjadi Demokrat, demikian sebaliknya. Fenomena emerging democracy yang dilakukan oleh para politisi Indonesia dan dialami sejumlah partai politik yang menjamur kemunculannya satu dekade ini, jangan sampai menodai partai yang memiliki warna identitas kuning dan hitam sebagai partai masa depan. Semoga.