Satu dari belasan judul film karya anak negeri yang mulai mengisi gedung petunjukan di sebuah negara yang selama ini tak berdaya. Ketidakberdayaan yang ditunjukkan dengan hanya mempertunjukkan karya – karya Hollywood karena terkungkung oleh monopoli konglomerat dengan group 21 (baca twenty one) nya. Sebuah bentuk transaksi perdagangan (barter) antara produk film Amerika dengan produk tekstil Indonesia. Era ini berakhir seiring dengan tidak adanya produk tekstil Indonesia yang layak di perdagangkan ke Amerika karena kalah bersaing dengan produk tekstil China dan India.
Ide cerita film ini, standard dan klasik saja sebenarnya. ”Dunia Mereka”, intinya menceritakan perbedaan yang mendasar antara harapan dan keinginan orang tua dengan keinginan dan cita – cita anaknya, yang berbuah kepada terjadinya konflik keluarga karena masing-masing pihak merasa benar terhadap pilihannya. Sayangnya, menurut saya, sutradara tidak cukup mampu menerjemahkan suasana konflik kedalam bahasa gambar, alhasil , terasa hambar. Pesan positif yang ingin disampaikan kepada penonton, bahwa keyakinan terhadap sesuatu harus diperjuangkan secara optimal dan memerlukan pengorbanan serta perlu proses yang panjang. Tidak ada yang instant. Isi pesan ini, jika penonton mampu menyerapnya, cukup positif ketika budaya “cepat saji” telah lama memasuki relung-relung jiwa dan pikiran kita. Sehingga struktur dan kualitas kehidupan masyarakat kita menjadi agak berantakan.
Kembali ke ”Dunia Mereka” sebagai karya film. Dari beberapa film nasional yang saya tonton dan ikuti, “Berbagi Suami”, karya Nia Dinata, bagi saya pribadi tetap saya anggap sebagai sebuah karya sinematografi yang bagus, ide cerita yang membumi disertai dengan teknik pembuatan serta alur cerita yang mengalir lembut dengan kualitas pemain yang diatas rata-rata, saya senantiasa bilang dalam bahasa yang sangat awam, “nggak filem bangat”, untuk mengomentari film – film Indonesia yang kualitasnya jauh dibawah ”Tjut Nyak Dhien”, dimana Christine Hakim menjadi pemain utamanya. Ada ”Banyu Biru”, dimana Tora Sudiro bermain dengan buruk sekali. Disusul kemudian dengan ”Mengejar Matahari”, yang mengantarkan Fauzi Baadila menjadi ”bintang baru” Indonesia, ”Apa Artinya Cinta”, cerita yang mirip dengan aura era ”Catatan Si Boy”, kala esemaa saya dulu dan beberapa film bertema horor. ”Jelangkung”, merupakan karya horor pertama selepas masa vacuum yang cukup lama. Setelah itu diikuti oleh sederetan judul yang menjual tema horor dan mistis, seakan tak mau kalah dengan tema sejenis yang laku di dunia layar kaca, dimana Raam Punjabi menjadi rajanya saat ini. Sebut saja ”Pocong”, ”Kuntilanak”, ”Hantu Bangku Kosong” dan yang paling akhir adalah ”Hantu Jeruk Purut”, tentu saja diantara rentang waktu itu ada beberapa judul film lain yang tidak bisa saya ingat. Dari sejumlah film film tersebut, memang tidak banyak yang dapat singgah dan merebut hati saya untuk memberikan pujian yang memadai atas sebuah prestasi atau kerja keras yang telah dilakukan kru film tersebut. Tapi saya yakin dan percaya, sebuah karya besar tidak akan lahir tiba – tiba dan tanpa proses gagal berkali-kali, sehingga ”practice makes perfect” adalah keniscayaan yang harus ditempuh dan dilalui untuk sebuah karya yang mampu memaksa sejarah untuk menorehkannya dengan tinta emas.
Namun demikian, tidak berlebihan rasanya, melihat banyaknya potensi yang dimiliki kalangan muda untuk berkarya di industri film, dapat dilihat sebagai potensi bagi asset nasional yang perlu difasilitasi Negara. Jaminan dan kemampuan aparatur Negara untuk menindak pelaku pembajakan, kualitas orang di Lembaga Sensor Film yang independen dan menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, merupakan bentuk kontribusi kongkrit yang harus dilakukan perannya oleh Negara. Siapa tahu, jika semangat ini dibiarkan tumbuh dengan baik menjadi cepat berkembang dan menjadi salah satu jalan bagi kaum muda untuk berprestasi dan pada akhirnya akan menjadi sumber bangkitnya rasa kebanggaan (nasionalisme) sebagai bangsa seperti yang telah diukir oleh Christine Hakim, Teguh Karya dan sejumlah maestro lainnya di dunia perfilman. Teruslah berkarya dan saya akan terus menontonnya, insyaallah.
Ide cerita film ini, standard dan klasik saja sebenarnya. ”Dunia Mereka”, intinya menceritakan perbedaan yang mendasar antara harapan dan keinginan orang tua dengan keinginan dan cita – cita anaknya, yang berbuah kepada terjadinya konflik keluarga karena masing-masing pihak merasa benar terhadap pilihannya. Sayangnya, menurut saya, sutradara tidak cukup mampu menerjemahkan suasana konflik kedalam bahasa gambar, alhasil , terasa hambar. Pesan positif yang ingin disampaikan kepada penonton, bahwa keyakinan terhadap sesuatu harus diperjuangkan secara optimal dan memerlukan pengorbanan serta perlu proses yang panjang. Tidak ada yang instant. Isi pesan ini, jika penonton mampu menyerapnya, cukup positif ketika budaya “cepat saji” telah lama memasuki relung-relung jiwa dan pikiran kita. Sehingga struktur dan kualitas kehidupan masyarakat kita menjadi agak berantakan.
Kembali ke ”Dunia Mereka” sebagai karya film. Dari beberapa film nasional yang saya tonton dan ikuti, “Berbagi Suami”, karya Nia Dinata, bagi saya pribadi tetap saya anggap sebagai sebuah karya sinematografi yang bagus, ide cerita yang membumi disertai dengan teknik pembuatan serta alur cerita yang mengalir lembut dengan kualitas pemain yang diatas rata-rata, saya senantiasa bilang dalam bahasa yang sangat awam, “nggak filem bangat”, untuk mengomentari film – film Indonesia yang kualitasnya jauh dibawah ”Tjut Nyak Dhien”, dimana Christine Hakim menjadi pemain utamanya. Ada ”Banyu Biru”, dimana Tora Sudiro bermain dengan buruk sekali. Disusul kemudian dengan ”Mengejar Matahari”, yang mengantarkan Fauzi Baadila menjadi ”bintang baru” Indonesia, ”Apa Artinya Cinta”, cerita yang mirip dengan aura era ”Catatan Si Boy”, kala esemaa saya dulu dan beberapa film bertema horor. ”Jelangkung”, merupakan karya horor pertama selepas masa vacuum yang cukup lama. Setelah itu diikuti oleh sederetan judul yang menjual tema horor dan mistis, seakan tak mau kalah dengan tema sejenis yang laku di dunia layar kaca, dimana Raam Punjabi menjadi rajanya saat ini. Sebut saja ”Pocong”, ”Kuntilanak”, ”Hantu Bangku Kosong” dan yang paling akhir adalah ”Hantu Jeruk Purut”, tentu saja diantara rentang waktu itu ada beberapa judul film lain yang tidak bisa saya ingat. Dari sejumlah film film tersebut, memang tidak banyak yang dapat singgah dan merebut hati saya untuk memberikan pujian yang memadai atas sebuah prestasi atau kerja keras yang telah dilakukan kru film tersebut. Tapi saya yakin dan percaya, sebuah karya besar tidak akan lahir tiba – tiba dan tanpa proses gagal berkali-kali, sehingga ”practice makes perfect” adalah keniscayaan yang harus ditempuh dan dilalui untuk sebuah karya yang mampu memaksa sejarah untuk menorehkannya dengan tinta emas.
Namun demikian, tidak berlebihan rasanya, melihat banyaknya potensi yang dimiliki kalangan muda untuk berkarya di industri film, dapat dilihat sebagai potensi bagi asset nasional yang perlu difasilitasi Negara. Jaminan dan kemampuan aparatur Negara untuk menindak pelaku pembajakan, kualitas orang di Lembaga Sensor Film yang independen dan menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, merupakan bentuk kontribusi kongkrit yang harus dilakukan perannya oleh Negara. Siapa tahu, jika semangat ini dibiarkan tumbuh dengan baik menjadi cepat berkembang dan menjadi salah satu jalan bagi kaum muda untuk berprestasi dan pada akhirnya akan menjadi sumber bangkitnya rasa kebanggaan (nasionalisme) sebagai bangsa seperti yang telah diukir oleh Christine Hakim, Teguh Karya dan sejumlah maestro lainnya di dunia perfilman. Teruslah berkarya dan saya akan terus menontonnya, insyaallah.