Beberapa
minggu terakhir ini, kabar tentang banyaknya orang merugi lewat investasi yang
menggiurkan begitu ramai. Sebagian diduga kuat ‘bodong’ alias perusahaan yang
'memutar dana investasi' tidak betul-betul menjalankan aktivitas bisnis seperti
yang dijanjikan — sebuah kejahatan kerah putih. Kasus
investasi bodong sudah sering terjadi di berbagai negara, salah satu yang
terbesar ialah ‘investasi akal-akalan’ yang dijalankan oleh Bernard Madoff yang
mengguncang ekonomi AS pada tahun 2008. Dalam pengadilan yang berlangsung pada
tahun berikutnya, Madoff dijatuhi hukuman 150 tahun kurungan.
Untuk
menuntaskan kasus penipuan investasi yang dianggap sebagai terbesar dalam
sejarah AS ini dibutuhkan waktu bertahun-tahun, dan kesimpulan terakhir diambil
pada 24 Maret 2014 lalu. Para juri di pengadilan Manhattan, New York,
menyimpulkan bahwa perusahaan Madoff telah melakukan penipuan investasi secara
sistematis. Madoff telah mempraktekkan Skema Ponzi secara masif selama 30 tahun
dan kasusnya baru terungkap pada 2008.
Bagaimana Skema Ponzi bekerja? Kira-kira seperti ini:
Sebuah
iklan menjanjikan return yang sangat besar kepada siapapun yang mau
berinvestasi dalam sebuah bisnis, yakni 10% dalam waktu 30 hari. Orang yang
tergiur oleh angka sebesar itu serta-merta akan terpikat oleh iklan ini. Mereka
akan berebut berinvestasi, bahkan aset penting seperti rumahpun jika perlu
diinvestasikan demi return 10% per bulan.
Angka
sebesar itu sukar dicerna akal sehat. Darimana return 10% itu didapat?
Inilah soalnya. Bisnis yang lumrah niscaya mustahil mendatangkan return
sebesar itu dalam waktu yang sangat pendek. Maka, pemasang iklan yang menawarkan
investasi itu akan memilih cara seperti ini: bila waktu 30 hari telah tiba, dan
pembayaran return pertama sudah jatuh tempo, ia menggunakan uang yang
disetor investor yang berinvestasi belakangan untuk membayar return bagi
investor yang terdahulu.
Begitu
menerima return 10% seperti yang dijanjikan, kepercayaannya semakin kuat
dan investor ini terdorong untuk menaruh lebih banyak lagi uangnya. Kata-kata
pujian mulai menyebar. Calon-calon investor lain ikut berebut peluang untuk
menanamkan uangnya. Timbullah efek berantai. Semakin banyak orang berinvestasi,
berarti uang masuk terus mengalir, dan perusahaan pengelola investasi ini masih
bisa tenang membayar return untuk investor terdahulu.
Promotor
investasi akan berusaha meminimalkan penarikan uang dengan menawarkan rencana
baru bagi investor lama, tentu saja dengan iming-iming tak kalah menggiurkan.
Promotor memperolah cash flow baru, sebab investor diberitahu bahwa
mereka tidak boleh memindahkan uangnya dari rencana pertama ke rencana kedua.
Jika sebagian investor ingin menarik uangnya sesuai aturan yang diperbolehkan,
permintaan ini biasanya diproses, sehingga menimbulkan ilusi kepada seluruh
investor bahwa dana mereka solvent (mudah dicairkan).
Kesulitan
akan muncul ketika investasi baru berjalan lamban, dan promotor mulai kesusahan
membayar return pada waktu yang dijanjikan. Semakin besar return
yang dijanjikan, semakin besar peluang skema Ponzi ini ambruk dengan cepat.
Begitu pembayaran return mulai terlambat, beritanya dengan cepat
menyebar. Krisis likuiditas ini akan memicu kepanikan—menimbulkan efek domino,
dan terjadilah rush, orang-orang meminta kembali uangnya pada waktu
bersamaan.
***
Charles
Ponzi adalah orang pertama yang mempraktekkan skema ini dalam skala besar,
sebab itu nama Ponzi dipatrikan pada praktek ini. Sebenarnya, Ponzi bukan orang
yang ‘menemukan’ skema ini. Charles Dickens, dalam novelnya Little Dorrit,
1857, sudah lebih dulu menggambarkan skema semacam ini kira-kira satu dekade
sebelum Ponzi lahir. Sebelum Ponzi, William F. Miller, seorang penata buku
keuangan yang bekerja di Brooklyn, AS, menggunakan skema serupa ini untuk
mengumpulkan 1 juta dolar AS (1899) Ponzi meraup jauh lebih besar.
Ponzi
dilahirkan di Lugo, Italia, 1882, dengan nama yang sangat panjang: Carlo Pietro
Giovanni Guglielmo Tebaldo Ponzi. Kepada suratkabar New York Times, ia
mengaku berasal dari keluarga sejahtera di Parma, Italia. Mula-mula Ponzi
bekerja sebagai pekerja pos. Di usia 21 tahun, ia merantau ke Amerika Serikat
dan tiba di pelabuhan Boston. “Saya mendarat di negeri ini dengan 2,5 dolar
tunai dan 1 juta dolar harapan, dan harapan itu tak pernah meninggalkanku,”
begitu cerita Ponzi belakangan kepada New York Times.
Ponzi
belajar bahasa Inggris dengan cepat dan bekerja di Pantai Timur, sebagai
pencuci piring. Tidur di lantai tidak masalah baginya. Oleh majikannya, ia
dianggap bekerja dengan baik dan naik posisi menjadi pelayan, namun kemudian
dipecat karena mencuri uang kembalian untuk pelanggan.
Ia
lalu pindah ke Montreal, 1907, dan menjadi asisten teller di Banco
Zarossi, sebuah bank yang dikelola Luigi Zarossi untuk melayani imigran Italia
yang datang ke kota itu. Zarossi membayar bunga 6% untuk deposito—dua kali
lipat suku bunga yang berlaku saat itu—dan banknya tumbuh cepat. Ponzi menjadi
manajer bank. Namun, ia mengetahui bahwa bank itu sesungguhnya menghadapi
persoalan keuangan serius sebab pengembalian pinjaman real estate
berjalan seret, dan ia tahu Zarossi membiayai pembayaran bunga bukan dari
keuntungan investasi, tapi dengan memakai uang yang didepositokan oleh nasabah
baru. Bank itu akhirnya ambruk dan Zarossi lari ke Mexico dengan membawa
sebagian besar uang bank.
Ponzi
tetap tinggal di Montreal untuk sementara waktu di rumah Zarossi dan berusaha
kembali ke AS. Suatu ketika ia mendatangi kantor bekas pelanggan Zarossi dan,
karena ia tidak menemukan siapapun, ia menulis cek untuk dirinya senilai
$423.580 dengan memalsukan tanda tangan direktur perusahaan itu. Saat ditanya
polisi siapa yang mengeluarkan dana sebesar itu, Ponzi mengangkat tangannya dan
berkata “Saya bersalah.” Ia mendekam tiga tahun di penjara dekat Montreal.
Alih-alih memberitahu ibunya mengenai soal ini, ia mengirim surat yang
mengatakan bahwa ia memperoleh pekerjaan sebagai “asisten khusus” penjaga
penjara.
Setelah
keluar dari penjara, 1911, ia memutuskan kembali ke AS, tapi terlibat dalam
penyelundupan imigran ilegal Italia di perbatasan. Ia tertangkap dan mendekam
dua tahun di penjara Atlanta. Di penjara ini ada tahanan lain yang menjadi role
model Ponzi, yakni Charles W. Morse, pengusaha dan spekulator Wall Street
yang makmur. Selepas dari penjara, Ponzi kembali ke Boston dan menikah dengan
Maria Genecco, seorang stenografer (pasangan ini bercerai pada 1937).
Suatu
ketika, Ponzi menerima surat dari perusahaan di Spanyol. Di dalam amplop
terdapat International Reply Coupon (IRC). Ia mencari tahu apa kegunaan kupon
ini. Seseorang di satu negara dapat mengirim kupon ini kepada orang di negara
lain. Kupon ini dapat ditukarkan dengan prangko untuk mengirim surat kepada
pengirim kupon.
Ketika
itu inflasi sesudah Perang Dunia I menurunkan biaya pos di Italia sehingga
kupon dapat dibeli dengan murah di Italia dan ditukarkan dengan perangko AS
yang berharga lebih tinggi. Prosesnya: kirim uang ke luar negeri; belikan kupon
dengan bantuan agen atau siapapun; kirim kupon ke AS; di AS, tukarkan kupon
dengan prangko yang berharga lebih tinggi, lalu jual prangko tersebut. Inilah
trik mengambil keuntungan dengan membeli aset pada harga rendah di suatu pasar
dan segera menjualnya di pasar lain dengan harga lebih tinggi praktek yang
tidak ilegal.
Ponzi
mengintip adanya peluang keuntungan di sini. Ia membujuk kawan-kawannya agar
menanamkan uang di bisnis kupon IRC dengan menjanjikan return 50% dalam
45 hari atau melipatduakannya dalam 90 hari. Untuk mempromosikan skema ini, ia
mendirikan perusahaan sendiri, Securities Exchange Company. Banyak orang
menggadaikan rumah mereka dan menginvestasikan tabungan mereka. Kebanyakan
tidak mengambil keuntungannya dan menginvestasikan kembali. Bisnis ini mengubah
Ponzi dari bukan siapa-siapa menjadi jutawan Boston yang termashur dalam waktu
enam bulan.
Pada
Mei 1920, Ponzi mengumpulkan $420.000 (setara dengan $4,59 juta pada 2008) — dua
bulan kemudian ia sudah meraup lebih dari $1 juta. Ia mulai mendepositokan uang
itu di Hanover Trust Bank of Boston, sebuah bank kecil di Hanover Street di
North End yang banyak dihuni orang Italia, dengan harapan suatu ketika
rekeningnya cukup besar sehingga ia bisa memaksakan kehendaknya atas bank itu
atau bahkan menjadi presidennya. Faktanya, ia mengendalikan bunga di bank itu
setelah mendepositokan $3 juta. Ponzi
hidup mewah, membeli mansion di Lexington, Massachusetts, dengan kolam
renang berpemanas. Ia mendatangkan ibunya dari Italia dengan kapal kelas satu.
Cepat kayanya Ponzi mengundang kecurigaan. Suratkabar Boston Post
menyelidiki praktek bisnis Ponzi dan kemudian menerbitkan hasil investigasinya.
Clarence Barron, seorang analis keuangan di Boston, mengatakan bahwa mustahil
Ponzi memberi return dari hasil investasi yang sebenarnya. Dalam
perhitungan Barron, untuk membayar return sebesar itu, 160 juta kupon
harus diputar, namun faktanya hanya sekitar 27 ribu kupon yang benar-benar
beredar. Marjin keuntungan kotor untuk pembelian dan penjualan kupon memang
besar, tapi menurut Barron, biaya overhead untuk mengurusnya melampaui
keuntungan tersebut.
Laporan
yang diterbitkan Boston Post itu menimbulkan kepanikan. Dalam tiga hari,
Ponzi mengeluarkan $2 juta kepada kerumunan investor yang berkumpul di depan
kantornya. Ia menyajikan kopi dan donat dan memberitahu mereka tak ada yang
perlu dikhawatirkan. Situasi ini menarik perhatian Daniel Gallagher, jaksa di
Massachusetts. Gallagher mulai mengaudit pembukuan Securities Exchange Company,
namun menemui kesulitan sebab pembukuan Ponzi hanya berupa kartu indeks yang
berisi nama-nama investor. Berkat ketekunan penegak hukum, akhirnya terungkap
bahwa Ponzi sekurang-kurangnya berutang $7 juta. Berkat laporan investigasi
mengenai Ponzi ini, Boston Post memperoleh Hadiah Pulitzer (1921).
Untuk
kesekian kali, penjara sudah menanti Ponzi. Setelah melewati 3,5 tahun dari
vonis lima tahun dalam penjara federal dan kemudian sembilan tahun di penjara
negara bagian Massachusetts, Ponzi diusir dari Amerika Serikat. Ia kembali ke
Italia. Setelah sempat bekerja untuk Benigto Mussolini, karena kecurangan dalam
keuangan pemerintah ia dipaksa pergi ke Amerika Selatan. Di Brazil, ia bekerja
serabutan dan jatuh miskin. Kesehatannya memburuk dan terkena serangan jantung
pada 1941. Delapan tahun kemudian ia meninggal di Rio de Janeiro.
Dalam
wawancara terakhirnya dengan wartawan Amerika di rumah sakit itu, Ponzi
berkata, “Saya mencari persoalan, dan saya telah menemukannya.” ***
Sumber Asli: http://indonesiana.tempo.co/read/13582/2014/04/15/desibelku.1/investasi-bodong-dalam-skema-ponzi