Disclaimer: Tulisan ini pendapat pribadi. Coretan awam, bukan politisi
yang punya kepentingan untuk berkuasa bukan pula pengusaha yang punya agenda.
Jokowi saat Kegiatan Jakarnaval 2013 |
Headline Kompas (28/08), mengukuhkan kemenangan Jokowi di Pilpres yang diselenggarakan
lembaga survey. Sontak, tulisan yang diturunkan media ini, menggenapi
laporan utama Tempo, edisi sepekan menjelang hari
Kemerdekaan. Tentu saja hal ini segera menjadi referensi para politisi,
eksekutif muda dan analis pasar modal termasuk komunitas para Jendral. Berbagai
manuver dan kalkulasi, nampaknya mulai disusun ulang oleh team sukses dan Badan
Pemenangan Pemilu (BAPPILU) Legislatif masing – masing Parpol. Kenapa? Karena
ketepatan mengusung kandidat Presiden adalah langkah kunci mengumpulkan banyak
kursi di parlemen. Bobot politik langkah ini, jauh lebih efektif dibandingkan
menyemai relasi dan investasi politik di dapil bagi para Caleg. Posisi
strategis Jokowi secara pribadi,, nampaknya tidak memiliki relasi kepada PDI –
P dan Gerindra, selaku pengusung beliau di Pilgub DKI lalu.
Membangun Budaya Kuasa
Menurut pemahaman dan akal sehat
saya, kontestansi Presiden di 2014 bukan untuk Jokowi. Jabatan publik, apalagi setingkat Gubernur,
menurut peraturan perundangan memiliki matra waktu. Sehingga siapapun yang
berniat untuk bertarung memenangkan kontestansi, harus bertanggungjawab untuk
menuntaskannya. Mengapa? karena ada
ongkos politik yang ditanggung Negara dan ongkos sosial yang ditanggung oleh pemilih.
Seandainya, tradisi dan fatsoen politik ini tidak ditegakkan, semakin brutal
lah syahwat politik para politisi kita. Dia akan menjadi sejatinya kutu loncat
semata untuk mengejar puncak kuasa.
Berakhirnya masa jabatan Gubernur DKI, diluar masa jabatannya, pasti diikuti oleh sejumlah proses politik dan
birokrasi yang tidak sederhana untuk
terpilihnya pemimpin baru. Mulai dari permohonan izin kepada Mendagri dan DPRD,
hingga kepada proses stabilitasi birokrasi. Tour
of duty dari masing – masing SKPD dan seterusnya yang bisa panjang kali
lebar.
Untuk membangun tradisi berpolitik yang luhur,
menurut hemat saya, biarlah Jokowi berkhidmat membangun dan membereskan Jakarta
hingga akhir. Sehingga beliau benar – benar memiliki kesempatan untuk
mencurahkan segenap potensi dirinya untuk mewujudkan “Jakarta Baru” yang
menjadi visi dan misinya bersama Pak Basuki. Karena “Jakarta Baru” yang menjadi mimpi pemilih,
belumlah terwujud dalam aspek kehidupan yang menyeluruh. Masih setumpuk
permasalahan Ibukota yang perlu dibereskan.
Disisi yang lain, saya berharap
para elite politik jangan malas dengan memilih
menjadi head hunter yang mau
kerja mudah dengan “memangsa” the rising star yang sudah moncer
duluan. Budaya kerja instant seperti ini, disadari atau tidak menjadi karakter
masyarakat dijalan raya, disekolah hingga kepada proses – proses sosial lainnya
dalam skala yang lebih luas.
Sementara itu, mari kita beri
kesempatan lebih luas kepada mereka yang sedang membangun pengaruh menuju
Istana. Kita alihkan mata dan perhatian kita kepada mereka yang lebih awal
mendeklarasikan diri dan partainya mengusung calon – calon Presiden. Mari kita investasikan waktu dengan bekerja
keras dan mematangkan kandidat yang tidak sedang memiliki amanah yang berdimensi
matra waktu. Perluas pengaruh, yakinkan
pemilih dengan intensitas komunikasi politik yang lebih manusiawi dan membumi.
Sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh konsituen. Kembalikan
marwah politik ke tempat yang terhormat dan mulia.
Dorong mesin partai dan para
kader bekerja lebih keras lagi untuk merebut hati masyarakat bahwa masih ada
putra – putra anak Negeri yang baik dan berpotensi menjadi “Jokowi – Jokowi
lain” agar politik mampu mengembalikan
kepercayaan masyarakat kepada kerja – kerja politik dan proses demokrasi. Mari kita budayakan dan tegakkan bahwa
kepercayaan yang diberikan tidak diciderai oleh syahwat kuasa yang terlalu
telanjang dan vulgar. Yang sedang menjadi Bupati, tetaplah menjadi Bupati. Yang
menjadi Gubernur tetaplah menjadi Gubernur, Yang sedang menjadi Anggota Legislatif,
tetaplah menjadi Anggota Legislatif
hingga masa jabatan dan sumpahnya terpenuhi. Mari bersama kita belajar untuk menata Negara
dengan menata tahapan Demokrasi dengan sabar dan sempurna.
Kesederhanaan Kunci Sukses Jokowi
Keberhasilan @Jokowi_do2 dengan gaya blusukan yang dicapainya selama fase awal memimpin Jakarta,
harus di akhiri hingga masa
kepemimpinannya berakhir. Benar, kita
dan publik kebanyakan, puas dengan
pencapaiannya sampai saat ini: penertiban kawasan Tanah Abang, karena dia bersama dengan Pak Basuki, berhasil membangun
pengertian dengan penguasa informalnya, pembenahan Waduk Pluit, sebagai
repetisi dari kepiawaian beliau membangun dialog sosial dengan warga
sebagaimana cerita sukses memindahkan pedagang di Solo. Terobosan manajemen
pemerintahan yang melelang jabatan publik di tingkat kelurahan dan kecamatan,
masih harus kita evaluasi efektifitas dan dampaknya terhadap pola jenjang
karier bagi saudara kita yang memilih untuk menjadi birokrat.
Sederhana dalam bertutur kata, simplicity problem solving technique ketika mendengarkan keluhan dan menghadapi
permasalahan warga, hingga kesederhanaannya dalam memanfaatkan fasilitas DKI
yang menjadi haknya, merupakan daya pikat yang memiliki daya jual sangat tinggi
dimata masyarakat DKI termasuk ke pelosok
Negeri yang mulai jenuh dan muak dengan ketidak seimbangan biaya
protokoler dan biaya pencitraan diri terhadap impact
dan manfaat yang dirasakan masyarakat atas keberadaan dan eksistensi para
pemimpinnya.
Tidak bermaksud untuk mengebiri
hak politik beliau sebagai warga negara, sampai dengan tulisan ini saya
susun, beliau memang tidak mempersiapkan
dirinya untuk menjadi RI 1. Beliau tentu
tahu pergerakan hasil dan publikasi
lembaga survey selalu menempatkan posisi beliau ditempat menggiurkan. Semoga,
keteguhan dan pemahaman beliau tetap akan sederhana seperti yang saya harapkan.
Bahwa masyarakat Jakarta memberi kepercayaan kepada beliau untuk menjadi
Gubernur DKI Jakarta, bukan untuk menjadi Presiden RI. Segala sesuatu akan
indah pada waktunya. Insyaallah 2019 adalah waktu yang indah itu, Pak. Sesederhana
itu.