26 June, 2014

Khilafah dan Demokrasi



Oleh: Adian Husaini
 
 Sebenarnya, masalah demokrasi bisa dibicarakan dengan lebih ilmiah. Istilah “demokrasi” tidak tepat didikotomikan dengan istilah “khilafah”. Tetapi, lebih tepat, jika “demokrasi” versus “teokrasi”. Sistem khilafah beda dengan keduanya. Sebagian unsur dalam sistem khilafah ada unsur demokrasi (kekuasaan di tangan rakyat) dan sebagian lain ada unsur teokrasi (kedaulatan hukum di tangan Tuhan). Membenturkan demokrasi dengan khilafah, menurut saya, tidak tepat.
Sistem demokrasi ada yang bisa dimanfaatkan

untuk dakwah, Karena adanya kebebasan berpendapat. Maka, Hizbut Tahrir justru berkembang ke negara-negara yang menganut sistem demokrasi, seperti di Indonesia. Di AS, Inggris, dsb, HT lebih bebas bergerak dibanding dengan di Arab Saudi. Karena itu, demokrasi memang harus dinikmati, selama tidak bertentangan dengan Islam. Itulah yang dilakukan oleh berbagai gerakan Islam, dengan caranya masing2. ada yang masuk sistem politik, ada yang di luar sistem politik,tetapi masuk sistem pendidikan, dll.  Tapi, mereka tetap hidup dan menikmati sistem demokrasi. saat HTI menjadi Ormas, itu juga sedang memanfaatkan sistem demokrasi, karena sistem keormasan di Indonesia memang “demokratis”.

Karena itu, menolak semua unsur dalam demokrasi juga tidak tepat. Karena demokrasi adalah istilah asing yang harus dikaji secara kritis. Para ulama kita sudah banyak melakukan kajian terhadap demokrasi, mereka beda-beda pendapat dalam soal menyikapinya. tapi, semuanya menolak aspek “kedaulatan hukum” diserahkan kepada rakyat, sebab kedaulatan hukum merupakan wilayah Tuhan. kajian yang cukup bagus dilakukan oleh Prof Hasbi ash-Shiddiqy dalam buku Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam.

Inilah yang kita sebut sebagai proses Islamisasi: menilai segala sesuatu istilah  “asing” dengan parameter Islam. Contoh kajian yang bagus dilakukan oleh Ibn Taymiyah dalam menilai istilah-istilah dalam sufi, yang asing dalam Islam, seperti “kasyaf”, “fana”, dan sebagainya. al-Ghazali juga contoh yang baik saat menilai istilah dan faham “falsafah”. ada yang diterimanya, tetapi juga ada yang ditolaknya.

Jadi, menurut saya, kenajisan istilah “demokrasi”  bukan “lidzatihi”, tetapi “lighairihi”, karena masih bisa “disamak”. Saat ini pun kita telah menggunakan berbagai istilah asing yang sudah diislamkan maknanya, seperti “agama”, “dosa”, “sorga”, “neraka”, “pahala”, dll.
Masalah khilafah juga perlu didudukkan pada tempatnya. Khilafah adalah sistem politik Islam yang unik dan khas. Tentu, agama dan ideologi apa pun, memerlukan dukungan sistem politik untuk eksis atau berkembang. Tetapi, nasib dan eksistensi umat Islam tidak semata-mata bergantung pada khilafah. Kita dijajah Belanda selama ratusan tahun, Islam tetap eksis, dan bahkan, jarang sekali ditemukan kasus pemurtadan umat Islam. Dalam sejarah, khilafah juga pernah menjadi masalah bahkan sumber kerusakan umat, ketika sang khalifah zalim. Dalam sistem khilafah, penguasa/khalifah memiliki otoritas yang sangat besar. Sistem semacam ini memiliki keuntungan: cepat baik jika khalifahnya baik, dan cepat rusak jika khalifahnya rusak. Ini berbeda dengan sistem demokrasi yang membagi-bagi kekuasaan secara luas.

Jadi, ungkapan “masalah umat akan beres jika khilafah berdiri”, juga tidak selalu tepat. Yang lebih penting, menyiapkan orang-orang yang akan memimpin umat Islam. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Entah mengapa Rasulullah saw — setahu saya — tidak banyak (hampir tidak pernah?) mengajak umat Islam untuk mendirikan negara Islam. meskipun negara pasti suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan umat Islam, sebab berbagai aspek hukum dan kehidupan umat terkait dengan negara.

Tapi, saya tidak ketemu hadits: “Mari kita dirikan negara, agar kita jaya!”  Tentu, bukan berarti negara tidak penting.
Terakhir, soal “cara mendirikan khilafah”. Saya sering terima SMS, bahwa khilafah adalah solusi persoalan umat. beberapa kali acara, saya ditanya, mengapa saya tidak membicarakan khilafah sebagai solusi umat! Saya pernah sampaikan kepada pimpinan HTI, tahun 2010 lalu, tentang masalah ini.

Menurut saya, semangat mendirikan khilafah perlu dihargai. itu baik. tetapi, perlu didudukkan pada tempatnya juga. itu yang namanya adil. Jangan sampai, ada pemahaman, bahwa orang-orang yang rajin melafalkan kata khilafah dan rajin berdemo untuk menuntut khilafah merasa lebih baik daripada para dai kita yang berjuang di pelosok membentengi aqidah umat, meskipun mereka tidak pernah berdemo menuntut khilafah, atau bergabung dengan suatu kelompok yang menyatakan ingin mendirikan khilafah.

“Mendirikan khilafah” itu juga suatu diskusi tersendiri. Bagaimana caranya? AD Muhammadiyah menyatakan ingin mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya! Persis juga punya tujuan serupa. DDII juga sama. Mars MTQ ada ungkapan “Baldatun Thayyitabun wa Rabbun Ghafur”. Apa itu tidak identik dengan “khilafah”. AD/ART PKS juga ingin memenangkan Islam.
Walhasil, menurut saya, dimensi perjuangan Islam itu sangat luas. semua kita yang ingin tegaknya Islam, perlu bekerjasama dan saling menghormati. Saya sebenarnya enggan menulis semacam ini, Karena saya sudah menyampaikan secara internal. tetapi, karena diskusi masalah semacam ini sudah terjadi berulang kali.

Masalah umat ini terlalu besar untuk hanya ditangani atau diatasi sendirian oleh PKS, HTI, NU, Muhammadiyah, INsists, dll. Kewajiban diantara kita adalah melakukan taushiyah, bukan saling mencerca dan saling membenci. Saya merasa dan mengakui, kadang terlalu sulit untuk berjuang benar-benar ikhlas karena Allah. Bukan berjuang untuk kelompok, tapi untuk kemenangan Islam dan ikhlas karena Allah. Wallahu a’lam bish-shawab. (adian husaini).

*diulas di milis INSIST 17 November 2011
Sumber Asli : http://www.al-intima.com/harakatuna/khilafah-dan-demokrasi


12 June, 2014

DKP : Dibalik Kepentingan Prajurit



Fenomena  tersebarnya surat dengan sifat RAHASIA di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI),  Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)  waktu  surat itu dikeluarkan, dimata saya selaku warga  Sipil, adalah  bencana bagi institusi tersebut, sekaligus buat kita sebagai pemilik TNI.  TNI adalah alat  keamanan tertinggi dari sebuah Negara yang maha luas dan maha kaya, baik dari sisi sumber daya alam maupun jumlah warga Negara yang harus dilindunginya, bernama Indonesia.  Surat yang menjadi heboh ini adalah Surat  Keputusan Dewan Kehormatan Perwira yang memberhentikan dengan hormat, Bapak Letnan Jendral Prabowo Subianto, dari Dinas Kemiliteran.  Untuk pembanding,  sebagai professional di industry perbankan,  saya ingat dan terus menerus sampe sekarang ditanamkan kesadaran akan pentingnya RAHASIA Nasabah. Bahkan ada sessi khusus ketika saya menerima pendidikan bagaimana menjaga informasi, membuat amplop khusus untuk  PIN yang akan digunakan oleh pemegang Kartu  ATM,  hingga regulasi dan system yang ketat untuk mengganti setiap password yang kita miliki secara regular. 

Karena momentum meruaknya dokumen tersebut, pada masa kampanye sebuah kontestasi Pemilihan Presiden, ada semacam  permissiveness dari masyarakat, sehingga dianggap wajar, paling-paling juga buat kampanye?  Response  ini, yang justru saya khawatirkan sekaligus menyedihkan sekali. Perjalanan panjang bangsa ini, dinamika organisasi kemiliteran kita yang dinamis, pada usianya yang lebih banyak dari  setengah abad, tercederai oleh suatu kejadian yang … (tak kuasa saya mengatakannya). Seharusnya kita marah besar, karena kejadian ini menjadi bahan tertawaan para intelijen Negara lain yang memiliki perhatian dan kepentingan luar biasa kepada kita. Tak perlu bersusah payah,  untuk mendapatkan informasi berharga tentang Negara kita, dia akan keluar dengan sendirinya, seperti jamur dikala musim penghujan.

Dalam suatu kesempatan, ahli management modern  pernah bilang organisasi dan garis komando paling rapi didunia adalah Vatican dan Tentara, secara lebih spesifik dia bilang Angkatan Darat. Kejadian ini membuat saya meragukan pendapat tersebut. 

Jika  untuk dokumen yang sifatnya RAHASIA saja bisa dengan mudah tersebar apalagi bentuk – bentuk korespondensi  lain yang sifatnya Biasa, Perintah Harian, Umum dan lain – lain. Sementara kita semua sudah sepakat bahwa tugas utama dari TNI adalah menjaga keamanan dan keselamatan kita, warga Negara Indonesia. Jika untuk melindungi  dirinya saja, tidak bisa, sangat wajar jika kita menyangsikan postur organisasi, rantai komando dan person yang ada didalamnya.  Menjadi tugas berat Panglima TNI dan seluruh unsur pimpinan didalamnya untuk mengevalusi secara utuh menyeluruh kejadian ini.  Artinya, harus ditelusuri dengan cermat dan seksama siapa yang melakukan dan memberikan hukuman yang setimpal dengan derajat kesalahan yang diperbuatnya tentu dengan hukuman yang telah diatur ditubuh TNI. Sehingga, bagaimanapun hasil akhir dari kontestasi Pilpres 2014 ini, kejadian bocornya dokumen Negara yang bersifat RAHASIA, tidak akan terjadi lagi untuk kepentingan sesaat dan  kepentingan segelintir  Prajurit  yang terlibat dalam ekspektasi  hasil akhir kontestasi.   I love this country, indeed.

03 June, 2014

Akhir Ideal Pilpres 2014



Dinamika dan political game  pada  kontestasi  Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 – 2019, minggu ini semakin tinggi tensinya dan akan terus naik hingga hari pemilihan, 9 Juli yang akan datang.  Mulai dari negative campaign hingga black campaign,  memenuhi ruang - ruang baca kita melalui berbagai sumber  dan tersimpan dalam memori kita akhir – akhir ini untuk  (terpaksa) diketahui. Bagi mereka yang kurang tertarik pada politik akan relative mudah untuk tidak aware terhadap issue – issue yang berkembang dengan langsung mendelete ataun lebih ekstrem, tidak membacanya sama sekali.  Namun, bagi  mereka yang peduli, tentu maraknya informasi yang tendensius harus dibaca secara hati-hati untuk memastikan bahwa informasi yang diterima tidak sesat dan menyesatkan dengan harapan pilihan akhir  ketika masuk ke bilik suara, kandidat yang dipilih  menjadi pilihan terbaik yang dapat  membawa kita kepada masyarakat yang Adil, Makmur dan Sejahtera.

Kematangan berpolitik dan self control of awareness  atas  [seakan – akan]  terjadi  perbedaan -  perbedaan tajam antara dua kontenstan selama proses kontestasi ini, sayangnya masih berada dilevel elite. Sementara masa akar rumput, kadang  terbius dan  terbawa secara emosional kepada level yang  paling dalam. Kondisi inilah yang menjadi kekhawatiran saya, jika  black campaign menjadi tidak terkendali.  Dia berpotensi  menjadi pemicu terbelahnya masyarakat secara  luas, sementara kita sebagai bangsa,  sedang memerlukan semangat dan wujud Kesatuan dan Keutuhan sebagai Bangsa.

Dalam dialog imajiner dengan diri sendiri,  sekiranya  Pilpres ini berakhir dengan kemenangan significant, katakanlah selisih antara 10 -12 % untuk  pasangan Prabowo – Hatta, kehidupan politik, ekonomi dan sosial kita akan berada pada level paling ideal.   Selisih angka tersebut, menurut saya “aman” untuk menghindari potensi konflik dikalangan akar rumput  yang berpotensi mendelegitimasi hasil Pilpres jika selisih hasil akhirnya beda tipis.  

Mengapa Kita Memilih Siapa ? 

  • Bagi mereka yang selama ini ngefans  dan memberikan jempol  kepada leadership style-nya Pak Jokowi, beliau akan kembali menduduki kursi DKI-1, sehingga kita akan bersama-sama menikmati  hasil kerjanya  3,5 tahun kedepan.  Artinya, beliau akan tetap menjadi media darling, kita nggak akan mencari-cari sedang apa dia dan dimana dia?  Pesta perayaan akhir tahun, tetap akan dirayakan secara meriah di jalan – jalan ibukota. Beliau masih cocok dan pas untuk melakukan blusukan  menyelesaikan masalah dan menjawab  kebutuhan masyarakat DKI Jakarta.  Sejumlah program kerja dan janji – janji kampanyenya  akan kita saksikan satu per satu terlaksana dan akan kita nikmati. Sehingga, keberhasilan menata  Jakarta menjadi “Jakarta Baru” akan bernilai 10, karena semuanya direalisasikan yang selanjutnya akan menjadi  modal politik yang  sangat berharga, jika beliau maju dalam Pilpres di tahun 2019. Tidak ada yang kehilangan dan tidak ada yang dirugikan.
  • Sementara buat mereka yang sudah jauh – jauh hari mendukung Pak Prabowo untuk menjadi Presiden, akan memiliki “harapan baru” akan leadership yang berbeda dengan gaya kepemimpinan Pak Soesilo Bambang Yudhoyono,  Presiden kita yang telah bekerja keras selama 10 tahun belakangan ini. Hadirnya kepemimpinan gaya Prabowo, akan menjadi energy baru untuk menggerakkan kembali  semangat patriotisme  dan  level keberpihakan  kepada  Bangsa sendiri. Dengan persiapan dan keinginan untuk menjadi  Pemimpin Nasional sejak 10 (sepuluh) tahun lalu, katakanlah sejak berpasangan dengan Ibu Megawati, pada Pilpres sebelumnya, hal ini membuktikan bagaimana persiapan detail telah dilakukannya dengan sangat baik. Secara politik, hal ini terbukti dengan berhasilnya Partai Gerindra yang dipelopori pendiriannya oleh beliau, mampu meraih hasil yang significant pada Pemilihan Anggota Legislatif pada tahun ini. Secara politik, beliau telah berhasil menunjukkan kualitas kepemimpinannya apalagi jika dipadukan dengan sejumlah prestasinya ketika aktif di TNI. Karena kita tahu, pasti berbeda gayanya dengan Pak Jokowi, sehingga kita akan mencium aroma udara yang berbeda, antara leadership di Jakarta dengan tingkat Nasional dan ini akan bagus.  

Sehingga, semua putra-putra terbaik bangsa, akan kembali bekerja keras sesuai dengan formasi dan kompetensinya masing-masing. Pak Jusuf Kalla (JK), kembali menjadi Ketua PMI yang penuh dengan terobosan dan ilmu-ilmu manajemen baru untuk sebuah organisasi kemanusiaan. Hal ini akan dicatat dalam sejarah Palang Merah Indonesia, dimana akses untuk mendonor semakin mudah dan dekat dengan masyarakat, modernisasi dan kelengkapan peralatan pendukung operasional penanggulangan bencana semakin banyak dan canggih. 

Begitu juga dengan Pak Hatta, dengan telah mengundurkan diri sebagai Menko Perekonomian dan menjadi terpilih menjadi Wakil Presiden, beliau  akan kembali bekerja dan  memiliki kesempatan lebih besar untuk mengimplementasikan pengalaman di birokrasinya selama kurang lebih 14 tahun belakangan ini untuk kepentingan kita bersama. Mengapa Pak Hatta?  karena Pak Jusuf Kalla sudah pernah kita ketahui prestasinya selama menjadi Wakil Presiden. Kita tahu bagaimana beliau mampu dengan cepat dan tepat menyelesaikan konflik Aceh dan Poso secara damai. 

Sebagai mantan Wakil Presiden, mantan Ketua Umum Partai Golkar, tentu beliau memiliki tanggung jawab yang besar untuk  melakukan proses kaderisasi kepemimpinan di tingkat nasional, memberikan kesempatan kepada  generasi penerusnya untuk membuktikan kualitas kepemimpinannya agar terjadi kesinambungan. Pak JK dan Pak Hatta, pernah bersama- sama dalam Kabinet, artinya, ilmu – ilmu dari Pak JK yang diserap Pak  Hatta, perlu diimplementasikan dan itu perlu media untuk mengimplementasikannya. Sehingga, kursi Wakil Presiden itu, sudah sepantasnya diberikan kepada generasi yang lebih muda, lebih bugar. 

Disinilah letak ideal dan terbaik yang diharapkan menjadi akhir dari proses kontestasi Pilpres di tahun 2014 ini. Pada akhirnya, kita harus bersabar dan memberi kesempatan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk menentukan pilihannya.  Wallahu’alam Bishawab.

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...