11 July, 2014

Pilpres 2014: Kontroversi Quick Count

Oleh : Ibnu Agung Mulyanto

Kemarin tanggal 9 Juli 2014 menjadi tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia. Pemilihan Presiden yang dilakukan secara langsung dalam skala terbesar ketiga di dunia, berhasil dilakukan secara lancar dan aman. Saya dan istri pun berpartisipasi dengan memilih calon presiden pilihan kami di TPS 032 Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Alhamdulillah.
Selepas dhuhur, media massa, baik televisi ataupun social media, mulai gencar memberitakan hasil “quick count“. Yang sampai pada akhirnya kubu Jokowi-JK mendeklarasikan “kemenangan” mereka setelah mendapatkan hasil “quick count“, diantaranya dari LSI, Cyrus Network, RRI, dan Litbang Kompas yang menyatakan Jokowi-JK meraih suara 52-53%, lebih tinggi 6-7% dari kubu Prabowo-Hatta Rajasa yang berkisar antara 46-47%.

Menariknya, selang satu jam kemudian, kubu Prabowo-Hatta gantian mendeklarasikan “kemenangan” mereka, karena berdasarkan hasil “quick count” dari lembaga-lembaga survey yang mereka “percaya”, ternyata menunjukkan hasil yang berbeda. Berdasarkan lembaga survey Puskaptis, LSN dan IRC, Prabowo-Hatta meraih suara 51-52%, dibanding Jokowi-JK yang 48-49%.

Masyarakat Indonesia pun bingung. Mana yang benar? Apakah mungkin perhitungan Quick Count berbeda? Karena sepanjang sejarah Pemilu langsung, metode penghitungan quick count selalu menghadirkan prediksi yang akurat dari hasil penghitungan formal oleh KPU. Kalaupun ada perbedaan, data historis menunjukkan perbedaan tersebut tak sampai 1%.
Saya menulis ini tidak untuk mengomentari perilaku dari dua kubu yang saling “deklarasi kemenangan”. Hal tersebut adalah move politik, dan dalam kerangka politik tentu saja sah-sah saja hal tersebut dilakukan. Kendati kalau kita melihat dari kacamata kebangsaan dan kenegarawanan, menurut hemat saya, tindakan tersebut merupakan tindakan yang tidak bijak. Karena dapat menyulut keresahan di tataran masyarakat bawah yang dikuatirkan dapat menghasilkan konflik horisontal.

Yang ingin saya bahas di sini adalah mengenai metodologi “quick count” itu sendiri. Pagi hari ini, beruntung saya sempat menyaksikan “Indonesia Morning Show” di Net.TV yang mengusung narasumber Bapak Prof. Hamdi Muluk, Ketua Dewan Etik Persepi (Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia). Dalam acara ini, Pak Hamdi Muluk, yang merupakan ahli psikologi politik dari Universitas Indonesia, menjelaskan dengan sangat runut mengenai metodologi quick count. Berikut beberapa poin-poin yang ingin saya share, karena hal ini merupakan pengetahuan baru juga buat saya yang saya rasa perlu untuk dipahami oleh kita semua:

  1. Quick count merupakan metode penghitungan statistik dengan pengambilan stratified sampling dari hasil pemilu. Quick count mengambil sampel data hasil pencoblosan. Basis data quick count adalah fakta hasil coblosan. Jadi quick count berbeda dengan survei persepsi/jajak pendapat yang mengambil data berupa opini dari pemilih atau calon pemilih.  Quick count juga bukan exit poll, yang menanyakan pemilih setelah mereka melakukan pencoblosan. Exit poll masih rawan bias, karena bisa jadi, si pemilih mencoblos calon A, namun dalam exit poll somehow memilih calon B.
  2. Dari sejarahnya, quick count ternyata dibuat untuk mengantisipasi “kecurangan pemilu”. Quick count diperkenalkan pada negara-negara yang waktu itu ditengarai komisi pemilihan umum nya tidak independen dan rawan intervensi. Sehingga dengan melakukan quick count pihak yang berkepentingan dapat memprediksi hasil pemilu sebelum penghitungan formal selesai dilakukan. Jadi justru di negara-negara tersebut, hasil quick count lebih dipercaya daripada hasil formal penghitungan pemilu.
  3. Quick count dilakukan dengan metode stratified sampling, yakni memilih sampel TPS-TPS di seluruh daerah pemilihan secara random, dengan menggunakan kaidah ilmu statistik yang dapat dipertanggung jawabkan. Menurut Bapak Hamdi, umumnya lembaga survey yang kredibel akan memilih sedikitnya 2000 random TPS sebagai sampel. Nah di 2000 TPS ini lah, lembaga survey memiliki representasinya yang duduk di TPS, mengobservasi hasil rekapitulasi suara secara langsung, dan mengirimkan hasil rekap suara tersebut ke data center lembaga, umumnya melalui layanan SMS.
  4. Metode stratified sampling untuk quick count ini umumnya standar. Apabila lembaga-lembaga survey mengikuti kaidah-kaidah keilmuan statistik yang benar, maka hasil quick count umumnya sama, plus minus 1 %. Ini yang jamak kita lihat dalam Pemilu-pemilu selama ini di Indonesia.
  5. Dengan metode ini, diandaikan oleh Bapak Hamdi, seperti layaknya kita memasak. Untuk mengetahui rasa soto ayam yang kita masak dalam panci besar, kita tidak perlu memakan seluruh panci besar soto. Yang kita perlukan hanya mengambil sampel soto dalam sendok makan, dan mencicipinya. Kira-kira quick count mirip seperti itu.
Nah kemudian pertanyaannya, mengapa bisa ada lembaga survei yang menghasilkan quick count yang berbeda?

Menurut  narasumber, hal ini dapat terjadi apabila lembaga survei dalam melakukan metode sampling nya, tidak mengikuti metoda random sampling standar yang dianjurkan dalam ilmu statistik. Misalnya, lembaga survei tersebut mengambil sampling TPS-TPS dimana mereka merasa merupakan TPS yang menjadi “kantong suara” kandidat/partai tertentu, sehingga hasil nya pun pasti akan menguntungkan bagi kandidat/partai tersebut. Hal ini pernah terjadi di Pilkada Sumatera Selatan. Lembaga survey-nya adalah (ahem) Puskaptis. Quick count dari lembaga ini terbukti kemudian jauh berbeda dengan hasil dari KPUD Sumsel. Hal inilah yang saat ini sedang akan di-audit oleh Dewan Etik Persepi untuk memastikan bahwa lembaga-lembaga quick count tidak melakukan hal tersebut.

Nah, belajar dari penjelasan mengenai quick count pagi ini, saya menjadi semakin percaya bahwa hasil quick count dari lembaga-lembaga yang kredibel, netral dan selama ini sudah terbukti mampu melakukan prediksi hasil pemilu dengan akurasi yang baik, adalah akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Hasil quick count dari LSI, Cyrus Network, Litbang Kompas dan RRI, yang memenangkan Jokowi-JK, saya rasa benar dan hanya butuh formalitas dari KPU untuk memastikan bahwa “rasa soto satu panci” sama dengan rasa soto “satu sendok” yang baru saja kita cicipi.

Sementara itu, mungkin memang ada baiknya para elit, seperti himbauan Bapak Presiden SBY, untuk menahan diri, dan menunggu hasil formal dari KPU. Karena bagaimanapun, hasil tersebut yang secara hukum dapat digunakan untuk memilih Presiden Republik Indonesia 2014-2019.
Apapun hasilnya, ini adalah pembelajaran politik yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. Apabila kita berhasil melaluinya dengan tertib, jujur dan aman, Insha Allah bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang besar dan layak disandingkan dengan bangsa-bangsa besar lain di dunia ini. Aamin.

Sumber dan Tulisan Asli terdapat di : http://ibenimages.com/2014/07/10/pilpres-2014-kontroversi-quick-count/

No comments:

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...