16 April, 2010

AU or AM for Demokrat 1?

Selepas menikmati makan malam bareng istri dirumah, pesan singkat melalui handphone saya berdering, ternyata sebuah pertanyaan berat yang diajukan oleh seorang sahabat : “Kumaha kalkulasi pengamat politik (nurfalaq institute) pertarungan Anas vs Andi M?”. Well, saya ngakak, karena dia menyertakan kata institute di belakang nama saya (lebay.com juga nech teman). Namun saya bersyukur, sms tersebut membuktikan kalo ikatan batin saya dengan dirinya masih terpelihara dengan baik Dia lanjutkan dengan pandangan dia, dengan pesan singkat lanjutan yang berisi pujian atas keberanian Partai Demokrat (PD) yang memberi kesempatan yang terbuka kepada kader- kader muda untuk mengambil alih estafeta kepemimpinan.

Saya sepakat dengan pujian dia, bahwa sedikit sekali, partai politik besar yang ada di negeri ini yang mudah memberi kesempatan kepada kader muda. Namun, selain persetujuan saya tehadap pujian tersebut saya punya pemikiran yang pasti kurang disukai oleh keluarga besar Parta Demokrat terutama oleh mereka yang mendukung Andi Mallarangeng.

Pandangan saya, diberikannya kesempatan kepada Anas Urbaningrum (AU) dan Andi Mallarangeng (AM) untuk menjadi Demokrat 1 adalah pilihan yang dilakukan oleh Dewan Pembina, karena sejatinya memang tidak banyak tokoh yang dapat dikatakan senior di PD dan memiliki nilai jual yang sama dengan ketokohan dan kualitas kepemimpinan yang setara dengan kapabilitas beliau. Jadi, strategi membuka kesempatan untuk tokoh muda adalah sebuah keterpaksaan yang kebetulan menjadi positive value, buat pandangan sahabat saya yang menginspirasi membuat tulisan ini.

Sebagaimana kita ketahui, PD didirikan secara sadar untuk tujuan jangka pendek SBY di tahun 2004 untuk maju menjadi calon Presiden. Sehingga, buat saya, partai ini tidak didirikan melalui proses pertarungan atau kegelisahan ideologis yang berat dan mendasar. Karena itu, saya tetap melihatnya sebagai alat politik saja untuk tujuan jangka pendek tokoh sentralnya. Setuju, kita memang melihat fakta, PD laku dan diminati oleh pemilih di Indonesia sehingga mampu mengantarkan (kembali) SBY meneruskan kesempatan kedua untuk memimpin negeri ini, ditambah berkah lain dimana banyak saudara – saudara kita yang menjadi anggota legislative diberbagai tingkatannya. Saya harus jujur mengatakan, bahwa kepentingan pragmatis SBY, terhadap PD telah selesai dengan insyaallah sepuluh tahun menjadi RI-1 dengan stabilitas politik yang relative terkendali. Tidak lebih. Dengan telah selesainya masa kepemimpinan beliau pada tahun 2014 yang akan datang, tentu kepentingan beliau terhadap PD pun akan berakhir.

Jadi AU atau AM ?

Kalau ada yang berkalkulasi, SBY tengah mempersiapkan Ibas, anaknya sebagai putra mahkota untuk melanggengkan kekuasannya, melalui Andi Mallarangen (AM) saya ya kok nggak percaya ini akan berhasil dan AM mau melakukannya. Logika saya, dengan majunya AM untuk menjadi Demokrat 1, tentu dia memiliki target politik pribadi yang tidak ingin ditunggangi oleh kepentingan orang lain
Kualitas pemilih dan aturan ketatanegaraan kita, semakin baik, pemilih semakin cerdas dan semakin kritis terhadap hal – hal yang berbau kronisme. Artinya, yang akan mendapat hati dan kepercayaan masyarakat bukan lagi karena ikatan atau hubungan keluarga dengan tokoh tertentu. Negeri ini dan pemilih dimasa yang akan datang hanya akan memilih pemimpin yang memiliki prestasi, dedikasi dan akseptabilitas. Dalam konteks ini, tidak pada tempatnya kita memberi nilai lebih kepada AM yang menyatakan diri sebagai calon yang paling memahami SBY. Hal ini, justru menunjukkan kalo AM tidak memiliki originalitas leadership, akan terjadi duplikasi atas kelambanan dalam mengambil tindakan dan gaya berfikir. Seharusnya, menurut saya, AM buktikan kinerja dengan kesempatan mahal dan prestisius yang saat ini masih diembannya. Sampai tahun 2014, Kementrian Pemuda dan Olahraga, seharusnya menjadi ladang amal yang mulia untuk berkarya bagi Ibu Pertiwi, sekaligus untuk membuktikan kualitas personal leadershipnya. Karena selama menjadi Juru Bicara Presiden, tidak kelihatan kapabilitas dan originalitas personalnya atas permasalah yang terjadi di Negeri ini. Masih terlalu banyak pekerjaan rumah yang bisa dilakukan disana: pertama meningkatkan prestasi olah raga di tingkat regional adalah target mulia dan prestisius. Kedua membangun sistem pembinaan generasi muda untuk menggantikan pola yang selama ini melekat di KNPI dan OKP lainnya adalah dua pekerjaan besar yang sama sekali belum serius dilakukannya. Sayang.

Sebaliknya, Anas Urbaningrum (AU) dianggap tidak mendapat dukungan dari SBY, yang ditandai dengan ketidakhadiran keluarga dan kerabat SBY, ketika mendeklarasikan pencalonan dirinya. menurut saya, justru challenge yang sangat baik dan lebih menguntungkan untuk AU dan menjadi ajang pembuktian terbaik, bagaimana sejatinya partai ini dibangun? Apakah hanya menjadi kelas partai politik yang primordialis atau partai modern yang sesungguhnya? Primordialisme, selama ini tidak memberikan kemajuan apa – apa untuk negeri, selain menyuburkan praktek KKN.

Sehingga, kalo saya diberi kemampuan untuk menyihir para pengurus DPC, DPD Partai Demokrat pada saat Kongres di Bandung bulan Mei 2010 nanti, saya akan sihir mereka untuk lebih mampu berfikir realistis dan cerdas melihat masa depan dan tantangannya yang bukan semakin ringan. Untuk benar – benar membuktikan diri bahwa PD adalah partai yang maju, modern dan memiliki solusi masa depan, tentu diperlukan tokoh pemimpin yang genuine, memiliki keberanian untuk menjadi dirinya sendiri.

Pada akhirnya, saya berdoa dan ingin sekali menyaksikan bahwa Kongres Bandung adalah Kongres yang benar – benar Demokratis dan tidak terjebak dalam “pertarungan asal – asalan” yang pemenangnya telah di tentukan oleh arahan dan keinginan dari Dewan Pembina. Mari kita sama - sama buktikan  Sebagaimana Janji Partai Demokrat untuk Negeri

Source: http://bappilu.demokrat.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1266&Itemid=1266

06 April, 2010

Jampi - Jampi Jupe, Abrakadabra!


Pemilu Kepala Daerah dibeberapa kota belakangan ini, nyaris menjadi panggung baru bagi sejumlah selebritis yang (masih) memiliki daya nalar untuk berpolitik. Sejauh yang muncul ke permukaan, tentu alasan dan pertimbangan mereka adalah untuk mengabdi kepada negeri, memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan menerapkan pengalaman profesional yang selama ini telah didapat dan beberapa alasan mulia lainnya. Ini harus kita apresiasi, pemenuhan kebutuhan akan aktualisasi yang telah didapat di panggung hiburan, ternyata tidak cukup mampu meredam potensi dirinya. Popularitas yang berpotensi menghasilkan elektabilitas, menjadi daya jual yang membuat para selebritas ini memiliki rasa percaya diri untuk melamar atau (sekan - akan) dilamar oleh partai politik untuk mencoba "bertarung" merebut simpati rakyat untuk memilihnya.

Demokrasi politik, memang memerlukan popularitas. Karena semua orang berkesempatan untuk memilih pemimpinnya dan tentu saja, pemilih merasa lebih nyaman untuk memilih seseorang yang dikenal. Pada tataran kualitas pemilih kebanyakan, realitasnya adalah, tidak terlalu memusingkan kapabilitas untuk memimpin sebuah gerbong pemerintahan. Bisa jadi karena dua hal: pertama, evaluasi atas kepemimpinan yang sekarangpun belum memuaskan dan tidak mampu menunjukkan kemampuannya memenuhi harapan rakyat dan kedua adanya keberanian untuk melakukan semacam pertaruhan untuk menguji pendatang baru yang berasal dari kalangan luar, dalam hal ini mereka yang berasal dari kalangan penghibur panggung dan layar televisi. Adalah fakta, mereka yang lebih dahulu menekuni dunia politik dan menjadi pemimpin daerah, mampu melakukan sesuatu yang lebih baik dan menunjukkan kinerja yang mampu mematahkan keraguan publik pada awalnya. Sebut saja : Rano Karno, Dede M. Yusuf, Tantowi Yahya bahkan Rieke "Oneng" Pitaloka, sejauh ini mampu mengemban amanah itu dengan baik. Sehingga, jika mengaku sebagai seorang demokrat dan menjunjung tinggi demokrasi, bukankah ketika sosok kontroversial seperti Jupe dan Ayu Azhari naik gelanggang, seharusnya diberi kesempatan tanpa harus mendahului syak wasangka atau apriori. Biarlah rakyat menentukan pilihannya sendiri, bukankah adagium demokrasi adalah "suara rakyat suara Tuhan?"

Tugas memilih Pemimpin, ada pada siapa?

Ini pertanyaan berat, jika harus mengkajinya secara ideologis. Karena pertentangan dan diskursus mengenai hal ini, mau tidak mau akan masuk kepada pembahasan landasan idiil mendirikan negara dan menjalankan roda pemerintahan. Masing - masing pilihan ideologi, akan diikuti dengan mekanisme turunan dalam proses pemilihan pemimpin dan kelangkapan kenegaraan lainnya. Dalam konteks Indonesia, setelah berkali - kali mencoba model pemerintahan, akhirnya kita memilih Demokrasi Presidensial. Dimana kita berkesempatan untuk memilih langsung pemimpin kita sendiri, tidak lagi diwakilkan kepada orang lain. Pilihan ini, berturut turut berlaku untuk Gubernur dan Bupati/Walikota.

Dengan telah diberikannya otoritas ini, maka tanggung jawab kitalah selaku rakyat yang memiliki hal pilih, untuk menentukan model dan kualitas seperti apa yang kita percaya untuk memimpin diri kita. Masing - masing kita tentu punya paramater ideal yang diharapkan. Karena kita punya pengetahuan, kita punya pengalaman dari interaksi indera-indera yang kita miliki dengan jalan hidup yang telah dilewati. Kita juga punya referensi dan kita punya keinginan - keinginan. Padukanlah hal - hal tersebut menjadi acuan kita terhadap sosok pemimpin yang kita inginkan. JIka memang, menurut Anda, dengan segala kelebihan, kekurangan dan kontroversi yang dimiliki seseorang yang mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin, pas dengan kriteria Anda, kenapa takut mencobanya? Karena ini, yang penting untuk digaris bawahi: resiko salah pilih juga berada ditangan Anda.

Blogger Buzz: Blogger integrates with Amazon Associates

Blogger Buzz: Blogger integrates with Amazon Associates

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...