29 March, 2007

Corruption Prevention to Foster Small & Medium Sized Enterprise Development

Hikmah atas kesempatan menjadi peserta dan moderator pada salah satu sessi Focus Group Meeting yang dilaksanakan bersama oleh UNODC-UNIDO dan IBL pada tanggal 28 Maret lalu adalah terangkatnya sejumlah kondisi, tepatnya kendala mutakhir yang dihadapi pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Koperasi dan rekan - rekan pendamping UKM di beberapa kota di Indonesia. Beberapa diantaranya memang bukan hal yang baru, sejak penulis menjadi Pengurus Koperasi Mahasiswa UNPAD tahun 1992 -1996, sulitnya akses untuk mendapatkan dana / pinjaman kepada bank ternyata setelah hampir 15 tahun,realitas ini masih saja terjadi dan tidak ada perubahan sama sekali. Saat ini, biaya transaksi menjadi tinggi karena prosedur kredit yang rumit sehingga menyita waktu sementara jumlah kredit yang dikucurkan kecil. Itu baru dari aspek finansial. Sementara itu permasalahan dari aspek organisasi, tidak kalah sedikit, beberapa yang mengemuka dan kuat untuk dikemukakan diantaranya adalah kurangnya pengetahuan atas perkembangan teknologi dan lemahnya quality control, kurangnya pengetahuan akan peluang pasar dan strategi pemasaran, sehingga acap produk yang dibuat oleh UKM sudah tidak lagi sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan selera konsumen. Mohon maaf, tulisan ini tidak untuk memberikan sejumlah saran atau jalan keluar atas sejumlah permasalahan tersebut.
TANTANGAN KEDEPAN

Ditengah kesibukan untuk menemukan sejumlah cara keluar dari kesulitan dan permasalahan tersebut, dunia bisnis dan masyarakat internasional memberi tantangan baru berupa keharusan bagi UKM menerapkan kode etik dan praktek bisnis yang bersih dari praktek korupsi kolusi dan nepotisme. Sebagai pendukung mazhab positivisme, tentu saja penulis sangat setuju dengan tuntutan ini. Karena bukan kebetulan, jika saat ini pun penulis sedang menggarap sejumlah program yang terkait dengan business ethics. Mengapa saya mendukung? Karena data yang dipaparkan dalam forum, berdasarkan survei yang di lakukan Bank Dunia terhadap 713 pelaku bisnis di Indonesia atas Faktor Yang Menentukan Rendahnya Minat Untuk Berbisnis di Indonesia menunjukkan:
  • 48,2 % the uncertainty of Law/Regulation
  • 41,5% Corruption
  • 29,5% Tax Level
  • 24,7% Law Enforcement
  • 23% Financial
  • 22,3% Infrastructure
  • 18,9% Productivity and Skill of Employees
Artinya, korupsi menjadi perhatian kedua serius yang dianggap memberatkan pelaku usaha untuk berbisnis di Indonesia. Sehingga kesadaran bersama antara para pemangku kepentingan perlu dibangun dan diperlukan untuk mempercepat sembuhnya bangsa ini dari penyakit sekaligus kejahatan yang bernama korupsi ini.
UKM dianggap sebagai bagian dari bangsa yang perlu disehatkan, tentu saja merupakan pilihan sangat wajar dan memiliki legitimasi yang kuat. Data dari Kementrian Koperasi dan UKM, tahun 2004, di Indonesia terdapat 42.450.00 UKM sedangkan Usaha Besar ada 2000, yang lebih fantastis, UKM ini mampu menyerap 99,4% dari total angkatan kerja. Data ini pada akhirnya mengantarkan kepada realitas bahwa lebih dari separuh ekonomi Indonesia (59,3%) didukung oleh produksi dari UKM. Melihat angka angka ini, tentu saja kita harus serius untuk memulai agar para pelaku usaha disektor ini, memahami hal - hal yang terkait dengan kejahatan yang bernama korupsi.

Setelah mendengarkan pendapat, informasi masukan dari sejumlah peserta dan pemrasaran, sejumlah komitmen dan solusi yang dapat dikumpulkan dalam forum ini diantaranya adalah:

  1. Kesediaan KPK untuk melakukan sosialisasi atau memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada asosiasi pengusaha kecil dan menengah mengenai strategi menghindari praktek korupsi,
  2. Menciptakan sebuah kondisi yang kondusif bagi UKM untuk melakukan bisnis. Penghapusan sejumlah pungutan liar, kemudahan dalam proses perizinan dan akses kepada bank, menjadi kesepahaman yang memang dalam prakteknya masih sulit diterapkan. KPK menyampaikan telah ada sejumlah pemerintah daerah yang menerapkan manjemen satu atap, jadi mungkin dan tetap optimis bisa dilakukan ,
  3. Perlu dilakukan re orientasi atas sasaran atau obyek pengamatan dan advokasi rekan -rekan LSM yang bergerak dibidang pencegahan korupsi.Selama ini fokus kepada praktek praktek korupsi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam sarana dan pembangunan fisik, kepada praktek prekatek korupsi yang terjadi disektor bisnis, khususnya skala UKM.
  4. Kementrian Koperasi dan UKM, melalui kewenangan yang dimilikinya diharapkan mampu menciptakan stimulus bagi pelaku UKM untuk berbisnis secara bersih. Dan sekaligus harus mampu memberi insentif bagi yang telah berhasil menerapkannya. Kemudahan untuk mendapatkan modal, menjadi 'primadona' yang dianggap paling pas oleh forum sebagai bentuk insentif tersebut.

Tentu saja banyak sekali ide dan gagasan cerdas yang mengemuka dalam forum ini, tetapi 4 (empat) hal diatas, menurut penulis menjadi prioritas yang harus dilakukan untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, yang dimulai dari skala yang kecil yaitu UKM. Mungkin, peribahasa yang berbunyi "kecil teranja anja besar terbawa - bawa", menjadi tepat untuk mengungkapkan pentingnya kita untuk memberikan perhatian kepada UKM dan Koperasi untuk menerapkan bisnis yang sesuai dengan TARIF yaitu (Transparant , Accountable, Responsible, Independent and Fairness).[DNF]






05 March, 2007

Belajar Nasionalisme dari Thailand


Dinamika sebuah bangsa, tidak bisa lepas dari karakter para pemimpinnya. James G. Hwee, salah seorang inspirator yang mengisi SMART Motivation, menyatakan bahwa great leader adalah orang yang memiliki keberanian untuk berbeda dengan kebanyakan orang. Seseorang yang dengan berani untuk menyampaikan sesuatu dan memegang teguh apa yang diyakininya, meskipun mendapat tentangan dari pihak lain. Kita pernah punya, Soekarno, founding father bangsa Indonesia yang dengan gagah berani kala itu, mengkampanyekan pembangunan poros "Jakarta - Peking", untuk menandingi dominasi Amerika dan sekutunya. Singapura, pernah punya (dan masih) Lee Kwan Yeu, yang berani untuk menyatakan bahwa mereka hendak memisahkan diri dari Malaysia. Kemudian, Bangladesh, baru saja memiliki Moh. Yunus, yang mendapat Nobel Perdamaian karena keberaniannya untuk berbeda dengan model pemberian kredit konvensional, dia berani gagas dan terapkan secara konsisten, pemberian kredit tanpa agunan
Pernyataan dan contoh - contoh tersebut, mendapat pembenaran baru akhir - akhir ini. Mengapa? Adalah PM Thailand Surayud Cholanont, yang berani menyatakan akan melakukan nasionalisasi terhadap Shin Corp, sebuah perusahaan telekomunikasi Thailand yang dijual oleh mantan PM Thaksin kepada Temasek Corporation. Tentu saja, pernyataan ini mampu membangkitkan rasa nasionalisme baru bagi warga Thailand, pasti akan mendapat dukungan politik, mudah - mudahan akan diikuti dengan dukungan ekonomi. Mengapa? karena kata "nasionalisasi", terhadap sebuah entitas bisnis merupakan kata yang terdengar agak aneh dalam kamus kapitalisme. Bagi kapitalisme, tidak perlu nasionalisme, sediakan uang yang cukup dan kita mampu memiliki asset sebuah entitas bisnis.

Dalam kesempatan terpisah, PM yang memimpin kudeta militer terhadap kepemimpinan PM Thaksin ini, menyatakan bahwa ada masalah mendasar yang menyebabkan dirinya harus mengkudeta kepemimpinan Thanksin, yaitu, telah hilangnya nasionalisme dalam diri Thaksin. Nasionalisme yang dimaknai dengan keputusan Thaksin untuk menjual Shin Corporation kepada Temasek, milik pemerintah Singapura.


Bagi Surayud, keputusan Thanksin sebelum terjadinya kudeta, telah melukai harga diri bangsa. Sebagai sebuah perusahaan telekomunikasi yang sangat berpengaruh dan dibanggakan warga Thailand, tidak sepantasnya harus dijual kepada pihak asing. Dia harus dipelihara dan dipertahankan untuk tetap menjadi asset nasional. Terlebih proses penjualan ini, diwarnai dengan sejumlah ketidakwajaran, yang konon kabarnya tidak disertai dengan pembayaran pajak kepada negara.


Ternyata, rasa luka itu tidak cukup dengan hengkangnya Thaksin, ketika situasi politik mulai stabil dibawah kendali Surayud, dia berencana untuk melakukan nasionalisasi terhadap Shin Corp. yang menurut kalkulasinya berpotensi untuk menelajangi proses komunikasi yang dilakukan oleh militer Tahiland oleh pihak pemerintah dan militer Singapura. Terhadap pernyataan ini, tentu saja pihak Singapura membantahnya. Karea sudah pasti, tidak akan pernah ada, proses dan mekanisme intelejen yang jujur dan terbuka. Sebuah keberanian politik yang cukup memadai ditengah kalkulasi hukum ekonomi yang normal. Mengapa? karena menurut kaidah ekonomi, penguasaan atau kontrol terhadap entitas bisnis, hanya mensyaratkan kemampuan [pemerintah Thailand] untuk melakukan buy back atas saham yang telah dimiliki oleh Temasek. Jadi, ada uang ada barang. Tetapi, Surayud berusaha untuk 'menjajal sesuatu' dan melakukan perlawanan terhadap hukum ekonomi tadi. Dia bukan tidak tahu dan tidak mengerti, tetapi dia berani menggagas hal baru, atas nama nasionalisme.
Hasilnya akan seperti apa? tentu kita perlu memberi waktu. Menurut saya, bagi Pemerintah Singapura, yang ekonomis dan efisien, sepanjang harga saham Shin Corp. masih mampu menjadi mesin ekonomi, dia pasti akan pertahankan. Bukan karena pertimbangan politik, tetapi pertimbangan dan kalkulasi ekonomi yang harus dilakukan untuk menunjukkan nasionalismenya sebagai pemerintah Singapura. Fenomena ini, bagi saya pribadi, adalah pelajaran yang berharga bagi para pemimpin bangsa, dimana pendekatan ekonomi dan pendekatan politik, sepanjang itu memberi manfaat bagi warga negaranya harus dilakukan, meskpiun orang lain menentangnya. Tinggal bagaimana tingkat kecerdasan dan keberanian para pemimpin untuk berdiri tegak melawan 'lawan -lawannya', atas nama bangsa dan rakyat yang memberikan mandat kepada dirinya.

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...