20 December, 2006

Komentar atas Keputusan MK terhadap Judicial Review UU No. 30/2002

Note : Komentar saya atas berita yang turun diberbagai Media hari ini (Rabu, 20 Desember 2006), terkait dengan Putusan MK mengenai permohoan judicial review UU KPK.

Sebagaimana yang oleh sebagian orang sudah diprediksi, Mahkamah Konsitusi (MK), akhirnya memberi opini atau putusan yang sangat clear, Pengadilan TIPIKOR, perlu landasan hukum baru dan tidak lagi menggunakan UU yang sama dengan KPK. MK memberi waktu 3 (tiga) tahun, untuk menghindari mandulnya Pengadilan TIPIKOR yang selama ini menjadi organ hukum KPK untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi.

Bagi yang pesimis, putusan ini laksana lonceng kematian bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, terasa semakin kencang berdentang! Namun, bagi yang optimis dan masih merindukan kualitas hidup yang jauh lebih baik bagi anak cucu dan sebagian kecil masa tuanya, tentu tidak akan tinggal diam. Kita, dituntut untuk berfikir keras, membuat terobosan dengan tetap berusaha bermain dalam koridor hukum.

Optimisme dan kerja keras dari mereka yang peduli terhadap upaya pemberantasan korupsi saja tidak cukup. Leadership dan political will dari dua lembaga Negara saat ini, yaitu eksekutif dan legislatif nampaknya jauh lebih kita perlukan untuk keluar dari masalah ini. Sejatinya, political will yang sungguh – sungguh untuk memberantas korupsi akan lebih mempermudah terhadap perlunya aturan - aturan pendukung. Dibandingkan dengan rendahnya tingkat keseriusan. Kalau keseriusannya rendah, hampir dapat dipastikan proses perubahan undang – undang akan menjadi sandera politik baru dan akan berbenturan dengan sejumlah aturan - aturan yang lebih bersifat administrative.

Mengapa? UU sebagai sebuah produk politik dibuat di lembaga eksekutif, pada akhirnya harus masuk ke fase legislasi dilembaga legislatif. Apa yang akan terjadi, kalo seandainya UU untuk memperbaiki landasan hukum upaya pemberantasan korupsi ini dibicarakan oleh institusi yang menurut survey Transparency International Indonesia, menjadi tiga diantara lembaga terkorup di Indonesia? Agak sulit diterima akal sehat, bahwa proses pembuatan undang undang mengenai Pengadilan Tipikor berjalan normal dengan spirit yang sama – sama berprasangka baik. Resiko atas diberlakukannya UU yang baru, pasti menghantui eksistensi partai politik dalam hal ini kepentingan para kader - kadernya. Sudah menjadi 'kemafhuman' bersama, sampai batas –batas tertentu, para kader partai politik, terutama yang berkesempatan menjadi birokrat di lembaga eksekutif akan bersinggungan dengan praktek korupsi (setidaknya data dan kasus yang telah diungkap oleh KPK menunjukkan demikian). Oleh karena itu, sudah pasti mereka akan berusaha untuk melindungi kepentingan partai politik melalui UU yang akan dibuatnya. Tentu para politisi akan berkolaborasi dengan pakar hukum untuk menyusunnya sedemikian canggih agar kepentingan untuk melindungi kader ini legal secara prosedural dan sesuai dengan landasan berfikir hukum sebuah undang - undang.

Bagaimana Kita?

Masyarakat sipil, kalangan swasta dan seluruh unsur pemilik (stakeholders) bangsa, harus mempersiapkan diri menghadapi ’pertarungan’ ini. Bagi mereka yang memiliki kompetensi membuat UU, kenapa tidak untuk berfikir : membuat dan memberikan draft alternative atau 'draft sandingan' UU Pengdilan TIPIKOR , yang steril dari kepentingan partai politik yang korup. Kalangan swasta, tentu berkepentingan untuk menyatakan secara tegas, bahwa rendahnya angka investasi dan kendala untuk bisa berkompetisi dalam persaingan global, karena high cost economy. Mahasiswa, tentu capek juga, karena harus kuliah dengan biaya yang tinggi! sialnya setelah itu, masih harus berhadapan dengan rendahnya tingkat penyerapan angkatan kerja baru. Semua..semua stakeholders berkepentingan terhadap agenda pemberantasan korupsi dengan target harus lebih banyak uang negara yang bisa diselamatkan untuk kepentingan lebih banyak orang, yang memang haknya sebagai warga negara. Mempercepat terciptanya kualitas SDM yang tinggi sebelum SDA tidak lagi tersisa. Segera membangun infrastruktur sebelum negara – negara lain lebih awal mempersiapkan, untuk meningkatkan daya tawar investasi merupakan kerja kongkret yang harus dipacu. Karena itu, kita harus bahu membahu bersama – sama dengan siapapun yang memiliki cita-cita dan keinginan yang sama. Mari kita kawal dan bantu sesuai dengan kompetensinya masing – masing untuk :

  1. memastikan proses perubahan UU ini, tidak menjadi cara sistematis untuk ’kembali mundur’ dalam upaya pemberantasan korupsi
  2. memastikan KPK sebagai institusi tetap eksis dengan kewenangannya (jangan sampai dibubarkan), sampai dengan waktu yang diberikan MK untuk membuat UU Pengadilan Tipikor
  3. membantu KPK dan atau DPR agar mampu membuat landasan hukum yang kuat dan konstitusional sehingga tidak lagi menjadi UU yang dengan mudah ditiadakan eksistensinya oleh MK karena dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945 yang telah mengalami perubahan
  4. mendukung terus.. upaya upaya penindakan dan pencegahan yang sedang dijalankan KPK
  5. memastikan hari ini dan dilingkungan kita sendiri, praktek – praktek korupsi dihilangkan.

Apakah kita memang masih sabar, dan tidak merasa dirugikan sedikitpun, ketika hak – hak kita sebagai warga negara ternyata cukup diwakili saja pemenuhannya oleh segelintir orang? Para politisi yang korup, pengusaha yang korup, negarawan yang korup, jumlahnya yakinlah tidak terlalu banyak..Harus dihentikan dan disadarkan sesegera mungkin sebelum semuanya menjadi apatis dan pragmatis, dan setelah itu, kita akan sama – sama tenggelam dalam perahu Indonesia yang karam, sebagai negara super miskin karena terlambat memberantas korupsi.

Saya setuju dengan gagasan yang disampaikan oleh salah seorang anggota mailinglist ini, bahwa setiap orang bisa memulainya dengan dirinya masing –masing untuk menyatakan dukungan kepada KPK untuk tetap eksis. Begini kutipannya:

” mungkin sebagai perorangan/profesional kita juga perlu buat petisi mempertahankan KPK...ajak teman2 profesional lainnya.
pasti banyak yg akan mau ikutan. bentuknya bisa macam2:. sejuta tanda tangan lah dsb.... ”

Dan akan lebih powerfull jika ini dapat dikoordinasikan agar menjadi bargaining position yang diperhitungkan dalam 'pertarungan' di lembaga legislatif.

...
Indonesia Tanah Air beta
pusaka abadi nan jaya...

Disana tempat dilahirkan,
dibuai dibesarkan Bunda...
tempat berlindung dihari tua...
sampai akhir menutup mata.

Terimakasih

19 December, 2006

Dunia Mereka

Satu dari belasan judul film karya anak negeri yang mulai mengisi gedung petunjukan di sebuah negara yang selama ini tak berdaya. Ketidakberdayaan yang ditunjukkan dengan hanya mempertunjukkan karya – karya Hollywood karena terkungkung oleh monopoli konglomerat dengan group 21 (baca twenty one) nya. Sebuah bentuk transaksi perdagangan (barter) antara produk film Amerika dengan produk tekstil Indonesia. Era ini berakhir seiring dengan tidak adanya produk tekstil Indonesia yang layak di perdagangkan ke Amerika karena kalah bersaing dengan produk tekstil China dan India.

Ide cerita film ini, standard dan klasik saja sebenarnya. ”Dunia Mereka”, intinya menceritakan perbedaan yang mendasar antara harapan dan keinginan orang tua dengan keinginan dan cita – cita anaknya, yang berbuah kepada terjadinya konflik keluarga karena masing-masing pihak merasa benar terhadap pilihannya. Sayangnya, menurut saya, sutradara tidak cukup mampu menerjemahkan suasana konflik kedalam bahasa gambar, alhasil , terasa hambar. Pesan positif yang ingin disampaikan kepada penonton, bahwa keyakinan terhadap sesuatu harus diperjuangkan secara optimal dan memerlukan pengorbanan serta perlu proses yang panjang. Tidak ada yang instant. Isi pesan ini, jika penonton mampu menyerapnya, cukup positif ketika budaya “cepat saji” telah lama memasuki relung-relung jiwa dan pikiran kita. Sehingga struktur dan kualitas kehidupan masyarakat kita menjadi agak berantakan.


Kembali ke ”Dunia Mereka” sebagai karya film. Dari beberapa film nasional yang saya tonton dan ikuti, “Berbagi Suami”, karya Nia Dinata, bagi saya pribadi tetap saya anggap sebagai sebuah karya sinematografi yang bagus, ide cerita yang membumi disertai dengan teknik pembuatan serta alur cerita yang mengalir lembut dengan kualitas pemain yang diatas rata-rata, saya senantiasa bilang dalam bahasa yang sangat awam, “nggak filem bangat”, untuk mengomentari film – film Indonesia yang kualitasnya jauh dibawah ”Tjut Nyak Dhien”, dimana Christine Hakim menjadi pemain utamanya. Ada ”Banyu Biru”, dimana Tora Sudiro bermain dengan buruk sekali. Disusul kemudian dengan ”Mengejar Matahari”, yang mengantarkan Fauzi Baadila menjadi ”bintang baru” Indonesia, ”Apa Artinya Cinta”, cerita yang mirip dengan aura era ”Catatan Si Boy”, kala esemaa saya dulu dan beberapa film bertema horor. ”Jelangkung”, merupakan karya horor pertama selepas masa vacuum yang cukup lama. Setelah itu diikuti oleh sederetan judul yang menjual tema horor dan mistis, seakan tak mau kalah dengan tema sejenis yang laku di dunia layar kaca, dimana Raam Punjabi menjadi rajanya saat ini. Sebut saja ”Pocong”, ”Kuntilanak”, ”Hantu Bangku Kosong” dan yang paling akhir adalah ”Hantu Jeruk Purut”, tentu saja diantara rentang waktu itu ada beberapa judul film lain yang tidak bisa saya ingat. Dari sejumlah film film tersebut, memang tidak banyak yang dapat singgah dan merebut hati saya untuk memberikan pujian yang memadai atas sebuah prestasi atau kerja keras yang telah dilakukan kru film tersebut. Tapi saya yakin dan percaya, sebuah karya besar tidak akan lahir tiba – tiba dan tanpa proses gagal berkali-kali, sehingga ”practice makes perfect” adalah keniscayaan yang harus ditempuh dan dilalui untuk sebuah karya yang mampu memaksa sejarah untuk menorehkannya dengan tinta emas.

Namun demikian, tidak berlebihan rasanya, melihat banyaknya potensi yang dimiliki kalangan muda untuk berkarya di industri film, dapat dilihat sebagai potensi bagi asset nasional yang perlu difasilitasi Negara. Jaminan dan kemampuan aparatur Negara untuk menindak pelaku pembajakan, kualitas orang di Lembaga Sensor Film yang independen dan menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, merupakan bentuk kontribusi kongkrit yang harus dilakukan perannya oleh Negara. Siapa tahu, jika semangat ini dibiarkan tumbuh dengan baik menjadi cepat berkembang dan menjadi salah satu jalan bagi kaum muda untuk berprestasi dan pada akhirnya akan menjadi sumber bangkitnya rasa kebanggaan (nasionalisme) sebagai bangsa seperti yang telah diukir oleh Christine Hakim, Teguh Karya dan sejumlah maestro lainnya di dunia perfilman. Teruslah berkarya dan saya akan terus menontonnya, insyaallah.

Change Management

Adalah dua kata   sakti yang selalu digulirkan bersamaan dengan   momentum momentum berikut : merger, akuisisi, perubahan Bord of ...